Berfikir bersama Al-Qur'an #6: Cacat Logika Iblis dalam Kisah Nabi Adam
Di tulisan-tulisan sebelumnya dalam Serial “Berfikir bersama Al-Qur'an”, kita telah membahas bagaimana Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk berfikir serta mengapa akal adalah “timbangan” yang valid untuk sampai pada kebenaran. Kita kemudian mengulas lima metode berfikir valid yang dicontohkan langsung oleh Al-Qur’an, yang disebut Al-Ghazali sebagai al-Qisthas al-Mustaqim. Kelima metode berfikir yang sudah diulas adalah mizan ta'adul, yang terbagi menjadi akbar, awsath, dan ashghar, mizan talazum (implikatif), dan mizan ta’anud (kontradiktif). Kita juga pernah membahas beberapa cacat logika di tulisan-tulisan sebelumnya, seperti equivocation, denying the antecedent, dan false dichotomy. Di tulisan ini, kita akan membahas beberapa cacat fikir lainnya, disebut sebagai mizan syaithan oleh Al-Ghazali, yang invaliditasnya dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Salah satu contohnya dijelaskan oleh Nabi Ibrahim ‘alayhissalam dalam Surat Al-An’am ayat 78 ketika menjelaskan kepada kaumnya bahwa objek penyusun alam semesta bukanlah Tuhan.
فَلَمَّا رَءَا ٱلشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّى هَٰذَآ أَكْبَرُ
“Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”.”
Premisnya sebagai berikut. Tuhan disifati dengan kebesaran. Matahari disifati dengan kebesaran. Kesimpulan: Matahari adalah Tuhan. Di mana letak kekeliruannya? Argumen di atas mengasumsikan bahwa fakta bahwa x dan y sama-sama disifati dengan z berimplikasi pada relasi antara x dan y. Padahal kesamaan properti antara dua entitas tidak menggaransi kesamaan mutlak kedua entitas tersebut. Cacat fikir semacam ini dikenal sebagai fallacy of the undistributed middle. Contoh sederhananya, fakta bahwa “kuda berkaki 4” dan “kambing berkaki 4” tidak lantas berimplikasi “kuda itu kambing”, bukan?
Selain itu, contoh di atas juga jatuh pada cacat fikir lain yang pernah kita singgung di serial tulisan ini, yaitu fallacy of equivocation. Ini terjadi ketika sebuah istilah yang sama, dalam hal ini “besar”, digunakan dalam satu rangkaian argumen meskipun memiliki makna yang berbeda. Makna “besar” ketika disematkan pada Tuhan jelas berbeda dengan makna “besar” ketika disematkan pada matahari. Besar bagi matahari mengacu pada ukuran atau dimensi. Ini jelas mustahil disematkan pada Tuhan karena ukuran adalah contoh sifat yang mengindikasikan kemungkinan sedangkan Tuhan adalah Entitas Yang Wajib dan berbeda dengan objek material penyusun alam semesta sebagaimana kita ketahui dari bukti rasional keberadaan Tuhan.
Contoh mizan syaithan atau cacat fikir berikutnya muncul dalam kisah Iblis saat menolak bersujud kepada Nabi Adam ‘alayhissalam sebagaimana dikisahkan dalam Surat Al-A'raf ayat 12:
قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَۗ قَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ١٢
“Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.””
Premisnya adalah sebagai berikut. Iblis lebih baik. Semua yang lebih baik tidak perlu bersujud. Kesimpulan: Iblis tidak perlu bersujud. Cacat fikir di atas sangat menarik karena berbeda dengan cacat fikir yang pernah kita singgung, kali ini bentuk argumennya sebetulnya valid. Bentuk argumennya tidak lain adalah mizan ta’adul akbar, salah satu di antara lima metode argumentasi valid yang pernah kita singgung. Lalu, di mana kekeliruannya? Kekeliruannya terletak pada premisnya. Ingat bahwa semua bentuk argumen yang kita singgung dalam serial ini sama-sama menghasilkan kesimpulan yang tak bisa ditolak jika semua premisnya diterima. Artinya, bentuk argumennya bisa saja benar, tapi kesimpulannya tetap salah karena premis penyusunnya yang salah.
Sebagai contoh, premis kedua pada argumen di atas berasumsi bahwa perlu tidaknya suatu perbuatan dilakukan bergantung pada kemuliaan si pelakunya. Premis ini tidak berdasar atas bukti apa pun. Bahkan, sebaliknya, bukti rasional mengharuskan kita berkesimipulan bahwa baik-tidaknya suatu tindakan harus kembali kepada perintah dari Pencipta yang bebas berkehendak menyuruh ciptaan-Nya. Penjelasan lengkap terkait poin ini cukup panjang dan pembaca yang berminat bisa membaca buku “Logika Keimanan”.
Bukan hanya premis keduanya saja. Premis pertama pun sebetulnya tertolak. Dari mana premis pertama didapat? Premis pertama didapat dari argumentasi lain yang dikisahkan di akhir ayat. Premis penyusunnya: Iblis berhubungan dengan zat yang lebih baik. Segala yang berhuhungan dengan zat yang lebih baik pasti baik. Kesimpulan: Iblis lebih baik. Argumentasi ini pun tidak valid karena invaliditas dari premis penyusunya. Premis kedua, misalnya, juga termasuk premis yang tidak berdasar karena baik-buruk seseorang tidak berkaitan dengan asal-muasal orang tersebut. Nabi Ibrahim ‘alayhissalam yang patuh pada Tuhan, misalnya, lebih mulia daripada putra Nabi Nuh ‘alayhissalam yang menolak perintah Tuhan meskipun orang tua Nabi Ibrahim di sebagian riwayat termasuk penyembah berhala sedangkan orang tua putra Nabi Nuh adalah seorang Nabi. Di luar soal ini pun, argumentasi Iblis di atas juga bergantung pada premis lain yang juga tak bisa dipertanggungjawabkan: bahwa api adalah dzat yang lebih baik daripada tanah.
Contoh di atas memberi tahu kita bahwa valid-tidaknya suatu argumen tergantung pada bentuk (form/shurah) argumennya sekaligus substansi atau materi (material/maaddah) premis penyusunnya. Poin pertama dikenal sebagai formal logic (al-manthiq ash-shuuriy) sedangkan poin kedua dikenal sebagai material logic (al-manthiq al-maaddiy). Argumen hanya valid jika memenuhi bentuk argumentasi yang valid, seperti kelima timbangan berfikir yang dipaparkan Al-Ghazali dalam serial ini, dan jika premis-premis penyusunnya valid atau sesuai dengan realita. Dari mana kita mengetahui validitas suatu premis? Esensinya, semua kembali kepada sumber pengetahuan utama manusia: observasi panca indra (musyahadat), empirisme (mujarrobat), testimoni massal (mutawatirot), pengetahuan aksiomatis (awwaliyat), atau dari kesimpulan argumentasi deduktif lain (nazariyyat) yang menggunakan premis-premis dari sumber-sumber di atas.
Di tulisan selanjutnya, kita akan melihat bagaimana metodologi yang keliru bisa membuat kita terjatuh pada kesimpulan yang keliru, khususnya dalam persoalan teologis.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: