Can Science Explain Every Thing #5: Agama atau Sains yang Berbasis Kepercayaan?
Bagi sebagian kalangan, agama dianggap sesuatu berbasis kepercayaan semata sedangkan sains tidaklah demkian. Sebaliknya, sains dianggap memiliki basis rasional sedangkan agama tidak. Begitulah klaim yang sering didengar saat perdebatan antara sains dan agama. Di tulisan ini, kita akan membahas bagaimana Prof. Lennox menanggapi poin-poin di atas dalam bukunya, Can Science Explain Every Thing?
Poin pertama berfokus pada klaim bahwa sains menurut para naturalis (yang percaya bahwa alam adalah segala sesuatu yang ada) adalah produk pengetahuan yang rasional dan tidak berlandaskan pada “kepercayaan” layaknya agama. Bagi Prof. Lennox, pandangan ini keliru. Agar bisa menghasilkan teori sains, seorang saintis harus berlandaskan pada asumsi bahwa alam mengikuti suatu hukum atau ketentuan yang terjadi secara teratur. Asumsi ini adalah “kepercayaan” yang dipegang sebagai fondasi untuk semua kegiatan saintifik. Tanpa asumsi ini, tidak ada gunanya saintis melakukan eksperimen untuk mendapatkan teori-teori sains yang mendeskripsikan alam semesta. It is taken as a given.
Tapi, bukankah fakta bahwa pengukuran yang dilakukan saintis dalam kondisi yang sama menghasilkan output yang sama adalah bukti bahwa hukum alam selalu bekerja? Di sini lah kita jatuh pada apa yang disebut sebagai problem of induction yang banyak dinisbatkan pada filsuf David Hume (meskipun Al-Ghazali sudah menyinggung poin ini dalam karya-karyanya). Ringkasnya, menganggap suatu kejadian di masa lalu sebagai basis prediksi apa yang akan terjadi di masa depan tidaklah bisa dibuktikan secara rasional. Tidak ada alasan yang valid untuk menjustifikasi bahwa pengamatan lama akan selalu berulang di masa depan. Tapi, bukankah proses induksi selama ini bekerja? Well, klaim bahwa “proses induksi akan terus bekerja karena selama ini ia bekerja” pun adalah proses induksi itu sendiri sehingga argumen semacam ini tidak lain adalah circular reasoning. Artinya: asumsi bahwa ada hukum alam yang selalu teratur terjadi tidak bisa dibuktikan oleh sains itu sendiri karena akan jatuh pada problem induksi.
Tidak hanya soal hukum alam saja. Menurut Prof. Lennox, agar saintis bisa bekerja, sains harus berasumsi bahwa alam bisa difahami oleh akal manusia yang terbatas. Lagi-lagi, ini adalah asumsi yang tak bisa dibuktikan oleh sains itu sendiri. Itu mengapa Einstein berkata, “The most incomprehensible thing about the world is that it is comprehensible”. Lebih jauh lagi, jika alam adalah segala sesuatu yang ada dan akal manusia murni terbentuk dari proses natural yang melibatkan seleksi alam dan mutasi acak, apa jaminan bahwa akal manusia bisa dipercaya? Jawabannya tidak ada. Tapi, kalau akal manusia tidak bisa dipercaya, maka begitu juga sains yang dihasilkan oleh akal manusia. Artinya: percaya bahwa akal manusia terbentuk dari proses natural semata justru meruntuhkan fondasi rasionalitas manusia, termasuk sains di dalamnya.
Bagi Prof. Lennox, mempercayai poin-poin di atas dalam kerangka philosophical naturalism bahwa alam adalah segala sesuatu yang ada tidaklah masuk akal. Meyakini adanya Tuhan Yang Mengatur alam semesta dan Maha Memberi Pengetahuan lebih masuk akal dalam menjelaskan hukum alam dan validnya rasionalitas manusia.
Masuk ke poin kedua, agama menurut Prof. Lennox juga memiliki basis rasional seperti sains. Prof. Lennox memaparkan contoh-contoh dari Bible bagaimana ayat suci menekankan pentingnya akal dan rasionalitas. Saya tidak akan banyak membahas perspektif beliau soal ini karena saya tidak cukup tahu tentang metodologi penafsiran Kristen. Tapi, saya ingin berkata bahwa ayat-ayat Al-Qur'an dengan sangat jelas memaparkan bagaimana iman harus ditopang basis rasional. Perintah Tuhan untuk bertafakur pada keteraturan alam, perintah untuk mengetahui dengan yakin bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, serta argumen-argumen rasional para Nabi adalah sedikit contoh bagaimana Al-Qur'an mensyaratkan basis rasional untuk keimanan. Bahkan, keberadaan Tuhan bagi Al-Qur'an adalah kesimpulan rasional adanya alam semesta dan segala isinya. Betul bahwa basis rasional agama pun bergantung pada pengetahuan aksiomatis yang tidak bisa dibuktikan, seperti validnya pengamatan indrawi kita dan validnya akal kita. Tapi asumsi ini digunakan bahkan oleh sains sekalipun. Artinya, bagi Muslim, fondasi keimanan dan teori-teori sains tidaklah berbeda karena keduanya adalah produk proses rasional yang valid, bukan kepercayaan tak berdasar yang tak rasional. Pembaca yang berminat membaca lebih jauh soal ini bisa mengacu kepada tulisan saya di buku Logika Keimanan.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kalimat C.S. Lewis, penulis Narnia sekaligus teolog, yang dikutip Prof. Lennox. “Para naturalis berfikir keras tentang alam, sampai-sampai mereka tidak sepenuhnya sadar bahwa mereka berfikir. Saat mereka betul-betul menyadari ini, akan sangat jelas bahwa proses berfikir kita bukan sebatas fenomena alam saja, dan karenanya, ada sesuatu selain alam yang eksis di dunia ini.”