Berfikir bersama Al-Qur'an #1: Kata Al-Qur'an tentang Berfikir
Salah satu kritikan yang belakangan kerap kali ditujukan pada agama adalah sangkaan bahwa agama tak lain adalah dogma semata. Keimanan dipandang bukan sebagai sesuatu yang ilmiah dan bisa dibuktikan kebenarannya, tapi hanya sebatas kepercayaan. Karena sifatnya yang dogmatis, konsep keagamaan dipandang bertentangan dengan rasionalitas. Proses berfikir kritis terkait keimanan bahkan dianggap terlarang karena seperti mencampur-adukkan logika dan wahyu.
Tentu saja sangkaan semacam ini pada agama Islam tidak lah tepat. Tulisan-tulisan yang tersebar di blog ini ataupun yang tertuang di buku “Logika Keimanan” dengan jelas menunjukkan bahwa fondasi dasar agama, yaitu keimanan, justru harus dibuktikan secara rasional melalui proses berfikir. Di tulisan ini, saya ingin memberikan tanggapan pelengkap yang berbeda dengan sebelumnya. Di sini, kita akan bersama-sama melihat bagaimana Al-Qur'an sendiri merespon sangkaan-sangkaan di atas.
Apakah Al-Qur'an melarang pembacanya untuk berfikir? Jawabannya tidak. Sebaliknya, kita bisa menemukan tidak kurang dari 13 ayat yang eksplisit mengajukan pertanyaan retoris afala ta'qilun, tidakkah kamu befikir. Lebih banyak lagi ayat yang memuat pertanyaan retoris lain, alam tara, tidakkah kamu perhatikan. Seluruh ayat-ayat ini justru mengindikasikan bahwa Al-Qur'an mengajak pembacanya untuk berfikir! Sedemikian banyaknya poin ini sampai-sampai banyak sekali teolog Islam yang berargumen bahwa kewajiban pertama seseorang adalah berfikir!
Apakah Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk percaya begitu saja secara dogmatis? Jawabannya: tidak. Sebaliknya, di banyak sekali tempat, Al-Qur'an terang-terangan mengkritik mereka yang hanya membebek atau taqlid buta kepada pandangan orang lain, khususnya kepada kepercayaan nenek moyang sendiri. Salah satunya adalah Surat Al-Baqarah ayat 170:
وَإِذَا قِیلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَاۤ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلۡ نَتَّبِعُ مَاۤ أَلۡفَیۡنَا عَلَیۡهِ ءَابَاۤءَنَاۤۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَاۤؤُهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ شَیۡـࣰٔا وَلَا یَهۡتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami". Walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”
Alih-alih melanggengkan dogmatisme, Al-Qur’an justru mengkritik keras mereka yang tidak menggunakan akalnya untuk berfikir, matanya untuk melihat ciptaan Tuhan, dan telinganya untuk mendengarkan wahyu Tuhan sebagaimana ayat dalam Surat Al A’raf:
لَهُمۡ قُلُوبࣱ لَّا یَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡیُنࣱ لَّا یُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانࣱ لَّا یَسۡمَعُونَ بِهَاۤۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ كَٱلۡأَنۡعَـٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡغَـٰفِلُونَ [الأعراف ١٧٩]
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami. Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat. Mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Ayat di atas justru dengan gamblang menjabarkan bagaimana epistemologi ilmu yang tepat, yaitu menggunakan akal, indra, dan testimoni yang valid untuk sampai pada pengetahuan yang meyakinkan. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa semangat Al-Qur’an justru adalah semangat ilmiah: berfikir untuk sampai pada kesimpulan yang benar.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana cara berfikir yang tepat? Tidakkah banyak orang-orang yang menggunakan akalnya tapi justru sampai pada kesimpulan yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an? Pertanyaan ini lah yang akan coba kita jawab dalam beberapa tulisan ke depan. Serial ini ingin menyelami ayat-ayat Al-Qur'an langsung untuk memahami bagaimana metodologi berfikir yang tepat. Memahaminya bukan hanya akan membantu kita sampai pada kesimpulan yang benar, tapi juga akan membantu kita terhindar dari beragam sesat fikir yang sering muncul di sekeliling kita. Kita akan melihat bagaimana metodologi berfikir Al-Qur'an bisa digunakan di beragam hal, tapi ia menemukan relevansi terpentingnya dalam 2 hal: persoalan teologi (kalam) untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang ketuhanan, kenabian, dan hari akhir serta persoalan filsafat hukum islam (ushul fiqh) untuk mengambil kesimpulan yang konsisten dari Al-Qur'an tentang hukum suatu perbuatan dalam Islam.
Serial ini terutama akan menggunakan Qisthas al-Mustaqim karya Al-Ghazali sebagai acuan utama. Kita juga akan menggunakan beberapa contoh ayat yang disebutkan dalam Qawaid al-Aqaid, yang juga karya Al-Ghazali. Tapi, dalam perjalanannya, akan banyak juga referensi-referensi lain yang relevan yang akan digunakan.
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: