Apakah Tuhan Layaknya Pembuat Jam bagi Semesta?
Ataukah Tuhan adalah Dzat yang Selalu Aktif Bekerja?
Saat di UK dulu, salah satu kolega di lab punya pandangan yang waktu itu unik bagi saya. Ia percaya adanya Pencipta alam semesta, tapi Sang Pencipta kemudian berhenti "bekerja”, tidak lagi ikut mengatur alam semesta. Baginya, Sang Pencipta seperti pembuat jam. Ketika jam telah tercipta dan bekerja, jam akan berjalan dengan sendirinya, tanpa campur tangan dari penciptanya.
Di kemudian hari saya baru mengetahui bahwa pandangan ini dikenal sebagai deisme. Pandangan ini percaya bahwa adanya keteraturan di alam yang bisa dijelaskan melalui hukum-hukum fisika dan matematika menunjukkan keberadaan Dzat Maha Cerdas yang menciptakan alam semesta. Tetapi, keberadaan hukum alam yang terjadi secara teratur dan konsisten juga membuat mereka percaya bahwa Sang Pencipta tidak lagi ikut campur usai menciptakan alam semesta. Pandangan ini dipelopori adanya revolusi sains di abad ke-17, khususnya lewat mekanika Newtonian yang saat itu sangat sukses menjelaskan beragam fenomena alam menggunakan satu kerangka hukum alam yang sama. Meskipun Isaac Newton sendiri bukanlah seorang penganut deisme, banyak ilmuwan-ilmuwan setelahnya yang menurut catatan sejarah mengadopsi deisme, seperti Gottfried Leibniz (penemu kalkulus bersamaan dengan Newton) dan Carl Friedrich Gauss yang berkontribusi banyak dalam fisika dan matematika. Bahkan, Pierre-Simon Laplace, saat ditanya Napoleon Bonaparte tentang absennya penjelasan tentang Tuhan dalam teori-teorinya, berkata “saya tidak butuh hipotesis itu,” yang dipercaya mengacu kepada absennya intervensi Tuhan dalam kerja alam semesta.
Apa konsekuensi dari deisme? Karena Tuhan dianggap tidak ikut campur dalam kejadian sehari-hari, maka deisme tidak mempercayai otoritas kenabian dan kitab suci. Bagi mereka, tidak mungkin Tuhan mengirimkan utusan atau menyampaikan wahyu untuk umat manusia karena Tuhan memang “berhenti bekerja” usai menciptakan alam semesta. Ini juga berkonsekuensi pada ketidakpercayaan akan konsep doa dan ibadah. Selain itu, kepercayaan kepada hukum alam yang terjadi secara konsisten membuat keberadaan mu'jizat menjadi mustahil bagi mereka. Tentu saja konsekuensi-konsekuensi ini memiliki perbedaan yang sangat serius dengan konsep Tuhan dan relasinya dengan alam dalam Islam.
Lantas, bagaimana respon Muslim terhadap hal ini? Kita bisa melihat kembali bukti rasional di balik adanya Tuhan. Bukti keberadaan Tuhan adalah adanya alam semesta. Alam, yang memiliki sifat mungkin, bisa jadi ada ataupun tiada. Maka keberadaannya, alih-alih ketiadaannya, membutuhkan pada Sesuatu yang menjadikannya ada. Sesuatu ini adalah Tuhan yang tidak mungkin disebabkan oleh sebab yang lain sehingga bersifat wajib. Lalu, apakah Tuhan yang menjadikan alam ini ada tidak lagi melakukan “intervensi” terhadap alam? Bukankah keteraturan alam menunjukkan bahwa Tuhan tidak lagi ikut campur?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat apa yang dimaksud dengan “keteraturan alam”. Ketika kita melihat gaya menyebabkan percepatan atau api menyebabkan kebakaran, kita sedang melihat satu fenomena yang mungkin diikuti satu fenomena lain yang juga mungkin. Sifat “mungkin” di sini artinya ketiadaan fenomena tersebut tidak berujung pada absurditas rasional. Artinya, secara rasional, relasi antara satu fenomena mungkin dengan fenomena mungkin yang lain tidaklah wajib. Sebagai contoh, gaya yang tidak diikuti percepatan atau api yang tidak diikuti kebakaran, meskipun syarat-syarat fisisnya terpenuhi, tidaklah berujung pada absurditas rasional. Ini berbeda dengan pernyataan “benda tidak bergerak” yang pasti berujung pada kesimpulan “maka ia diam.” Keberadaan benda yang “tidak bergerak” sekaligus “tidak diam” berujung pada absurditas rasional karena melanggar salah satu hukum dasar logika yaitu law of excluded middle. Artinya, tidak ada opsi lain selain bergerak atau diam.
Kembali ke poin sebelumnya, fakta ini menujukkan bahwa keteraturan alam bukanlah sesuatu yang wajib secara rasional, bahkan setelah kita melihatnya berkali-kali terjadi sekalipun. Artinya, keteraturan alam tidak lain adalah dua fenomena mungkin yang semata-mata saling berkaitan, tanpa adanya relasi sebab-akibat mutlak antara keduanya. Bahkan, esensinya, semua fenomena alam adalah sesuatu yang mungkin. Sebagaimana kita lihat, sesuatu yang mungkin butuh kepada Sesuatu yang Wajib untuk menjadikannya ada. Artinya, segala sesuatu yang terjadi butuh kepada Tuhan setiap saat. Percepatan tidaklah butuh kepada gaya seperti halnya kebakaran tidaklah butuh kepada api. Tetapi, percepatan, gaya, kebakaran, dan api, semuanya butuh kepada Tuhan.
Dengan kata lain: Tuhan lah setiap saat menjadi penyebab yang sesungguhnya. Kejadian apa pun di alam esensinya tidak menyebabkan apa pun karena semuanya hanyalah fenomena yang mungkin belaka. Regularitas alam yang kita saksikan tidak lain adalah bentuk keteraturan dari perbuatan Tuhan.
Dari sini kita melihat bahwa butuhnya alam pada Tuhan tidak lah hanya terjadi di awal penciptaan alam semesta saja! Setiap sesuatu yang terjadi di alam butuh kepada Tuhan setiap saat untuk menjadikan sesuatu itu ada. Maka, Tuhan bukanlah seperti pembuat jam yang berhenti bekerja setelah selesai menciptakan alam semesta. Sebaliknya: Tuhan selalu aktif bekerja, terus-menerus menjadi sebab keberadaan alam dan seisinya, terus-menerus menjadi sebab seluruh peristiwa tanpa terkecuali. Maka, adanya anomali pada keteraturan alam, yang disebut sebagai mu’jizat, bukanlah sesuatu yang mustahil. Terkabulnya doa pun sesuatu yang mungkin. Karena Tuhan adalah Penyebab yang sesungguhnya dan Ia bebas melakukan apa pun yang mungkin sesuai dengan Kehendak-Nya.
مَاشَاءَ اللَّهُ كَانَ, وَمَالَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ
Whatever God decrees will happen; whatever He did not decree will not happen.