Posisi Akal dan Wahyu dalam Keimanan
Jika Akal Cukup untuk Mengenal Tuhan, Mengapa Harus Ada Wahyu?
Di beberapa tulisan lain, saya sempat menulis bahwa akal, tanpa informasi dari wahyu, cukup untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang keberadaan Tuhan. Bahkan, mengkonfirmasi keberadaan Tuhan dan validitas klaim seseorang sebagai utusan Tuhan harus dilakukan tanpa bergantung pada wahyu untuk menghindari circular reasoning. Pertanyaannya, kalau akal cukup untuk mengetahui keberadaan Tuhan, mengapa perlu ada wahyu? Bukankah artinya wahyu di sini redundant?
Imam Al-Ghazali memiliki ilustrasi yang menarik dalam karya beliau, Al-Iqtishod fil I'tiqod, tentang akal dan wahyu. Akal ibarat penglihatan sedangkan wahyu ibarat matahari. Apa maksudnya?
Bayangkan Anda berada di sebuah ruangan gelap tanpa cahaya. Anda diminta untuk menemukan sebuah benda di ruangan ini hanya berbekal mata Anda. Bisakah Anda melakukannya? Mungkin saja, jika Anda memiliki penglihatan yang sangat tajam. Tapi jelas tidak mudah. Bukan tidak mungkin Anda justru tersasar dan beralih fokus melihat benda lain.
Sekarang, bayangkan kasus lain: Anda berada di ruang terbuka di bawah sinar matahari dan diminta mencari benda yang sama. Tapi, kali ini, Anda menutup mata Anda. Jika mata Anda tertutup 100%, tentu saja Anda tidak bisa menemukan benda yang Anda cari. Tidak berbeda dengan orang buta. Jika Anda sedikit membuka mata, mungkin Anda bisa mendapatkan benda tersebut, tapi tentu saja tidak mudah.
Seperti apa kondisi ideal untuk menemukan barang yang Anda cari? Tentu saja dengan mata terbuka di bawah sinar matahari.
Seperti itu lah ilustrasi peran akal dan wahyu dalam keimanan. Akal yang jernih cukup untuk sampai pada kesimpulan yang benar. Tetapi, keberadaan wahyu memandu dan memberikan bimbingan bagi akal tentang bagaimana sampai pada kesimpulan yang benar.
Sebagai contoh, dengan akal, kita bisa menyimpulkan bahwa alam semesta bersifat mungkin. Karenanya, alam butuh kepada Sesuatu yang lain untuk menjadikannya ada dengan properti-propertinya sebagaimana saat ini. Sesuatu yang menjadi penyebab alam semesta tak mungkin butuh kepada sebab lain sebab akan berujung pada rantai sebab-akibat yang tak berujung. Maka, ia haruslah bersifat wajib. Inilah Tuhan.
Pada saat yang sama, Al-Qur'an memberi tahu kita bahwa tanda keberadaan Tuhan adalah “pergantian siang-malam”, “angin yang berhembus”, “kapal yang berlayar”, semuanya adalau fenomena yang mungkin. Sedangkan Tuhan adalah Ash-Shomad, yang menjadi penyebab semuanya dan tak butuh kepada sebab apa pun. Artinya, Tuhan adalah Dzat Yang Wajib.
Bisa kita lihat bagaimana kesimpulan akhir yang didapat antara akal dan wahyu pada contoh di atas tidaklah berbeda. Kesimpulan di atas bahkan lebih mudah didapat saat akal dan wahyu berjalan beriringan, layaknya penglihatan yang dipandu oleh matahari. Selain sebagai pemandu, wahyu juga berfungsi memberi tahu terjadinya sesuatu yang mungkin secara rasional, yang terjadinya tidak bisa diketahui murni oleh akal saja, seperti hari kebangkitan, surga-neraka, dan lain-lain.
Kesimpulannya: akal dan wahyu bisa berjalan beriringan untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang pokok-pokok keimanan kita. Ini lah makna “nurun ala nur”, cahaya di atas cahaya, ketika cahaya akal dipandu oleh cahaya wahyu Tuhan.