Berfikir bersama Al-Qur'an #8: Kata Al-Qur'an tentang Keberadaan Tuhan
Di Serial “Berfikir bersama Al-Qur'an”, kita telah membahas bagaimana Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk berfikir menggunakan akal sebagai “timbangan” yang valid untuk sampai pada kebenaran. Kita juga telah mengulas lima metode berfikir yang dicontohkan langsung oleh Al-Qur’an, yang disebut Al-Ghazali sebagai al-Qisthas al-Mustaqim. Kelima metode berfikir ini adalah mizan ta'adul, yang terbagi menjadi akbar, awsath, dan ashghar, mizan talazum (implikatif), dan mizan ta’anud (kontradiktif). Tapi, akal juga bisa digunakan secara keliru. Kita sudah membahas beberapa cacat logika seperti equivocation, denying the antecedent, false dichotomy, serta fallacy of the undistributed middle. Kita juga melihat bagaimana premis penyusun argumen yang keliru juga akan berujung pada kesimpulan yang keliru meskipun bentuk argumennya valid. Di tulisan terakhir sebelum tulisan ini, kita telah melihat bagaimana kekeliruan berfikir, seperti menggunakan premis yang tak bisa dibuktikan, bisa membawa kita kepada kesimpulan yang keliru. Di tulisan ini, kita akan menengok langsung bagaimana Al-Qur'an menuntun kita untuk berfikir dan sampai pada kesimpulan rasional yang tak terbantahkan akan keberadaan Tuhan.
Apakah ada ayat-ayat Al-Qur'an yang berisi bukti rasional adanya Tuhan? Jawabannya banyak sekali! Abu Hamid Al-Ghazali dalam karyanya, Iljam al-Awwam ‘an Ilm al-Kalam menghitung hampir 500 ayat dalam Al-Qur'an yang menyodorkan bukti rasional keberadaan Tuhan! Dari Al-Fatihah sampai An-Nas, hampir setiap halaman Al-Qur'an memuat bukti rasional keberadaan Tuhan! Seperti apa argumentasinya?
Di antara ayat-ayat tersebut yang dipaparkan Al-Ghazali dalam Qawaid al-Aqaid adalah Surat Al-Baqarah ayat 164 berikut:
إِنَّ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّیۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِی تَجۡرِی فِی ٱلۡبَحۡرِ بِمَا یَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَاۤ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ مِن مَّاۤءࣲ فَأَحۡیَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا وَبَثَّ فِیهَا مِن كُلِّ دَاۤبَّةࣲ وَتَصۡرِیفِ ٱلرِّیَـٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَیۡنَ ٱلسَّمَاۤءِ وَٱلۡأَرۡضِ لَـَٔایَـٰتࣲ لِّقَوۡمࣲ یَعۡقِلُونَ
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.”
Mungkin, membaca terjemah ayat di atas tidak seketika membuat kita memahami seperti apa argumentasi Al-Qur'an di sini. Karenanya, kita akan coba menggunakan al-Qisthas al-Mustaqim, yaitu metodologi berfikir yang sudah dijelaskan dalam serial tulisan ini, untuk menyelami argumentasi dalam ayat-ayat di atas. Kita akan mulai dengan terlebih dahulu memahami premis-premis kunci yang ingin disampaikan oleh kedua ayat di atas.
Salah satu premis penting yang ingin dijelaskan oleh kedua ayat di atas adalah fakta bahwa alam semesta penuh dengan perubahan. Alam yang menjadi ada dari ketiadaan, siang-malam yang silih berganti, dan fenomena-fenomena lain yang dideskripsikan di atas mendemonstrasikan sifat alam semesta yang senantiasa berubah atau bersifat mungkin. Premis selanjutnya yang ingin disampaikan adalah fakta bahwa perubahan ini adalah tanda. Tanda yang menunjukkan apa? Tanda yang mengindikasikan adanya penyebab di balik perubahan itu. Mengapa demikian? Karena adanya hal yang berubah tanpa adanya sebab eksternal akan jatuh pada kontradiksi, yaitu adanya dua hal yang berbeda (sebelum dan sesudah berubah) sekaligus sama (tiada sebab eksternal). Dua premis ini bisa disusun dalam format mizan ta'adul akbar sebagai berikut:
Premis 1: Semua yang berubah pasti butuh penyebab.
Premis 2: Alam semesta berubah.
Kesimpulan: Alam semesta butuh penyebab.
Bisa kita lihat bahwa argumentasi di atas adalah argumentasi yang valid. Tidak hanya bentuk (form/shurah) argumennya saja yang valid, tapi premis-premis penyusunnya (matter/maaddah) pun valid karena berasal dari sumber pengetahuan dasar yang tak terbantahkan validitasnya, yaitu hukum logika (premis 1) dan pengamatan (premis 2). Lalu, selanjutnya, apa penyebab di balik perubahan di alam semesta ini?
Argumen lanjutannya tergambar dengan lebih eksplisit dalam Surat Ath-Thur ayat 35-36 di bawah ini:
اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَۗ
اَمْ خَلَقُوا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ بَلْ لَّا يُوْقِنُوْنَۗ
“Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)? Apakah mereka menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini.”
Ayat ini memaparkan opsi-opsi yang mungkin dari pencipta diri kita sebagai bagian dari alam semesta: apakah tidak ada, ataukah diri kita sendiri, ataukah alam diciptakan diri kita yang juga bagian dari alam. Satu opsi lagi disampaikan secara tersirat, yaitu penyebab alam semesta adalah Entitas selain alam semesta itu sendiri. Argumen yang terkandung pada ayat di atas bisa diformalkan mengikuti bentuk mizan ta'anud sebagai berikut:
Premis 1: Penyebab alam semesta bisa jadi tidak ada, atau dirinya sendiri, atau bagian dari alam semesta, atau Entitas lain yang berbeda dengan alam semesta.
Premis 2: Penyebab alam semesta mustahil tidak ada.
Premis 3: Penyebab alam semesta mustahil dirinya sendiri.
Premis 4: Penyebab alam semesta bukan bagian dari alam itu sendiri.
Kesimpulan: Penyebab alam semesta adalah Entitas lain yang berbeda dengan alam semesta.
Premis 1 valid karena ia mencakup semua kemungkinan terkait penyebab yang menjadikan alam semesta ada seperti saat ini. Premis 2 valid karena jika tidak, kita akan jatuh pada kontradiksi sebagaimana disinggung sebelumnya. Premis 3 valid karena jika tidak, kita juga akan jatuh pada kontradiksi: sesuatu yang belum ada bisa sekaligus ada dan menciptakan dirinya sendiri. Premis 4 juga valid karena bagian dari sesuatu mustahil menyebabkan keseluruhan dari sesuatu itu sendiri. Maka, kesimpulannya membawa kita pada keberadaan Entitas yang bukan bagian dan begitu berbeda dengan alam semesta.
Apa perbedaannya? Jika alam semesta bersifat mungkin dan bisa berubah, Entitas ini mustahil bersifat mungkin ataupun berubah. Dengan kata lain, Ia adalah Entitas yang Wajib Ada. Maka, keberadaan-Nya tak butuh pada sesuatu yang lain sedangkan alam semesta dan seisinya senantiasa butuh kepada-Nya. Kesimpulan ini lah yang dirangkum indah dalam nama Tuhan dalam Surat Al-Ikhlas, Ash-Shomad.
Di tulisan selanjutnya, kita akan melihat bagaimana Al-Qur'an mengajukan argumen validnya pilar kedua dalam keimanan, yaitu kenabian.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: