Pandangan Al-Ghazali tentang Sains dalam Muqaddimah Tahafut Al-Falasifah
Kerusakan pada agama yang ditimbulkan oleh mereka yang membelanya tidak dengan cara yang benar lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka yang menyerangnya
Membaca muqaddimah Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah membuat saya terpana. Beliau menulis karya ini 10 abad yang lalu, tapi poin-poin yang beliau sampaikan masih sangat relevan di era sains modern saat ini. Indeed, hujjatul Islam without a doubt! Gambar: Sampul teks arab + terjemah Michael Marmura.
Sedikit background tentang Tahafut bagi yang tidak familiar, buku ini ditulis sebagai respon Al-Ghazali terhadap kepercayaan yang dianut "para filsuf". Mereka adalah para saintis Muslim di era itu yang menganut natural philosophy (alias sains) ala Aristoteles. Beberapa tokohnya: Al-Farabi dan Ibnu Sina. Poin utama kritik Al Ghazali adalah 20 poin kepercayaan para filsuf sebagai konsekuensi penerimaan mereka terhadap sains ala Aristoteles yang menurut Al Ghazali bertentangan dengan kepercayaan ortodoks Islam ala Sunni. Lalu, apa saja poin-poin dalam muqaddimah buku ini yang menurut saya penting dan sangat relevan di era di mana produk sains modern sering digunakan untuk menyerang kepercayaan akan Tuhan?
Poin pertama, yang terangkum dalam gambar 1 di bawah, adalah pentingnya membedakan mana kesimpulan yang didapat dari metode saintifik dan mana posisi metafisis yang dipegang oleh seorang ilmuwan. Poin ini sangat penting, terutama karena menjamurnya buku sains populer di mana batas antara kesimpulan saintifik dan posisi metafisis penulisnya seringkali kabur. Kebingungan membedakan keduanya bisa membuat kita mempercayai kesimpulan yang kita anggap saintifik, padahal bukan.
Contoh real-nya adalah soal evolusi. Pandangan yang menyebutkan bahwa spesies baru muncul dari spesies lama sebagai konsekuensi dari mutasi acak dan seleksi alam adalah sebuah teori sains yang disimpulkan dari data-data observasi. Tapi, mengatakan bahwa mutasi acak ini pertanda bahwa di alam ini "tidak ada desain, tidak ada tujuan" dan dunia hanya produk dari "hukum alam yang buta", "yang tidak peduli dan kejam" bukanlah kesimpulan saintifik, melainkan sebuah posisi metafisis. Sebuah kesimpulan saintifik bisa memiliki banyak penafsiran metafisis. Pandangan metafisis yang saya contohkan tadi hanyalah satu dari sekian penafsiran metafisis yang mungkin dari teori evolusi.
Sah-sah saja untuk menerima teori spesies baru muncul dari spesies lama akibat mutasi acak dan seleksi alam sembari meyakini bahwa setiap prosesnya berada di bawah kendali Necessary Being (atau Tuhan). Proses mutasinya terlihat "acak" bagi kita karena keterbatasan pengamatan kita. Poin pentingnya: hanya karena seorang ilmuwan mengusulkan teori sains yang sangat kuat, yang cocok dengan data observasi dan memiliki kemampuan prediksi yang baik (dan karenanya layak diterima), bukan berarti posisi metafisis yang dipegangnya layak diterima juga.
Poin penting kedua (yang terangkum dalam gambar 2 di bawah): menolak posisi metafisis yang dipegang seorang ilmuwan bukan berarti kita harus menolak juga kesimpulan saintifik yang diajukannya. Poin ini penting karena keliru di sini bisa membuat saintis antipati terhadap agama. Misalnya, menolak posisi metafisis bahwa teori evolusi membuktikan bahwa dunia hanya produk hukum alam yang buta dan kejam (dan bukan ciptaan Tuhan) bukan berarti mengharuskan kita menolak teori evolusi itu sendiri.
Kesimpulan saintifik kita tolak atau terima dengan basis seberapa baik ia menjelaskan data yang ada serta seberapa akurat prediksinya akan fenomena-fenomena lain yang bisa diobservasi. Maka, membabi buta menolak teori sains hanya karena pengusulnya punya posisi metafisis yang kita anggap keliru adalah langkah yang sangat gegabah. Bahkan, menurut Al-Ghazali, tindakan ini bukan membela agama, tapi justru merongrong agama. "Kerusakan pada agama yang ditimbulkan oleh mereka yang membelanya tidak dengan cara yang benar lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka yang menyerangnya!"
Poin ketiga, yang terangkum dalam gambar 3 di bawah: kesimpulan metafisis tidak bergantung pada detail matematis yang digunakan dalam perumusan sebuah teori sains. Misalnya: hanya karena persamaan differensial yang mendeskripsikan perkembangan alam semesta tidak memuat "Tuhan" di dalamnya, bukan lantas mengkonfirmasi kebenaran posisi metafisis para ateis yang tak mempercayai Tuhan.
Persamaan differensial (ataupun operator matematika lainnya) hanyalah tools yang digunakan untuk mendeskripsikan relasi antar besaran-besaran fisis di alam semesta. Maka, ia tak bisa digunakan untuk sampai ke kesimpulan metafisis apa pun, termasuk keberadaan Tuhan. Begitu pun sebaliknya: untuk sampai ke kesimpulan metafisis yang benar tidak memerlukan kita untuk tahu detail matematis yang digunakan dalam metode saintifik. Saya tidak perlu tahu general relativity atau quantum theory misalnya untuk menyimpulkan bahwa sesuatu yang bermula butuh sebab.
Demikian poin-poin penting yang bisa saya simpulkan dari muqaddimah Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah.
Singapura, Desember 2020.
permisi pak, izin bertanya bagaimana kalau ternyata kesimpulan yang datang dari metodologi saintifik itu sesuai dengan posisi metafisis kita sebagai muslim? apakah tetap harus dibedakan atau dipisahkan? atau terma dibedakan dan dipisahkan itu dua hal yang berbeda? atau bagaimana seharusnya dua hal itu berinteraksi? terima kasih