Mengapa Saya Menulis tentang Teologi
Teologi layaknya obat untuk menyembuhkan penyakit akal kita
Saya pernah ditanya, mengapa seseorang yang terdidik sebagai engineer dan bertahun-tahun mengenyam pendidikan di bidang sains justru menulis topik-topik teologi? Jawaban untuk pertanyaan ini tidak bisa lepas dari kisah ketertarikan awal saya (atau lebih tepatnya “keterpaksaan”) untuk belajar teologi lebih dalam.
Sebagai informasi, sejak kecil saya tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang ilmu agama. Sejak TK hingga SMA, saya selalu dimasukkan ke sekolah negeri. Pendidikan dasar agama saya dapat dari pendidikan informal, melalui taman pendidikan Al-Qur'an milik almarhum kakek di Banyuwangi serta ngaji di langgar yang diampu beliau. Karenanya, saya tumbuh menggemari sains dan matematika. Kegemaran saya kemudian mengerucut ke ilmu fisika yang kemudian membuat saya berkecimpung di dunia olimpiade fisika hingga level internasional saat SMA. Minat ini yang juga kemudian mengantarkan saya ke pilihan karir sebagai engineer di bidang teknik elektro. Ketertarikan saya pada sains ini yang kemudian mengantarkan saya pada buku-buku sains populer seperti karya-karya Carl Sagan atau Stephen Hawking.
This is where the problem started.
Karya-karya sains populer yang saya baca saat itu ternyata memuat pernyataan-pernyataan yang cukup mengganggu benak saya saat itu. Misalnya, tidak sedikit yang memposisikan sains dan agama sebagai dua hal yang saling bertentangan. Komitmen yang meningkat pada ortodoksi Islam, ditandai dengan Tahafut al-Falasifah al-Ghazali yang dianggap mengkritik filsafat dan sains, misalnya, dianggap menyebabkan kemunduran sains di dunia Islam. Kemajuan sains di Eropa dianggap terjadi saat para ilmuwan berani “keluar” dari kungkungan dogma agama yang diwakili kalangan gereja.
Bukan hanya itu, tidak sedikit yang bahkan langsung menghunjam ajaran paling pokok dari agama, yaitu keberadaan Tuhan. Pernyataan seperti “the cosmos is all that is” atau “the universe can and will create itself from nothing” berimplikasi pada pandangan bahwa Tuhan itu tidak ada. Kepercayaan pada mu’jizat dianggap terbantahkan seiring berkembangnya teori-teori sains yang bekerja sangat baik dalam memprediksi kerja alam semesta. Ini tentu saja bertentangan keras dengan prinsip-prinsip keimanan yang saya yakini.
Bukan hanya dari buku-buku saja, saat berkuliah di UK, saya kemudian juga mendapat pertanyaan-pertenyaan sejenis dari kolega-kolega saya. Ada yang mempertanyakan relevansi ibadah-ibadah seperti sholat dan puasa di era modern. Ada yang mempertanyakan kasih sayang Tuhan. Ada yang menganggap Tuhan sebagai penyebab alam yang tak lagi ikut campur. Ada juga yang bertanya mengapa harus beriman kepada Nabi kalau sudah beriman kepada Tuhan.
Meski sempat dikenalkan dengan konsep-konsep teologis seperti 20 Sifat Tuhan dan 4 Sifat Utusan Tuhan ala Imam Sanusi saat mengaji ke almarhum kakek dulu, saya tidak pernah benar-benar mendapat penjelasan rasional yang detail bagaimana kita sampai pada kesimpulan adanya Sifat-Sifat tersebut pada Dzat Tuhan dan Utusan-Nya. Saya juga tidak tahu bagaimana memahami konsep-konsep tersebut dalam konteks sains modern saat ini. Pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas lah yang kemudian “memaksa” saya belajar lebih dalam ilmu teologi atau kalam.
Alhamdulillah, selama beberapa tahun terakhir, ada kesempatan-kesempatan untuk belajar teologi yang ternyata membuka mata saya. Bukan hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu selama ini, saya menemukan bagaimana teologi Islam mampu tetap menjadi relevan bahkan di era sains modern saat ini. Betul, perlu ada penyesuaian dan kontekstualisasi karena tantangan dan bahasa zaman yang berbeda. Tapi, saripati argumennya tetap valid dan kokoh. Persis seperti kata Al-Ghazali, layaknya obat bagi penyakit, teologi adalah obat bagi penyakit akal kita.
Maka, tulisan-tulisan saya tentang teologi Islam sebetulnya tidak lain adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu saya selama ini. Tulisan-tulisan itu juga memuat temuan-temuan menarik dari karya-karya teologi yang saya baca serta terkadang berisi penafsiran pribadi saya atas karya-karya tersebut dari kacamata seorang saintis. Jika ada yang mendapat manfaat dari tulisan-tulisan itu, alhamdulillah. Kalaupun tidak, saya pribadi sudah mendapat manfaat karena tulisan-tulisan yang terdokumentasi memudahkan saya menata pikiran, mengulangi argumen-argumen penting, serta menemukan kembali poin-poin menarik dari hasil bacaan saya selama ini saat nanti dibutuhkan.
Sebagai penutup, alhamdulillah serial tulisan Ngaji Sanusi di Era Teknologi yang beberapa waktu lalu saya publish di blog ini, versi lengkapnya bisa dinikmati dalam buku “Logika Keimanan” yang diterbitkan Turos Pustaka. Jika ada yang mendapat manfaat dan tertarik membaca secara utuh, silahkan kirim pesan ke akun Turos Pustaka untuk pre-order atau temukan langsung di toko-toko buku terdekat dalam beberapa hari ke depan insyaallah.