Rasionalisasi Keimanan, Perlukah?
Bisakah, perlukah, bolehkah keimanan ditopang oleh bukti-bukti rasional?
Sebelum kita masuk terlalu jauh dalam mengkaji karya teologis Imam Sanusi, kita perlu membahas sebuah pertanyaan terlebih dahulu: perlukah dasar rasional untuk keimanan? Bisakah keimanan ditopang oleh bukti-bukti rasional? Atau bahkan bolehkah kita menjustifikasi keimanan dengan bukti rasional?
Pada tulisan sebelumnya, saya sempat menyinggung sebuah fenomena di sebagian kalangan Muslim yang saya amati: mereka yang berpandangan bahwa keimanan tidak perlu argumen rasional. Keimanan adalah fitrah manusia, bagaimana manusia by nature memiliki kecenderungan natural untuk mempercayai keberadaan Sang Pencipta. Usaha-usaha untuk merasionalisasi keimanan dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu, redundant, dan bahkan bisa merusak fitrah yang sudah tertanam dalam jiwa manusia.
Pandangan ini, di satu aspek, justru selaras dengan pandangan kalangan yang bersebarangan, seperti kalangan ateis yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan ataupun kalangan agnostik yang tidak mau mengafirmasi ataupun menafikkan keberadaan Tuhan. Menurut mereka, keimanan, termasuk yang dipegang Muslim, tidak bisa dibuktikan secara rasional. Karenanya, konsep keimanan harus ditolak atau minimal tidak pantas untuk dipegang seorang yang rasional. Konsep fitrah dianggap sebagai konsep yang subjektif: buktinya, begitu banyak orang punya konsep ketuhanan yang berbeda dan sedemikian variatif, bahkan bertolak-belakang satu sama lain.
Imam Sanusi, dan juga para ulama’ yang sepemikiran dengan beliau khususnya dari tradisi teologi Sunni, punya pandangan yang berbeda. Iman mereka definisikan sebagai mempercayai sesuatu sebagai sebuah kebenaran berdasarkan bukti yang meyakinkan. Jadi, bagi kalangan ini, iman bukan hanya bisa atau perlu bukti rasional, tapi harus ditopang oleh bukti rasional yang meyakinkan. Iman adalah yaqin (kepercayaan level tertinggi), bukan sekedar dzann (dugaan) ataupun syak (keragu-raguan). Iman yang tidak ditopang bukti rasional tidak layak untuk dipegang.
Tapi, kalau iman perlu bukti rasional, bukankah artinya kita meletakkan logika di atas wahyu? Bukankah mempercayai apa yang termaktub dalam kitab suci itu cukup sebagai bukti?
Para teolog Sunni justru berpandangan bahwa sebelum bisa mempercayai suatu kitab sebagai kitab suci yang valid, bukti rasional diperlukan terlebih dahulu untuk memvalidasi apakah suatu kitab itu betul-betul bersumber dari Tuhan atau tidak. Tanpa bukti rasional, kita hanya akan terjebak pada apa yang dikenal sebagai circular reasoning.
Misalnya: apa bukti Tuhan itu ada? Karena tertulis di kitab suci. Mengapa kita harus percaya pada kitab suci? Karena itu wahyu Tuhan. Tapi apa bukti Tuhan itu ada? Dan seterusnya tanpa ujung.
Lebih jauh lagi, para teolog Sunni berpandangan bahwa kitab suci Qur’an sendiri yang meminta kita berpikir sebelum beriman! Banyak sekali ayat Qur’an yang bertanya secara retoris: tidakkah kamu berpikir? Banyak sekali ayat Qur’an yang mengkritisi kalangan yang hanya membebek saja, taqlid buta, mempercayai begitu saja apa yang dipercayai leluhurnya.
Bahkan dalam aspek yang paling penting dari agama, aspek ketuhanan, Qur’an menyeru: fa’lam annahu laa ilaaha illa Allah (Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan yang layak disembah selain Allah). Perintah yang digunakan di sini adalah untuk mengetahui (i’lam), bukan sekedar berucap semata (qul). Ini mengapa para teolog Sunni menyimpulkan bahawa kewajiban pertama manusia adalah berpikir (nadzar). Karena mustahil seorang Muslim mengamalkan rukun Islam pertama, yaitu kalimat syahadat (persaksian), sebelum berpikir untuk sampai pada kebenaran 2 kalimat syahadat tersebut.
Bukan hanya itu saja. Qur’an juga mengisahkan kepada kita bagaimana para Nabi dan Rasul datang membawa hujjah atau bukti yang bersifat rasional. Contoh paling jelas adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alayhissalam ketika beliau menghancurkan berhala dan meletakkan kapak di kepala berhala terbesar untuk menyadarkan kaumnya bahwa tidak mungkin secara rasional berhala terbesar mendatangkan manfaat dan mudharat sehingga berhala tersebut pasti bukan Tuhan. Begitu juga saat beliau memberi perenungan kepada kaumnya tentang benda-benda langit yang mungkin dipertuhankan seperti bulan dan matahari, bagaimana benda-benda yang terbit dan terbenam ini tidak lain hanyalah ciptaan semata. Atau Ketika beliau ‘alayhissalam membuktikan bahwa Namrudz bukan Tuhan dengan bukti rasional juga: Tuhanku menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat!
Singkatnya, akal sangat dibutuhkan untuk mencapai kebenaran tentang keberadaan Tuhan dan kebenaran risalah utusan-Nya. Rasionalitas adalah pintu gerbang menuju keimanan.
Lalu, pertanyaannya, bagaimana menggunakan akal untuk sampai pada kesimpulan yang benar? Bukankah banyak yang berusaha menggunakan akal dan justru beakhir tanpa keimanan? Di sini lah pentingnya guideline yang disusun oleh para teolog Muslim agar Muslim bisa menggunakan akalnya untuk sampai pada kesimpulan yang benar. Guideline-guideline ini kemudian mengkritalisasi menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikenal sebagail ilmu kalam yang fokus membahas bagaimana menetapkan poin-poin keimanan Islam dengan bukti rasional yang meyakinkan.
Dan itulah mengapa kita belajar Aqidah As-Sanusiyyah dalam serial tulisan ini karena ini adalah salah satu karya monumental dalam disiplin ilmu kalam yang dipelajari di seantero dunia Islam. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari Imam Sanusi dan karya beliau ini.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam. Wa huwa hasbuna wa ni’mal wakil.