Berfikir bersama Al-Qur'an #7: Penyalahgunaan Akal dalam Keimanan
Di Serial “Berfikir bersama Al-Qur'an”, kita telah membahas bagaimana Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk berfikir menggunakan akal sebagai “timbangan” yang valid untuk sampai pada kebenaran. Kita juga telah mengulas lima metode berfikir yang dicontohkan langsung oleh Al-Qur’an, yang disebut Al-Ghazali sebagai al-Qisthas al-Mustaqim. Kelima metode berfikir ini adalah mizan ta'adul, yang terbagi menjadi akbar, awsath, dan ashghar, mizan talazum (implikatif), dan mizan ta’anud (kontradiktif). Tapi, akal juga bisa digunakan secara keliru. Kita sudah membahas beberapa cacat logika seperti equivocation, denying the antecedent, false dichotomy, serta fallacy of the undistributed middle. Kita juga melihat bagaimana premis penyusun argumen yang keliru juga akan berujung pada kesimpulan yang keliru meskipun bentuk argumennya valid. Di tulisan ini, kita akan melanjutkan pembahasan Al-Ghazali dalam al-Qisthas al-Mustaqim tentang beberapa contoh penggunaan akal yang keliru, khususnya dalam persoalan keimanan.
Contoh pertama yang disinggung Al-Ghazali disebut sebagai ra'yun bathil, yaitu penggunaan opini yang keliru sebagai premis dalam argumentasi. Contohnya adalah pandangan kalangan mu'tazilah, salah satu kelompok teologis yang pernah muncul dalam sejarah peradaban Islam, bahwa Tuhan harus selalu melakukan yang terbaik untuk hamba-Nya. Sebagai contoh, Tuhan bagi mereka harus memasukkan hamba-Nya yang beriman ke surga, bukan karena kasih sayang-Nya, dan harus menghukum hamba-Nya yang tidak beriman di neraka, bukan karena keadilan-Nya. Artinya, Tuhan tidak benar-benar bebas berkehendak dalam perbuatan-Nya.
Pertanyaannya: apa bukti yang mendukung pandangan ini? Buktinya hanya murni berdasarkan opini semata, bukan berdasarkan premis aksiomatis yang berasal dari sumber-sumber pengetahuan utama manusia seperti panca indra. Jika ditelisik lebih jauh, opini ini bahkan bersumber dari asumsi tidak berdasar yang memisalkan aksi Tuhan sebagaimana aksi makhluk-Nya. Sebagaimana makhluk diharuskan berbuat baik, Tuhan pun harus begitu. Padahal, tidak ada keterkaitan rasional antara keduanya.
Pandangan bahwa Tuhan harus selalu melakukan yang terbaik juga tertolak berbasis metodologi berfikir yang valid sesuai petunjuk Al-Qur’an sendiri. Misalnya, dengan mizan talazum yang pernah kita singgung, kita bisa menyusun premis sebagai berikut: Jika tuhan harus berbuat yang terbaik untuk hamba-Nya, maka Ia pasti menciptakan hamba-Nya di surga dan membiarkan mereka di sana. Tuhan tidak menciptakan hamba-Nya di surga dan membiarkan mereka di sana. Kesimpulan: Tuhan tidak harus berbuat yang terbaik untuk hamba-Nya. Dengan kata lain: Tuhan bebas berkehendak melakukan apa pun. Tentu saja ini tidak berimplikasi bahwa Tuhan pasti melakukan yang terburuk, ta’alallahu ‘an dzalika ‘uluwwan kabira. Tetapi, Tuhan dengan kasih sayang-Nya memilih untuk memberi pahala bagi hamba-Nya yang baik dan dengan keadilan-Nya memilih untuk menghukum hamba-Nya yang jahat, bukan karena terpaksa.
Contoh kedua yang disinggung Al-Ghazali disebut sebagai qiyas bathil. Contohnya adalah pandangan kalangan mujassimah, salah satu kelompok teologis yang menganggap Tuhan sebagai objek material (jism). Mereka beragumen dengan format mizan ta’adul akbar yang pernah kita singgung di Serial ini. Premisnya: Setiap entitas yang melakukan aksi dan mencipta adalah objek material. Tuhan melakukan aksi dan mencipta. Maka, Tuhan adalah objek material.
Sebagaimana kita lihat, bentuk argumennya valid. Lalu, di mana kelirunya? Kekeliruannya terletak pada premis utamanya bahwa setiap yang melakukan aksi dan mencipta adalah objek material. Apa bukti dari premis ini? Buktinya tidak lain adalah argumentasi induktif (istiqra') atau argumentasi berbasis silogisme disjunctive (mizan ta’anud) yang tidak lengkap (false dichotomy). Kedua jenis argumen ini tidak menghasilkan kesimpulan yang valid.
Argumen pertama, berbasis argumentasi induktif berangkat dari pengamatan berulang bahwa benda-benda yang melakukan aksi di sekeliling kita tidak lain adalah objek material. Maka, disimpulkan bahwa semua yang melakukan aksi adalah objek material. Kita sudah berulang-kali membahas mengapa argumentasi dari sebagian ke keseluruhan semacam ini tidaklah valid.
Argumen kedua, berbasis false dichotomy berangkat dari premis yang berusaha menjelaskan mengapa sesuatu yang wujud di dunia ini adalah objek material. Sesuatu yang wujud harus berupa objek material karena ia pelaku aksi atau karena properti-properti yang lain, misalnya. Premis selanjutnya kemudian menegasikan opsi kedua, sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa suatu benda termasuk objek material karena benda tersebut melakukan aksi. Di mana kekeliruannya? Kekeliruannya adalah membatasi kemungkinan-kemungkinan penyebab sesuatu harus berupa objek material menjadi dua opsi saja. Padahal, bisa jadi ada faktor-faktor lain selain yang disebutkan yang menjadi penyebab suatu benda harus berupa objek material. Tentu saja ini belum mempertimbangkan adanya argumentasi rasional yang berimplikasi bahwa Tuhan bukanlah objek material seperti komponen penyusun alam semesta.
Intinya, contoh-contoh di atas semakin menegaskan pentingnya mengaplikasikan metodologi berfikir yang valid, sebagaimana lima timbangan berfikir yang dicontohkan Al-Qur’an, dan menggunakan premis-premis mendasar yang valid dalam berargumentasi. Hanya dengan kedua hal ini lah kita bisa sampai pada kesimpulan yang benar tentang realita, termasuk dalam persoalan teologi seperti keberadaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan kenabian. Di tulisan selanjutnya, insyaallah kita akan melihat contoh argumen-argumen kunci dalam Al-Qur’an yang mengaplikasikan timbangan berfikir yang sudah kita pelajari untuk sampai pada klaim-klaim fundamental yang menjadi fondasi agama Islam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: