Berfikir bersama Al-Qur'an #4: Transendensi Tuhan dan Mungkinnya Kenabian
Di tulisan-tulisan sebelumnya dalam Serial “Berfikir bersama Al-Qur'an”, kita telah membahas bagaimana Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk berfikir serta mengapa akal adalah “timbangan” yang valid untuk sampai pada kebenaran. Kita juga telah membahas jenis timbangan pertama, disebut sebagai mizan ta'adul akbar oleh Al-Ghazali dalam al-Qistash al-Mustaqim, yang digunakan Nabi Ibrahim untuk menunjukkan bahwa Allah lah Tuhan yang layak disembah alih-alih Namrud. Di tulisan ini, kita akan membahas 2 timbangan logika selanjutnya yang digunakan Al-Qur’an untuk mendemonstrasikan kebenaran.
Metodologi berfikir kedua, yang disebut Al-Ghazali sebagai mizan ta'adul awsath, adalah metodologi berfikir yang dicontohkan Nabi Ibrahim ‘alayhissalam dalam kisah masyhur lain ketika beliau mendemonstrasikan kemahasucian Tuhan dari keserupaan dengan makhluk yang didokumentasikan dalam Surat Al-An'am ayat 76:
لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
“Aku tidak suka Tuhan yang terbenam.”
Kita pernah menyinggung kisah ini dalam tulisan lain di blog ini, bagaimana Nabi Ibrahim mendemonstrasikan bahwa benda-benda langit yang ada di dunia ini, seperti bulan dan bintang bukanlah Tuhan karena terbenam atau mengalami perubahan. Argumennya sebagai berikut. Tidak ada Tuhan yang mengalami perubahan. Bulan mengalami perubahan. Maka, bulan bukan Tuhan. Struktur formalnya bisa dituliskan sebagai berikut:
Premis 1: Tidak ada x adalah y.
Premis 2: z adalah y.
Kesimpulan: z bukan x.
Tapi, dari contoh di atas, boleh jadi muncul pertanyaan: tidakkah premis pertama, yaitu tidak ada Tuhan yang mengalami perubahan, bukan premis yang aksiomatis? Bukankah argumentasi semacam ini berangkat dari premis aksiomatis menuju pengetahuan baru? Jawabannya: betul sekali, contoh di atas memuat premis yang tidak aksiomatis. Tapi, poinnya bukan di konten premis itu sendiri, tapi di bentuk premisnya. Artinya, apa pun konten premisnya, jika premisnya diakui kebenarannya dan disusun berdasarkan struktur di atas, kesimpulannya harus diterima. Adapun premis bahwa tiada Tuhan mengalami perubahan adalah produk dari argumentasi deduktif lain yang pernah kita singgung di beberapa tulisan di blog ini, yaitu: Setiap yang berubah mengalami permulaan. Tuhan tidak bermula. Kesimpulannya: Tuhan tidak berubah.
Ini adalah contoh mizan ta'adul akbar yang kita singgung di tulisan sebelumnya di serial ini. Tentu saja premis pertama di atas juga tidaklah aksiomatis. Kita juga pernah membahas bagaimana mendapatkan premis pertama di tulisan lain, berangkat dari argumen bahwa perubahan yang tak berhingga ke masa lalu hingga suatu waktu tertentu adalah kontradiksi. Poinnya: hasil dari suatu argumentasi deduktif bisa kita gunakan kembali sebagai premis dalam argumentasi deduktif lain untuk mendapatkan kesimpulan lainnya.
Sebagai catatan, mizan ta'adul awsath ini terutama sangat penting dalam teologi karena bentuk argumen semacam ini lah yang digunakan para teolog untuk membuktikan transendensi Tuhan, yaitu kesucian Tuhan dari segala yang tak layak baginya. Misal: Tidak ada objek material yang bersifat wajib. Tuhan bersifat wajib. Kesimpulan: Tuhan bukan objek material.
Metodologi berfikir ketiga, yang disebut Al-Ghazali sebagai mizan ta'adul ashghar, adalah metodologi yang dicontohkan Al-Qur'an ketika membantah klaim sebagian Yahudi di era Rasulullah bahwa tidak ada manusia yang menerima wahyu sebagaimana diabadikan dalam Surat Al-An'am ayat 91:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ عَلَىٰ بَشَرٍ مِّن شَيْءٍ ۗ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَىٰ نُورًا وَهُدًى لِّلنَّاسِ
“Mereka (Bani Israil) tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya ketika mereka berkata, “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapakah yang menurunkan kitab suci (Taurat) yang dibawa Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?””
Argumennya sebagai berikut. Nabi Musa adalah manusia. Nabi Musa menerima wahyu. Kesimpulannya: sebagian manusia menerima wahyu. Secara formal, argumennya bisa ditulis sebagai berikut:
Premis 1: sebagian x adalah y.
Premis 2: sebagian y adalah z.
Kesimpulan: sebagian x adalah z.
Dalam contoh di atas, Nabi Musa (y) adalah sebagian manusia (x). Dan Nabi Musa (y) menerima wahyu (z). Artinya, sebagian manusia menerima wahyu. Dan ini adalah negasi dari “Tidak ada manusia menerima wahyu” karena negasi dari premis general negatif (“tidak ada”) adalah premis partikular positif (“sebagian”).
Dalam contoh di atas, premis 1 adalah pengetahuan aksiomatis sedangkan premis 2 adalah fakta sejarah yang dipegang oleh kalangan Yahudi yang menolak dakwah Rasulullah dalam kisah di atas. Artinya, dalam dialektika, bisa jadi kita tidak memulai dari premis aksiomatis ataupun membuktikan premis non-aksiomatis. Ini terjadi ketika pihak yang sedang kita yakinkan sudah terlebih dulu menerima premis tersebut. Argumentasi semacam ini disebut sebagai dalil ilzami. Maka, dalam contoh di atas, saripati argumennya adalah: mungkin saja Tuhan mengutus manusia sebagai utusan-Nya karena kalian sendiri percaya bahwa Nabi Musa, yang notabene adalah manusia, juga Utusan Tuhan.
Insyaallah, di tulisan selanjutnya, kita akan melanjutkan pembahasan tentang metodologi berfikir lainnya yang dicontohkan Al-Qur’an untuk sampai pada kebenaran, yaitu mizan talazum (implikatif) dan mizan ta’anud (kontradiktif).
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: