Can Science Explain Every Thing #6: Hukum Alam dan Mungkinnya Mu'jizat
Ini adalah bagian terakhir dari serial Bahas Buku Ramadhan 1445 Hijriah tentang buku Can Science Explain Every Thing? karya John Lennox. Di tulisan ini, kita akan membahas topik krusial terkait persinggungan sains dan agama, yaitu soal miracle atau mu'jizat.
Sebagai catatan penting, saya akan menggunakan kata “mu'jizat” sebagai terjemah dari “miracle” yang digunakan Prof. Lennox meskipun sebetulnya kedua istilah ini tidaklah 100% identik. Dalam teologi Islam, mu'jizat hanyalah salah satu jenis peristiwa di luar kebiasaan (kharq al-adah) di antara beberapa kemungkinan lain. Tapi, saya tetap memilih “mu'jizat” karena pembaca Indonesia sudah familiar dengan istilah ini.
Pertanyaan utama yang ingin dijawab Prof. Lennox: apakah mempercayai mu'jizat di era sains modern masih lah relevan? Sebagian saintis di era modern ini percaya bahwa hukum sains terbukti selalu bekerja sehingga mu'jizat, yang dianggap sebagai pelanggaran hukum alam, dianggap tidak rasional. Orang-orang terdahulu mudah percaya mu’jizat karena sains dianggap belum berkembang seperti sekarang.
Kita akan membahas poin-poin di atas mulai dari poin terakhir terlebih dahulu. Pandangan bahwa orang-orang pre-modern mudah percaya mu'jizat karena sains belum berkembang seperti sekarang tidaklah tepat karena kita sebetulnya tidak butuh perkembangan sains yang advanced untuk mengetahui terjadinya mu'jizat. Yang kita butuhkan hanyalah fakta bahwa peristiwa tersebut keluar dari regularitas alamiah dan tak bisa direplikasi. Regularitas alam adalah sesuatu yang diyakini hampir semua orang sejak zaman dahulu. Tanpa sains modern pun, orang tahu bahwa tongkat tidak biasa berubah menjadi ular, laut tidak biasa terbelah, dan orang mati tidak biasa hidup kembali. Maka, ketika peristiwa-peristiwa di atas terjadi, mudah saja mengidentifikasinya sebagai mu'jizat.
Bukankah hukum sains terbukti selalu bekerja? Di tulisan sebelumnya kita sempat membahas poin ini, mengapa mempercayai sesuatu akan selalu terjadi di masa depan berbasis kejadian-kejadian masa lalu tidak bisa dibuktikan secara rasional. Dengan kata lain, sains tidak membuktikan hukum alam selalu terjadi, tapi justru mengasumsikannya.
Di bagian ini, Prof. Lennox punya pandangan yang berbeda. Bagi Prof. Lennox, hukum sains mendeskripsikan bagaimana alam akan bekerja ketika Tuhan tidak mengintervensi. Tetapi, karena Tuhan lah yang menciptakan hukum-hukum alam, Ia pun bebas mengintervensi hukum alam yang sudah Ia buat sendiri. Ketika ini terjadi, muncullah mu'jizat. Dengan kata lain, alam semesta bukanlah sistem kausal tertutup yang tidak bisa diintervensi dari luar.
Di poin ini lah pandangan beliau tidak seratus persen sesuai dengan pandangan Muslim. Bagi Muslim, kausalitas natural pun tidak lebih dari sekedar korelasi saja: bagaimana satu besaran alam diikuti besaran alam yang lain. Esensinya, setiap peristiwa yang terjadi di alam adalah sesuatu yang mungkin. Sesuatu yang mungkin butuh kepada sesuatu Yang Wajib untuk menentukan wujudnya satu kemungkinan di antara berbagai kemungkinan. Sesuatu Yang Wajib ini tidak butuh apa pun untuk mencegah rantai kausalitas tak berujung. Inilah yang diimani Muslim sebagai Tuhan. Artinya, bagi Muslim, Tuhan selalu aktif bekerja setiap saat. Tidak ada “hukum alam” yang independen terhadap Tuhan. Tuhan bebas berkehendak apa pun setiap saat.
Tapi, kalau peristiwa yang kita lihat hanyalah korelasi, mengapa korelasi-korelasi alamiah ini hampir selalu terjadi di alam? Dengan kata lain, mengapa Tuhan memilih adanya regularitas alih-alih memilih alam semesta yang chaotic misalnya? Ada banyak hikmah di balik regularitas alam semesta. Salah satunya: hanya dengan regularitas lah kita mengetahui adanya abnormalitas. Ini memudahkan manusia mengidentifikasi terjadinya mu'jizat. Dengan kata lain, fakta adanya Tuhan sebagai Necessary Being yang berkehendak atas segala sesuatu yang terjadi membuat mu'jizat menjadi rasional. Karena apa pun yang terjadi di alam, apakah teratur ataupun tidak, kembali kepada kehendak Tuhan.
Perbedaan lain soal mu'jizat juga kita temukan di sini. Dalam tradisi Kristen, mu'jizat kebangkitan Yesus adalah bukti kuat adanya sifat ketuhanan pada Yesus, yang menjadi salah satu poin terpenting keimanan Kristen. Bagi Muslim, mu'jizat tidak membuktikan sifat ketuhanan pemiliknya karena adanya bukti rasional bahwa Tuhan sebagai Necessary Being harus berbeda dengan makhluk-Nya. Dalam teologi Islam, mu'jizat yang terjadi di tangan seseorang yang mengaku sebagai Utusan Tuhan adalah konfirmasi Tuhan akan kebenaran klaim orang tersebut. Tentu saja diskusi soal ini cukup panjang dan di luar scope tulisan ini. Pembaca yang tertarik memahami lebih dalam konsep mu'jizat dalam Islam, silahkan bisa membaca buku “Logika Keimanan”.
Penutup
Sebetulnya, buku Prof. Lennox tidak berhenti di sini. Ada bagian-bagian menarik tentang bagaimana beliau berusaha membuktikan beberapa poin-poin keimanan khas Kristen. Seperti di atas, ada poin-poin yang juga disepakati Muslim, meski tidak sedikit juga perbedaannya. Tapi, topik spesifik yang berkaitan dengan sains dan agama saya rasa sudah terbahas semuanya dalam serial tulisan ini.
Sebagai penutup, saya ingin menekankan kembali pentingnya memahami peran dan posisi sains dan agama bagi Muslim yang hidup di era modern ini. Karena perdebatan sains-agama ini adalah sesuatu yang muncul di Barat, ada banyak pelajaran yang bisa diambil Muslim dari karya-karya tokoh Kristen seperti Prof. Lennox karena ada banyak irisan antara teologi Islam dan Kristen. Meski begitu, ada banyak juga perbedaan krusial sehingga Muslim harus betul-betul menyaring mana poin-poin yang pas dengan konsep teologinya dan mana yang perlu disesuaikan. Ini pentingnya Muslim belajar teologi Islam agar kita memahami betul argumen-argumen rasional penopang keimanan kita.
Semoga serial tulisan Bahas Buku ini bermanfaat untuk pembaca sekalian.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thoriq.