Surat Al-Ikhlas dan Kesempurnaan Tuhan
Bagaimana Al-Ikhlas Merangkum Kesempurnaan Tuhan dari Kekurangan
Surat Al-Ikhas adalah salah satu surat terpendek dalam Al-Qur’an. Tetapi, makna yang terkandung di dalamnya teramat mendalam, sampai-sampai Rasulullah menyebutnya sebagai sepertiga Al-Qur’an. Banyak yang membahas makna-makna yang terkandung dalam surat ini dari berbagai sudut pandang. Di tulisan ini, kita akan melihat bagaimana surat ini menafikkan delapan jenis kekurangan yang tidak layak bagi Tuhan.
Imam Ahmad Ash-Showy dalam catatan kaki beliau yang menjelaskan teks Aqidah Jawharah at-Tawhid menjelaskan adanya delapan jenis kekurangan yang tidak layak disematkan kepada Dzat Tuhan sebagai Necessary Being, Wajib al-Wujud. Secara rasional, mensifati Tuhan dengan salah satu dari delapan kekurangan ini akan otomatis menegasikan sifat Tuhan sebagai Necessry Being. Kedelapan kekurangan ini adalah:
Katsrah, yaitu bagaimana Tuhan terbagi atas bagian-bagian.
‘Adad, yaitu keberbilangan Tuhan.
Naqsh, yaitu dependensi atau butuhnya Tuhan kepada sesuatu.
Qillah, yaitu kekurangan Tuhan dalam kemampuan-Nya.
‘Illah, yaitu Tuhan sebagai penyebab tanpa kehendak.
Ma’lul, yaitu Tuhan sebagai akibat dari sesuatu.
Syabih, yaitu adanya keserupaan Tuhan.
Nadzir, yaitu adanya entitas lain yang sebanding dengan Tuhan.
Ayat pertama dalam Surat Al-Ikhlas, “Qul huwa Allahu Ahad, Katakanlah Ia, Allah, adalah Esa”, menegasikan dua jenis kekurangan, yaitu katsrah dan ‘adad. Sifat Tuhan yang Esa mengindikasikan bahwa Tuhan tidak terbagi atas bagian-bagian dan hanya ada satu entitas Tuhan. Apa buktinya?
Tuhan adalah Necessary Being yang keberadaannya dibuktikan dari adanya alam semesta. Alam semesta yang bersifat mungkin membutuhkan sebab untuk menjadikannya ada. Untuk menghindari rantai sebab-akibat yang tak berujung, penyebab alam semesta haruslah bersifat wajib dan tidak butuh kepada sebab apa pun sehingga Tuhan kita sebut sebagai Necessary Being. Sebagai Necessary Being yang tidak butuh sebab, Tuhan tidak mungkin terbagi atas bagian-bagian karena sesuatu yang bisa dibagi-bagi mengindikasikan kemungkinan. Dzat yang bersifat mungkin pasti butuh kepada sebab. Ini berujung pada kontradiksi dengan konsep Tuhan sebagai Necessary Being yang tidak butuh sebab. Artinya: Dzat Tuhan mustahil terbagi. Fakta bahwa Tuhan adalah Necessary Being juga mengindikasikan bahwa Dzat Tuhan hanya ada satu. Keberadaan lebih dari satu Necessary Being mengindikasikan adanya pembeda antar entitas-entitas ini. Adanya pembeda mengindikasikan kemungkinan dan berimplikasi kepada adanya penyebab yang membedakan antar Necessary Being. Ini tentu saja kontradiktif dengan konsep Necessary Being itu sendiri.
Ayat kedua dalam Surat Al-Ikhlas, “Allahu ash-Shomad, Allah adalah tempat bergantung”, menegasikan dua jenis kekurangan selanjutnya, yaitu naqsh dan qillah. Sifat Tuhan sebagai Ash-Shomad mengindikasikan bahwa Tuhan tidak butuh kepada apa pun sedangkan segala sesuatu butuh kepada Tuhan. Bukti rasionalnya langsung bisa kita dapatkan dari fakta bahwa Tuhan adalah Necessary Being yang tidak butuh sebab sedangkan segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Maka, mustahil Tuhan tidak independen dan mustahil Tuhan memiliki kekurangan dalam kemampuan-Nya untuk menciptakan.
Ayat ketiga dalam Surat Al-Ikhlas, “Lam yalid wa lam yulad, Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan” menegasikan dua kekurangan selanjutnya, yaitu ‘illah dan ma’lul. Tuhan bukanlah layaknya sebab natural yang ada di alam semesta, seperti ibu melahirkan anak ataupun api membakar. Tuhan adalah Dzat yang memiliki Kehendak Bebas untuk melakukan apa pun yang mungkin. Buktinya adalah bermulanya alam semesta dari ketiadaan. Jika Tuhan tidak memiliki Kehendak, adanya Dzat Tuhan pasti berakibat adanya alam semesta. Artinya, Tuhan yang Tak Berawal akan berimplikasi pada adanya alam semesta yang tak berawal pula karena akibat akan selalu ada jika sebabnya ada. Fakta bahwa alam semesta bermula berimplikasi pada adanya Kehendak pada Tuhan. Selain itu, Tuhan juga bukan sebuah akibat layaknya fenomena alam seperti anak yang “diakibatkan” orang-tuanya atau kebakaran yang diakibatkan api karena sifat Tuhan sebagai Necessary Being mengindikasikan independensi dari sebab. Sesuatu yang independen dari sebab tak mungkin kita sebut sebagai akibat.
Ayat terakhir dalam Surat Al-Ikhlas, “Wa lam yakun lahu kufuwan ahad, Dan tidak ada bagi-Nya yang setara” menegasikan dua kekurangan terakhir, yaitu syabih dan nadzir. Sebagai Necessary Being, mustahil Tuhan serupa dengan ciptaan-Nya. Segala sesuatu yang Tuhan ciptakan bersifat mungkin dan bermula sedangkan Tuhan bersifat wajib dan Tak Bermula. Keserupaan Tuhan dengan makhluk-Nya akan berimplikasi pada sifat kemungkinan dan kebermulaan yang kontradiktif dengan Tuhan sebagai Necessary Being. Selain itu, mustahil secara rasional ada entitas lain yang juga memiliki sifat Wajib seperti Tuhan sebagai penyebab segala sesuatu karena adanya lebih dari satu penyebab berujung pada mungkinnya pertentangan antara para Necessary Being ini dalam menciptakan dan ini mustahil.
الحمد لله الواحد الأحد، الفرد الصمد، الذي لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفواً أحد
Segala puji bagi Allah, Yang Satu dan Esa, Yang Unik dan Independen, Yang Tak Beranak dan Tak Diperanakkan, dan Tak Ada yang Setara dengan-Nya.