Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali pernah menulis bahwa teologi layaknya obat bagi “penyakit” pemikiran yang menyerang akal kita. Sebagaimana obat hanya ditujukan untuk orang sakit, maka mempelajari teologi secara mendalam bukanlah untuk semua kalangan. Teologi hanya dibutuhkan di kondisi tertentu dengan kadar tertentu. Betul bahwa harus selalu ada “dokter” dan “apoteker” yang menggodog “obat” teologis agar siap saat ada penyakit pemikiran yang menyerang. Tetapi, mengekspos orang yang tidak sakit dengan obat hanya akan membuat mereka menjadi sakit. Itu mengapa beliau dan banyak ulama’ lain justru mewanti-wanti agar orang awam yang tidak banyak terpapar dengan penyakit pemikiran untuk tidak mempelajari teologi secara mendalam. Cukup belajar pokok-pokok keimanan dengan argumen-argumen mendasar yang dipaparkan teks Al-Qur’an dan memperbanyak ibadah saja.
Pandangan di atas tentu saja sangat masuk akal. Tapi, bagaimana mengkontekstualisasikan pandangan beliau di zaman ini? Benarkah di zaman ini orang-orang yang tak mendalami ilmu syari’at tak perlu sama-sekali belajar teologi? Jika seseorang mendalami sains dan engineering, misalnya, apakah pekerjaannya tidak memunculkan kebutuhan untuk belajar teologi?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa karakteristik peradaban modern saat ini yang cukup mengubah situasi masyarakat kita dibandingkan dengan era Imam Al-Ghazali. Yang menurut saya sangat krusial setidaknya ada dua:
Kita hidup di era di mana sains menjadi primadona ilmu pengetahuan, sampai-sampai banyak yang menganggapnya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid. Akibatnya, sesuatu yang tidak bisa dibuktikan oleh sains dianggap tidak rasional atau bahkan tidak ada. Karena sains hanya mempelajari segala sesuatu yang bisa diobservasi, baik langsung maupun tidak langsung, sesuatu yang tidak bisa diobservasi akan dianggap tidak ada. Ini kemudian memunculkan “ketegangan” antara produk sains dengan pokok-pokok keimanan.
Kita hidup di era di mana informasi menyebar begitu mudah. Bahkan, orang awam yang tinggal di pelosok desa sekalipun saat ini bisa mengakses beragam pandangan yang berbeda hanya dari genggaman gawainya. Ide-ide “liar” yang dulunya mungkin hanya mengganggu orang-orang tertentu kini bisa diakses dengan begitu mudah oleh semua orang.
Dalam konteks situasi seperti ini, bagaimana kita memahami ilustrasi Al-Ghazali tentang teologi sebagai obat di atas? Bagi saya, ilustrasi bahwa teologi sebagai obat hanya diperlukan jika ada penyakit itu tidak salah. Tetapi, ini berlaku di kondisi normal. Bagimana jika ada pandemi merebak yang bisa mengancam keselamatan semua orang? Jika kita menunggu terinfeksi baru diobati mungkin kita tidak tertolong lagi. Solusi untuk kondisi seperti ini adalah “vaksin” yang harus disuntikkan bahkan sebelum seseorang terinfeksi penyakit tersebut.
Bagi saya, zaman ini seperti layaknya “pandemi pemikiran” di mana begitu banyak pandangan-pandangan yang tak selaras dengan pokok-pokok keimanan bertebaran di mana-mana. Ini terjadi, mungkin tanpa disadari, terutama di kalangan muda yang mengenyam pendidikan level universitas di mana ia akan berkenalan dengan beragam pemikiran. Tanpa mengesampingkan bidang ilmu yang lain, pengalaman pribadi saya yang berkecimpung di bidang saintek merasakan hal ini. Bayangkan jika generasi muda kita membaca pernyataan-pernyataan ilmuwan naturalis yang tidak percaya keberadaan Tuhan tanpa punya bekal teologis apa pun!
Itu mengapa bagi saya saat ini: muslim yang hendak berkecimpung di bidang saintek level universitas wajib belajar teologi. Tentu saja level kedalamannya tidak sama dengan para ulama’ yang memang fokus di bidang teologi. Tetapi, ia mesti belajar cukup dalam sampai ke level tertentu untuk memahami argumen-argumen utama yang membuktikan pokok-pokok keimanannya secara rasional. Harapannya, pengetahuannya ini bisa membantu sebagai “vaksin” untuk menyiapkannya menghadapi beragam pemikiran lain yang berpotensi mengganggu keimanannya. Betul, ketika nanti “penyakit pemikiran” yang menyerangnya sudah sampai pada taraf tertentu, ia perlu diobati oleh mereka yang lebih pakar. Tapi, tanpa adanya “vaksin teologis”, saya khawatir kita akan sampai pada kondisi ketika tak ada lagi yang tersisa untuk disembuhkan.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam. Wa huwa hasbuna wa ni’mal wakil.