Bagaimana Nabi Merespon "Siapa Pencipta Tuhan?"
Salah satu pertanyaan yang mungkin sering terdengar ketika membahas Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu adalah pertanyaan “Lalu, siapa yang menciptakan Tuhan?” Tentu saja pertanyaan ini tidak akan muncul ketika kita memahami dengan tepat bukti rasional keberadaan Tuhan, khususnya berkaitan dengan implikasi bahwa Pencipta alam semesta adalah Wajib al-Wujud atau Necessary Being yang harus Independen dari sebab apa pun. Penjelesan detail argumentasi rasional soal ini bisa dibaca di buku “Logika Keimanan”. Tapi, di tulisan ini saya tidak hendak fokus hanya ke aspek rasional dari pertanyaan di atas. Saya hendak berbagi betapa pertanyaan di atas bukanlah pertanyaan yang baru, tapi juga telah muncul 14 abad silam di era kenabian. Kita juga akan melihat bagaimana Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam merespon pertanyaan tersebut.
Dalam beberapa hadits, diriwiyatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pernah memperingatkan kepada para sahabat tentang kedatangan setan yang membisikkan pertanyaan di atas. Salah satu riwayatnya, yang paling komprehensif di antara varian yang lain, adalah sebagai berikut:
يأتي الشيطانُ أحدَكم فيقول: مَن خلق كذا؟ مَن خلق كذا؟ حتى يقول: مَن خلق ربُّك؟ فإذا بلغه، فقولوا: اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لمَْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوٌا أَحَدٌ، ثم لْيتفُلْ عن يسارِه ثلاثًا، ويستعذْ بالله من الشَّيطانِ
الراوي: أبو هريرة • أخرجه البخاري (٣٢٧٦)، ومسلم (١٣٤)
“Syaitan akan datang kepada salah seorang dari kalian, lalu berkata: ‘Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ hingga ia berkata: ‘Siapa yang menciptakan Tuhanmu?’ Maka, jika ia sampai pada hal ini, katakanlah: ‘Allah itu Maha Esa. Allah adalah tempat bergantung. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya’. Kemudian hendaklah ia meludah ringan ke sebelah kirinya sebanyak tiga kali, dan berlindunglah kepada Allah dari syaitan.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Apa saja pelajaran penting yang bisa kita ambil?
Pertama, pertanyaan yang diajukan setan di bagian awal hadits adalah contoh argumentasi induktif. Fakta bahwa objek-objek bagian dari alam semesta memiliki pencipta digunakan untuk menjustifikasi kesimpulan bahwa semua yang ada pasti butuh pencipta, termasuk Tuhan. Kita telah banyak membahas bagaimana penarikan kesimpulan seperti ini tidaklah valid. Fakta bahwa sesuatu benar pada sebagian kasus tidak berimplikasi rasional pada kebenarannya pada seluruh kasus. Artinya, pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?” punya asumsi tersembunyi di dalamnya bahwa Tuhan, sebagaimana komponen alam semesta yang lain, juga butuh kepada pencipta. Pertanyaan semacam ini adalah salah satu jenis cacat fikir (logical fallacy) yang disebut sebagai loaded question.
Kedua, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menjawab was-was setan tersebut dengan Surat Al-Ikhlas. Mengapa? Karena surat Al-Ikhlas memuat sifat-sifat Tuhan yang langsung membantah premis tersembunyi dalam pertanyaan di atas. Fakta bahwa Allah disifati dengan “Ahad” mengindikasikan keunikan-Nya yang begitu berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya yang bersifat mungkin dan bermula sehingga butuh kepada Pencipta. Fakta bahwa Allah disifati dengan “Ash-Shomad” mengindikasikan bahwa Ia Maha Independen dari segala sesuatu, termasuk kepada pencipta. Para teolog mendefinisikan Ash-Shomad sebagai:
المستغني عن كل ماسواه المفتقر إليه كل ماعداه
“Yang Maha Independen dari segala selain-Nya sedangkan segala selain-Nya selalu butuh kepada-Nya.”
Kemudian, fakta bahwa Allah disifati dengan “lam yulad”, tidak diperanakkan, menegasikan adanya sebab bagi keberadaan-Nya. Ini kemudian ditutup dengan kesimpulan bahwa tak ada yang setara dengan-Nya. Artinya, tidak seperti ciptaan-Nya, Tuhan adalah entitas yang wajib yang tak butuh apa pun.
Di sini, Rasulullah mengajarkan bahwa cara terbaik menjawab loaded question adalah dengan menolak premisnya! Jika ditanya, siapa yang menciptakan Tuhan, jawaban terbaiknya adalah: Tuhan adalah Entitas yang tak butuh kepada pencipta.
Ketiga dan terakhir, Rasulullah menutup pesan beliau dengan menekankan pentingnya meminta perlindungan kepada Allah dari was-was setan semacam ini. Ini menekankan bahwa syubhat-syubhat pemikiran semacam ini tidak hanya butuh respon rasional saja, tapi juga butuh respon spiritual. Menjawab syubhat pemikiran dengan akal yang logis tentu saja penting, dan teologi Islam memberikan obat dan vaksin bagi penyakit semacam ini. Tapi, kita tidak boleh lupa bahwa sejatinya hanya Allah lah yang Maha Kuasa untuk mengeluarkan kita dari syubhat tersebut.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: