Berfikir bersama Al-Qur'an #2: Akal sebagai Timbangan Kebenaran
Di tulisan pertama dari Serial “Berfikir bersama Al-Qur'an”, kita telah sama-sama melihat bagaimana Al-Qur'an menyuruh pembacanya untuk berfikir. Sedemikian banyaknya perintah berfikir dan kritikan atas mereka yang membebek buta hingga banyak teolog berpandangan bahwa kewajiban pertama adalah berfikir. Tapi, banyak orang justru tersesat dengan berfikir. Apa timbangan yang tepat dalam berfikir untuk mencari kebenaran? Apakah akal cukup? Tidakkah kita butuh imam yang selalu menggaransi kebenaran bagi kita? Di tulisan kedua dari Serial “Berfikir bersama Al-Qur'an”, kita akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Salah satu keistimewaan luar biasa Al-Qur'an adalah ia tidak sekedar memuat perintah untuk berfikir, tapi juga memberi pembacanya panduan bagaimana cara berfikir yang tepat. Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali menyebut bahwa Al-Qur'an mengajarkan kita untuk menimbang kebenaran dengan al-Qisthas al-Mustaqim sebagaimana firman-Nya dalam Surat al-Isra’ ayat 35:
وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ
“Dan timbanglah dengan timbangan yang benar”
Al-Qisthas al-Mustaqim di sini tidak sekedar mengacu kepada timbangan literal yang digunakan untuk perdagangan. Ia juga mengacu kepada timbangan atau standar yang diajarkan Allah kepada para Utusan-Nya, termasuk kepada Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam lewat Al-Qur'an, untuk menilai mana kebenaran dan mana kekeliruan. Dengan timbangan ini, akal bisa berfikir untuk sampai pada kebenaran layaknya timbangan memberi tahu kita apakah suatu objek sudah sesuai dengan standar berat yang diinginkan. Dengan timbangan ini, cacat fikir atau logical fallacy bisa dihindari sehingga kita tidak jatuh pada kesimpulan yang keliru. Dengan timbangan ini, orang berakal tidak butuh taqlid soal keimanan kepada imam selain Rasulullah; bahkan beliau lah yang mengajarkan timbangan ini sebagaimana petunjuk Al-Qur'an agar bisa digunakan oleh umatnya untuk berfikir dengan benar.
Pertanyannya: bagaimana kita tahu kalau “timbangan” yang dimaksud Al-Qur'an ini valid? Jika kita percaya validitasnya karena Al-Qur'an adalah wahyu Tuhan, kita justru butuh membuktikan terlebih dahulu keberadaan Tuhan dan klaim Al-Qur'an sebagai wahyu Tuhan. Tapi, untuk sampai ke kesimpulan tersebut pun kita harus melalui proses berfikir itu sendiri. Ini circular reasoning. Apakah validitas metodologi berfikir kita dapatkan dari logika semata? Jika iya, bukankah logika terbukti menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda?
Al-Ghazali merespon pertanyaan di atas dengan balik bertanya: dari mana kita tahu validitas sebuah timbangan? Jawabannya: dari penglihatan dan pengalaman/induksi. Kita melihat melalui indra bahwa kedua sisi timbangan yang tidak memuat objek apa pun seimbang. Kita mengetahui dari induksi bahwa timbangan yang kedua sisinya sama beratnya, ia pasti seimbang. Dari dua premis ini, kita sampai pada kesimpulan bahwa timbangan tersebut valid. Kedua premis ini bersifat aksiomatis/dharuri; kebenarannya langsung kita ketahui tanpa butuh bukti. Keduanya juga menghasilkan pengetahuan yang 100 persen meyakinkan. Maka, kesimpulan bahwa timbangan bekerja dengan baik pun meyakinkan.
Begitu juga dengan timbangan-timbangan yang diajarkan Al-Qur'an. Kita tidak terjebak circular reasoning karena kebenaran timbangan yang diajarkan Al-Qur'an sebetulnya bisa kita ketahui langsung secara aksiomatis dari akal yang shahih bahkan tanpa harus membuktikan apakah Al-Qur'an wahyu Tuhan atau bukan. Level keyakinannya pun 100% tanpa keraguan. Justru, kesimpulan beragam yang dihasilkan banyak orang melalui berfikir adalah produk dari metodologi berfikir yang keliru, bukan mengindikasikan tidak validnya akal itu sendiri.
Maka, dapat kita simpulkan bahwa Al-Qur'an meng-endorse akal sebagai perangkat yang bisa digunakan untuk sampai pada kebenaran sepanjang menggunakan timbangan yang tepat. Pertanyannya kemudian: seperti apa timbangan atau metodologi berfikir yang diajarkan Al-Qur'an? Insyaallah kita akan mengupasnya satu per satu mulai dari tulisan selanjutnya.
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: