Salah satu pengalaman di UK yang sangat berkesan bagi saya adalah ketika “ditodong” oleh seorang penjual ayam tentang konsep-konsep keimanan. Saat melihat istri saya yang berjilbab, penjual ayam ini langsung menanyai saya pertanyaan-pertanyaan teologis yang sangat menarik sembari menunggu ayam yang saya pesan matang.
Salah satu pertanyaan yang ia ajukan saat itu: Jika Tauhid, konsep keesaan Tuhan, begitu penting dalam Islam, mengapa keimanan pada keesaan Tuhan saja tidak cukup? Mengapa tetap perlu mengimani Nabi? Tidakkah meletakkan keimanan kepada Nabi sejajar dengan keimanan pada Tuhan dalam 2 kalimat syahadat berimplikasi pada ketidaksempurnaan Tauhid kita karena mensejajarkan Tuhan dengan selain-Nya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menarik karena tren pemikiran semacam ini somehow banyak muncul di Barat. Tidak sedikit kalangan yang percaya bahwa alam semesta diciptakan oleh Sesuatu, tetapi Pencipta alam tak lagi ikut campur setelah alam tercipta. Maka, keberadaan Utusan Tuhan, turunnya wahyu, dan adanya perintah-perintah agama (disebut sebagai organized religion) tak masuk akal bagi mereka. Karenanya, muncul istilah “spirituality without religion”, ketika Keberadaan dan Keesaan Tuhan (sebagai pencipta alam semesta) bisa saja diakui, tapi validitas klaim kenabian dan syariat agama ditolak.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini mengharuskan kita memahami kaitan antara Tuhan, Nabi, dan mu'jizat. Saya telah banyak membahas bahwa Tuhan adalah Necessary Being, Wajib al-Wujud, yang tak butuh apa pun sedangkan segal sesuatu butuh kepada-Nya. Artinya, hukum alam yang kita amati sebetulnya bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Fenomena alam tak lain adalah regularitas dari perbuatan Tuhan. Maka, mungkin saja Tuhan menciptakan sesuatu di luar regularitas (kharqul ‘adah) yang kita amati selama ini. Bahkan, hanya Tuhan saja yang bisa menciptakan sesuatu di luar regularitas alam karena esensinya segala sesuatu yang terjadi adalah produk perbuatan Tuhan.
Berbekal fakta-fakta ini, kita siap membahas konsep selanjutnya, yaitu mu'jizat dan kenabian. Ketika seseorang yang mengaku Utusan Tuhan diminta membuktikan kebenaran klaimnya kemudian muncul sesuatu di luar regularitas yang tak mampu direplikasi oleh para penentangnya, inilah yang disebut sebagai mu'jizat. Tapi, apa peran yang dimainkan mu'jizat di sini? Mu’jizat di tangan seorang yang mengaku Utusan Tuhan mengindikasikan konfirmasi Tuhan akan kebenaran klaim sang utusan Tuhan. Ini karena hanya Tuhan sebagai Necessary Being lah yang mampu menciptakan mu’jizat. Mu’jizat tidak bisa direplikasi karena ia bukan sesuatu yang reguler terjadi di alam melainkan keluar dari regularitas. Maka, ketika mu'jizat terjadi saat seseorang mengaku sebagai Utusan dari Tuhan sebagai satu-satunya Penyebab yang bisa menghasilkan mu'jizat, akal pun tak bisa mengelak bahwa ini adalah bentuk konfirmasi dari Tuhan. Seolah-olah Tuhan berkata, “hamba-Ku berkata benar tentang segala yang ia sampaikan dari-Ku.”
Maka, menolak Utusan Tuhan yang telah terkonfirmasi melalui mu’jizat sejatinya sama dengan menolak Tuhan itu sendiri. Karena apa yang disampaikan oleh Utusan Tuhan sejatinya adalah pesan dari Tuhan itu sendiri. Percaya adanya Tuhan yang bebas berkehendak tapi tidak mau mengikuti perintah Tuhan yang sama yang disampaikan melalui utusan-Nya adalah absurditas.
Mengimani Nabi sebagai bagian dari 2 kalimat syahadat tidak sedang mensejajarkan Dzat Tuhan dengan selain-Nya karena kita tidak sedang menuhankan Nabi di sini. Sebaliknya, kita sedang mengafirmasikan bahwa kepercayaan pada Tuhan dan kepada Utusan Tuhan adalah 2 hal yang tak bisa dipisahkan secara rasional: menolak Utusan Tuhan sama saja menolak otoritas Tuhan itu sendiri. Ini mengapa iblis, meskipun mengakui keberadaan Tuhan dan beribadah kepada Tuhan, tetap termasuk ke dalam golongan mereka yang mendustakan Tuhan (kafir) karena menolak otoritas Tuhan yang meminta iblis untuk hormat kepada Nabi Adam.
Kesimpulannya: iman kepada Tuhan dan Utusan Tuhan adalah 2 hal yang tak terpisahkan. Keimanan pada Tuhan mesti berimplikasi pada keimanan pada Nabi sebagai pembawa pesan Tuhan karena menolaknya sama saja menolak otoritas Tuhan.