Sikap Yang Tepat terhadap Ayat-Ayat Sifat Mutasyabihat
Di banyak tempat di blog ini, saya menulis tentang bagaimana akal akan membawa kita kepada kesimpulan adanya Tuhan yang begitu berbeda dengan makhluk-Nya. Tapi, di sisi lain, ada juga ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits dari Rasulullah yang sekilas seperti mengindikasikan adanya “sifat-sifat makhluk” pada Tuhan. Ayat-ayat ini, yang dikenal sebagai ayat-ayat mutasyabihat, mendeskripsikan bahwa “Tangan Allah di atas tangan mereka”, “ke mana pun kamu menghadap, di situlah Wajah Allah,” “Yang Maha Pengasih istiwa atas ‘Arsy”, “Tuhan kami turun ke langit dunia”, dan seterusnya. Pembahasan terkait ini memang menjadi topik perdebatan panas di kalangan umat Islam selama berabad-abad lamanya. Di satu sisi, sebagian kalangan, seperti Mu'tazilah menolak menyematkan sifat apa pun pada Tuhan, termasuk sifat-sifat di atas, karena menganggap hal tersebut akan membuat Tuhan menyerupai makhluk. Di sisi lain, kalangan seperti Mujassimah menganggap nash-nash di atas harus diambil makna literalnya apa adanya. Pertanyaannya: bagaimana kita sebagai orang awam menyikapi hal ini?
Membahas persoalan ini secara mendetail akan membawa kita masuk ke perdebatan panjang yang berada di luar scope tulisan ini. Di sini, saya hanya akan membahas bagaimana langkah praktis yang tepat bagi orang awam seperti kita menyikapi persoalan ini mengikuti langkah para generasi awal Islam (as-salaf ash-sholih) sebagaimana diartikulasikan oleh Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam karyanya, iljam al-awwam ‘an ilm al-kalam.
Yang pertama, taqdis, menyucikan Tuhan dari segala yang mustahil bagi-Nya, yaitu sifat-sifat makhluk yang berimplikasi kebermulaan dan kemungkinan. Kita sudah pernah membahas bahwa menyematkan properti yang bermula dan mungkin pada Tuhan akan menegasikan Wajib-nya Tuhan. Artinya, Tuhan pasti bukan objek material seperti penyusun alam semesta. Maka, adanya penyebutan sifat-sifat seperti Yad (Tangan), Wajh (Wajah), dan sejenisnya harus dibarengi pemahaman bahwa maknanya pasti bukanlah organ tubuh atau anggota badan karena ini berimplikasi kebermulaan dan kemungkinan yang mustahil bagi Tuhan. Ini juga selaras dengan ayat-ayat muhkam yang menegaskan penyucian Tuhan dari keserupaan.
Yang kedua, tashdiq, membenarkan semua yang datang dari Al-Qur'an dan Sunnah, termasuk informasi terkait sifat-sifat di atas sebagai kebenaran dengan makna sebagaimana dimaksudkan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Mengapa? Tentu saja karena beliau adalah Utusan Tuhan yang dibuktikan melalui mu’jizat sehingga apa yang beliau sampaikan adalah kebenaran dari Tuhan, termasuk deskripsi terkait Tuhan sendiri.
Yang ketiga, i'tirof bi al-’ajz, menyadari ketidakmampuan kita dalam memahami hakikat dari deskripsi di atas. Sebagaimana pernah saya tuliskan, akal bisa membawa kita pada beberapa fakta tentang Tuhan, termasuk keberadaan-Nya dan sifat-sifat-Nya. Tapi esensi hakiki dari Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya mustahil tergapai oleh akal kita yang terbatas.
Yang keempat, sukut, berdiam diri dari pertanyaan mengenai hakikat dari sifat-sifat di atas dan tidak menyelaminya terlalu dalam karena ini semua adalah hal baru (bid'ah) yang tidak dicontohkan agama dan justru berpotensi menggelincirkan keimanan kita dari kebenaran.
Yang kelima, imsak, menahan diri dari mengubah atau mengganti lafadz-lafadz yang disampaikan dalam wahyu di atas dengan istilah lain atau bahasa lain karena berpotensi mengurangi atau menambah makna. Tidak juga kita mengumpulkan potongan sifat-sifat di atas menjadi satu-kesatuan ataupun memisahkan penyebutan sifat-sifat di atas dari konteksnya sebagaimana disebutkan dalam nash. Maka, kita hanya menyebutkan sifat-sifat di atas sebagaimana penyebutannya dalam ayat dan hadits terkait.
Yang keenam, kaff, menahan diri kita dari memimirkan makna dari sifat-sifat di atas.
Yang terakhir, taslim li ahl al-ma'rifah, yaitu memahami bahwa terbatasnya pemahaman kita sebagai orang awam untuk mengenal esensi Sifat-Sifat-Nya tidak lantas menghalangi hamba-hamba terpilih untuk mengenal Tuhan. Maka, bisa saja Tuhan menganugerahkan ma'rifah kepada para Nabi, para shahabat, dan para auliya’ atau kekasih Tuhan.
Ketujuh langkah di atas adalah langkah praktis bagi orang awam untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat-sifat Tuhan. Kesimpulannya, jalan yang paling aman memahami ayat-ayat sifat adalah jalan tengah antara penolakan ala Mu'tazilah dan penyerupaan ala Mujassimah. Saya ingin menutup tulisan ini dengan pesan singkat yang sangat komprehensif dari Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi dan Imam Al-Haramayn berikut. Imam Ath-Thahawi dalam teks aqidah beliau meringkas:
و من لم يتوق النفي و التشبيه زل، ولم يصب التنزيه
“Siapa yang tidak memelihara diri dari penolakan dan penyerupaan telah tergelincir dan ia tidak berhasil mensucikan Tuhan.”
Kemudian, pesan Imam Al-Haramayn:
فإن اطمأن إلى موجود انتهى إليه فكره فهو مُشَبِّهٌ
وإن اطمأن إلى النفي فهو مُعَطِّلٌ ..
وإن قطع بموجود واعترف بالعجز عن درك حقيقته فهو مُوَحِّدٌ
“Siapa yang merasa tenang kepada keberadaan Entitas Tuhan yang akalnya bisa menggapai hakikat-Nya, maka ia telah menyerupakan (Tuhan). Siapa yang merasa tenang pada penyangkalan, maka ia telah menolak (sifat Tuhan). Siapa yang yakin pada keberadaan Entitas Tuhan, dan mengakui ketidakmampuan memahami hakikat-Nya, maka ia telah mengesakan Tuhan.”
Semoga Allah membimbing kita pada pemahaman yang benar dan menghindarkan kita dari ketergelinciran.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: