Mu’jizat memiliki peranan penting dalam kerangka teologi Islam. Sebagai sesuatu di luar regularitas yang tidak bisa direplikasi dan terjadi bersamaan dengan klaim seseorang bahwa ia utusan Tuhan, mu’jizat tidak lain adalah bentuk konfirmasi Tuhan tentang kebenaran klaim kenabian. Seolah-olah Tuhan berkata, “Hamba-Ku berkata benar tentang apa yang ia sampaikan dari-Ku.” Pertanyaannya: apakah mu'jizat yang terjadi di tangan seseorang tidak mengindikasikan bahwa ia adalah Tuhan? Tidakkah klaim seseorang bahwa dirinya Tuhan dibarengi dengan terjadinya sesuatu di luar regularitas mengkonfirmasi kebenaran klaimnya bahwa ia Tuhan?
Menjawab pertanyaan di atas menjadi penting untuk terhindar dari kekeliruan terkait mu’jizat. Sebagian kalangan misalnya mengira bahwa adanya sesuatu di luar regularitas di diri seseorang pasti berimplikasi pada adanya sifat ketuhanan pada dirinya, seperti yang dianggap terjadi pada Nabi Isa ‘alayhissalam. Kelahiran Nabi Isa yang tanpa ayah, ataupun mu’jizat menghidupkan orang mati, ataupun fenomena bangkitnya beliau dari kematian setelah disalib (setidaknya menurut versi kawan-kawan Nasrani) kerap dianggap mengindikasikan adanya sifat Ketuhanan pada diri beliau. Logika berpikir semacam ini lah yang juga digunakan oleh Al-Masih Ad-Dajjal saat mengaku menjadi Tuhan sebegaimana diriwayatkan beberapa hadits Nabi. Lalu, bagaimana sebenarnya peran mu’jizat di sini?
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali punya ilustrasi menarik dalam karya beliau, al-munqidz min adh-dholal. Bayangkan seseorang datang dan berkata bahwa angka 3 lebih besar daripada angka 10. Kemudian, ketika diminta membuktikan kebenaran pernyataannya, orang tersebut mengubah tongkat di tangannya menjadi ular. Apakah kejadian di luar kebiasaan tersebut lantas membuktikan kebenaran klaimnya bahwa 3 lebih besar daripada 10? Jawabannya tentu saja tidak. Bahkan ketika kejadian yang ditunjukkan orang tersebut betul-betul luar biasa memukau kita, ia tidak lantas membuktikan bahwa 3 lebih besar daripada 10. Bahkan, kekeliruan klaim tersebut sejatinya tidak bisa dibenarkan oleh bukti apa pun! Seseorang yang memahami apa itu “3”, “10”, dan “lebih besar” langsung bisa memahami kekeliruan pernyataan tersebut. Artinya: mu’jizat tidak bisa membenarkan sebuah klaim irasional!
Ini juga yang sebetulnya terjadi pada kasus Dajjal di atas. Ketika Dajjal mengklaim bahwa dirinya Tuhan sembari menunjukkan kejadian di luar kebiasaan sebagai buktinya, apa yang terjadi tetap tidak berpengaruh pada klaim ketuhanannya. Mengapa? Karena bukti rasional keberadaan Tuhan memaksa kita secara rasional mengafirmasi bahwa Tuhan adalah Necessary Being, Wajib al-Wujud, Dzat Yang Tak Bermula tapi Selalu Ada. Maka, Tuhan mustahil disifati oleh sifat-sifat yang berimplikasi pada kemungkinan dan kebermulaan. Dajjal, terlepas dari kejadian di luar kebiasaan yang ia lakukan, bukanlah Tuhan karena ia adalah dzat yang disifati dengan segala sifat kemungkinan dan kebermulaan. Misalnya: ia adalah dzat material yang tersusun sedangkan segala sesuatu yang tersusun atas bagian-bagian mungkin untuk tersusun atas bagian-bagian yang lain. Karenanya ia butuh kepada Sesuatu untuk menjadikannya tersusun seperti sekarang, maka ia bukanlah Dzat Yang Wajib seperti Tuhan. Lebih jauh lagi, hadits Nabi juga mengabarkan betapa Dajjal buta sebelah matanya. Untuk standar makhluk pun ia tak sempurna, bagaimana mungkin ia adalah Tuhan Yang Maha Suci dari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan?
Kalau adanya sesuatu di luar kebiasaan tidak bisa mengkonfirmasi klaim ketuhanan, mengapa mu’jizat bisa mengkonfirmasi klaim seseorang bahwa ia utusan Tuhan? Jawabannya: Karena pada kasus tersebut, klaim yang didukung oleh fenomena mu’jizat bukanlah klaim yang irasional, tetapi klaim yang mungkin secara rasional. Ketika seseorang mengklaim bahwa dirinya adalah utusan Tuhan, esensinya klaim tersebut adalah sesuatu yang mungkin: bisa keliru ataupun benar. Ini berbeda dengan klaim bahwa “3 lebih besar daripada 10” ataupun klaim bahwa “Dajjal adalah Tuhan”. Keduanya adalah klaim yang mustahil secara rasional sehingga tak ada fenomena apa pun yang bisa membenarkan validitasnya. Maka, ketika klaim bahwa seseorang utusan Tuhan, in itself adalah sesuatu yang mungkin, dibarengi dengan adanya mu’jizat yang hanya bisa diciptakan oleh Tuhan, hanya ada satu kesimpulan yang mungkin: Tuhan sedang membenarkan klaim kenabian tersebut.
Maka, adanya mu’jizat yang terjadi di tangan seseorang sama-sekali tidak berimplikasi adanya sifat ketuhanan pada orang tersebut. Sifat Ketuhanan hanya dimiliki oleh Tuhan, Yang Maha Suci dari Segala Keterbatasan.