Di tulisan-tulisan sebelumnya dalam Serial “Berfikir bersama Al-Qur'an”, kita telah membahas bagaimana Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk berfikir serta mengapa akal adalah “timbangan” yang valid untuk sampai pada kebenaran. Kita kemudian mengulas beberapa metode berfikir yang valid sebagaimana dicontohkan oleh Al-Qur’an, yang oleh Al-Ghazali disebut sebagai al-Qisthas al-Mustaqim. Tiga metode berfikir yang sudah diulas disebut sebagai mizan ta'adul, yang terbagi menjadi akbar, awsath, dan ashghar. Di tulisan ini, kita akan membahas 2 timbangan logika yang tersisa yang digunakan Al-Qur’an untuk mendemonstrasikan klaim kebenaran pesannya.
Timbangan atau metode berfikir keempat adalah mizan talazum (implikatif), yang dicontohkan Al-Qur’an untuk membuktikan keesaan Tuhan sebagaimana ayat-ayat berikut:
لَوْ كَانَ فِيْهِمَآ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَاۚ
“Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa.” (Q.S. Al-Anbiya’ ayat 22)
قُلْ لَّوْ كَانَ مَعَهٗٓ اٰلِهَةٌ كَمَا يَقُوْلُوْنَ اِذًا لَّابْتَغَوْا اِلٰى ذِى الْعَرْشِ سَبِيْلًا
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Seandainya ada tuhan-tuhan (lain) di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada (Tuhan) Pemilik ʻArasy (untuk mengalahkan atau menyaingi-Nya).”” (Q.S. Al-Isra’ ayat 42)
Kita pernah membahas bagaimana ayat-ayat di atas membawakan argumen rasional untuk sampai pada kesimpulan keesaan Tuhan. Premisnya: Jika ada banyak Tuhan, dunia kacau. Premis kedua: Dunia tidak kacau. Kesimpulannya: Tidak ada banyak Tuhan. Struktur formalnya, dikenal sebagai modus tollens, bisa dideskripsikan sebagai berikut:
Premis 1: Jika x, maka y.
Premis 2: y tidak benar.
Kesimpulan: x tidak benar.
Mizan talazum juga bisa digunakan dengan struktur formal sebagai berikut, yang juga dikenal sebagai modus ponens:
Premis 1: Jika x, maka y.
Premis 2: x benar.
Kesimpulan: y benar.
Sama dengan bentuk argumentasi-argumentasi deduktif sebelumnya, selama kita menerima kedua premis, maka secara rasional kesimpulannya pun harus diterima.
Catatan penting mengenai argumentasi di atas adalah validitasnya hanya terjadi ketika kita mengafirmasi kebenaran “x” atau menegasikan kebenaran “y”. Kekeliruan yang kerap terjadi adalah anggapan bahwa negasi dari “x” berimplikasi negasi dari “y". Sebagai contoh, premis “Jika ada banyak Tuhan, dunia kacau” dan premis “Tidak ada banyak Tuhan” tidaklah berimplikasi pada kesimpulan “dunia tidak kacau”. Mengapa? Karena kekacauan dunia bisa saja terjadi karena penyebab yang lain, bukan semata-mata karena banyak Tuhan saja. Ini berbeda dengan struktur argumen di atas yang fokus menegasikan konsekuensi premisnya (yaitu y), bukan antesedennya (yaitu x). Cacat fikir semacam ini dikenal sebagai fallacy of denying the antecedent. Al-Ghazali menyebut cacat fikir semacam ini sebagai mizan syaithan yang tidak valid dan bukan merupakan al-qisthas al-mustaqim.
Timbangan atau metode berfikir kelima adalah mizan ta’anud sebagaimana dicontohkan Al-Qur’an untuk menegaskan pesan yang dibawanya sebagai satu-satunya kebenaran sekaligus membantah relativisme kebenaran. Metode ini digunakan pada Surat Saba’ ayat 24:
وَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
“Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) benar-benar berada di dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.”
Premisnya: Kami atau kalian berada dalam dalam kesesatan. Kami tidak berada dalam kesesatan. Kesimpulannya: Kalian berada dalam kesesatan. Secara formal, argumentasi di atas bisa dideskripsikan sebagai berikut:
Premis 1: x atau y.
Premis 2: x salah.
Kesimpulan: y benar.
Sama dengan bentuk argumen lainnya, penerimaan terhadap premis berimplikasi rasional pada penerimaan terhadap kesimpulannya. Sebagai catatan, argumentasi semacam ini hanya berlaku jika memang premis 1 betul-betul hanya memuat dua opsi saja, yaitu x atau y. Artinya, tidak ada kemungkinan lain selain kedua opsi tersebut. Keberadaan opsi lain membuat kesimpulan di atas menjadi belum bisa dipastikan karena bergantung pada status kebenaran opsi lainnya. Kekeliruan yang menganggap hanya ada dua opsi yang mungkin benar sedangkan kenyataannya tidak demikian dikenal sebagai fallacy of false dichotomy. Cacat fikir ini juga dikritik Al-Ghazali sebagai mizan syaithan yang tidak valid.
Sebagai contoh adalah argumen yang berusaha menegasikan keberadaan Tuhan seperti berikut ini. Premisnya: Tuhan harus ada di dunia atau tidak ada. Tuhan tidak ada di dunia. Kesimpulan: Tuhan tidak ada. Argumentasi semacam ini tidak valid karena premis 1 jatuh pada cacat fikir di atas. Faktanya: bisa saja ada entitas yang eksis tanpa harus menjadi bagian dari dunia ini.
Tulisan ini melengkapi pembahasan mengenai 5 timbangan berfikir yang dicontohkan langsung oleh Al-Qur’an untuk memandu kita menggunakan akal menuju kebenaran. Di tulisan selanjutnya, kita insyaallah akan melihat beberapa cacat fikir secara lebih mendalam melalui contoh-contoh yang juga didapatkan dari Al-Qur’an saat mengkritik pandangan-pandangan yang bertentangan dengannya.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda:
بارك الله على علمك