Berfikir bersama Al-Qur'an #3: Logika Ibrahim dan Fallacy Namrud
Di tulisan sebelumnya dalam Serial “Berfikir bersama Al-Qur'an”, kita telah membahas bagaimana Al-Qur’an mendorong pembacanya untuk berfikir serta mengapa akal adalah “timbangan” yang valid untuk sampai pada kebenaran. Di tulisan ini, kita akan membahas pertanyaan lanjutan yang muncul: bagaimana cara berfikir yang benar menurut Al-Qur’an.
Abu Hamid Al-Ghazali dalam al-Qisthas al-Mustaqim memaparkan bahwa ada tiga jenis “timbangan” yang diajarkan Al-Qur’an untuk memandu kita berfikir menuju kesimpulan yang benar. Yang pertama adalah timbangan yang beliau sebut sebagai ta’adul atau keseimbangan. Timbangan ini terdiri atas 3 jenis, yaitu timbangan besar (akbar), pertengahan (awsat), dan kecil (asghar). Di tulisan ini, kita akan membahas timbangan ta’adul akbar terlebih dahulu.
Metodologi pertama, yaitu mizan ta'adul akbar adalah metodologi berfikir yang dicontohkan oleh khalilullah Ibrahim ‘alaihissalam dalam dialog beliau dengan Raja Namrud yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 258:
أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِي حَآجَّ إِبْرَٰهِيمَ فِى رَبِّهِۦٓ أَنْ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ٱلْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ رَبِّىَ ٱلَّذِى يُحْىِۦ وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا۠ أُحْىِۦ وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَأْتِى بِٱلشَّمْسِ مِنَ ٱلْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ ٱلْمَغْرِبِ فَبُهِتَ ٱلَّذِى كَفَرَۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya karena Allah telah menganugerahkan kepadanya (orang itu) kerajaan (kekuasaan), (yakni) ketika Ibrahim berkata, “Tuhankulah yang menghidupkan dan mematikan.” (Orang itu) berkata, “Aku (pun) dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Kalau begitu, sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur. Maka, terbitkanlah ia dari barat.” Akhirnya, bingunglah orang yang kufur itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Dalam kisah ini, Nabi Ibrahim mengajukan argumen formal sebagai berikut. Semua yang berkuasa melalukan segala sesuatu, seperti bisa menghidupkan dan mematikan orang, adalah Tuhan. Tuhanku bisa menghidupkan dan mematikan. Maka, Tuhanku lah Tuhan yang sesungguhnya. Alur berfikir ini secara formal bisa dituliskan sebagai berikut:
Premis 1: Semua x adalah y.
Premis 2: z adalah x.
Kesimpulan: z adalah y.
Sebaliknya, semua Tuhan adalah yang bisa menghidupkan dan mematikan. Namrud tidak bisa menghidupkan dan mematikan, maka Namrud bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Alur berfikir ini secara formal bisa dituliskan sebagai berikut:
Premis 1: Semua x adalah y.
Premis 2: z bukan y.
Kesimpulan: z bukan x.
Alur berfikir formal ini lah yang disebut Al-Ghazali sebagai mizan ta’adul akbar. Argumennya tersusun atas dua premis. Premis pertama bersifat affirmatif (“x adalah y”) dan general (“Semua x”). Premis kedua bersifat affirmatif (“z adalah x”) dengan predikat yang sama dengan subjek premis pertama (“x”) atau negatif (“z bukan y”) dengan predikat yang sama dengan predikat premis pertama (“y”). Sehingga, kesimpulannya affirmatif (“z adalah y”) ataupun negatif (“z bukan x”) mengikuti premis kedua. Ketika kedua premis penyusunnya diterima kebenarannya, maka kesimpulannya secara rasional harus diterima. Dapat kita lihat bahwa metodologi berfikir di atas berlaku umum di semua kondisi dan di semua cabang ilmu.
Yang menarik adalah respon Namrud dalam ayat di atas. Di sini, Namrud menyadari bahwa ia mustahil menolak kesimpulan argumen Nabi Ibrahim di atas jika menerima kedua premisnya. Maka, yang kemudian ia lakukan adalah membantah salah satu premis Nabi Ibrahim di atas: Namrud mengaku bisa mematikan dan menghidupkan! Artinya, kesimpulan yang ingin dicapai Namrud adalah kesimpulan bahwa Namrud adalah Tuhan.
Tetapi, yang dilakukan Namrud di sini tidaklah valid karena termasuk ke dalam logical fallacy yang dikenal sebagai equivocation. Ini adalah cacat logika ketika sebuah istilah yang sama digunakan dalam satu rangkaian argumen meskipun memiliki makna yang berbeda. Contoh dalam kasus di atas adalah istilah “mematikan dan menghidupkan”. Makna sesungguhnya yang dimaksud Nabi Ibrahim adalah mencabut nyawa seseorang serta memberikan nyawa pada seseorang. Namrud menggunakan istilah yang sama tetapi merujuk pada hal lain, yaitu melepaskan tawanan dan menghukum mati tawanan. Apa respon Nabi Ibrahim? Sebagai respon, Nabi Ibrahim memberikan premis lain yang lebih jelas dan tak bisa diselewengkan maknanya: menerbitkan matahari. Tuhan bisa menerbitkan matahari dari barat. Namrud tidak bisa menerbitkan matahari dari barat. Maka, Namrud bukanlah Tuhan.
Pertanyaan yang muncul: Apa kegunaan dari argumentasi seperti di atas? Bukankah contoh-contoh yang diberikan telah jelas sehingga tidak butuh lagi pada argumen? Jawabannya: argumentasi deduktif seperti di atas digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru dari premis-premis yang sudah diketahui kebenarannya. Misalnya, dalam Ushul Fiqih, kita menghukumi bahwa meminum bir haram berbekal premis “semua yang memabukkan haram” dan “meminum bir memabukkan”. Dalam ilmu teologi, argumentasi semacam ini digunakan untuk membuktikan adanya Pencipta berbekal premis “semua yang bermula butuh sebab”, “alam semesta bermula”, sehingga kesimpulannya: “alam semesta butuh sebab”. Kesimpulan yang dihasilkan pun bisa dikombinasikan dengan premis lain lagi untuk sampai pada kesimpulan baru lagi. Hasil yang didapat dari proses berfikir ini lah yang dikenal sebagai ilmu nazari.
Pertanyaan selanjutnya: Dari mana kita tahu kebenaran premis-premis dasarnya? Bukankah argumentasi deduktif harus berawal dari premis-premis dasar untuk sampai pada suatu kesimpulan? Jawabannya: premis-premis paling dasar didapatkan dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat aksiomatis/dharuri. Ini adalah jenis pengetahuan yang langsung kita tahu tanpa butuh proses berfikir. Beberapa contohnya: informasi yang kita dapat dari panca indra seperti “matahari bersinar”, dari akal seperti “sebagian lebih kecil dari keseluruhan”, dari pengalaman atau percobaan empiris seperti “obat menyembuhkan”, atau testimoni yang valid seperti “Hitler eksis”. Esensinya, “mizan” yang dipraktekkan Nabi Ibrahim di atas ataupun mizan-mizan yang akan dijelaskan selanjutnya adalah proses berfikir dari pengetahuan-pengetahuan aksiomatis menuju pengetahuan baru yang valid tentang realita.
Insyaallah, di tulisan selanjutnya, kita akan membahas metodologi berfikir selanjutnya yang dicontohkan Al-Qur’an untuk sampai pada kebenaran.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: