Mengapa Mengikuti Qur'an Bukan Circular Reasoning
Bagaimana Al-Qur’an mengajari kita berpikir untuk sampai pada kesimpulan yang benar
Keimanan pada Tuhan seringkali dianggap tidak rasional karena bertumpu pada circular reasoning. Kaum beriman dianggap bergantung pada wahyu untuk membuktikan keberadaan Tuhan sedangkan kebenaran wahyu bergantung pada premis bahwa ia berasal dari Tuhan. Argumen semacam ini dikenal sebagai circular reasoning fallacy. Ini terjadi ketika kebenaran premis A bergantung pada premis B sedangkan premis B sendiri bergantung pada premis A. Fallacy semacam ini tidak bisa digunakan untuk mendapatkan kesimpulan apa pun. Tapi, pertanyaannya, benarkah keimanan pada Tuhan lahir dari argumentasi semacam ini?
Sebagaimana dipaparkan di berbagai tulisan di blog ini, bukti keberadaan Tuhan justru independen dari wahyu. Kita bisa menyimpulkan keberadaan Tuhan berbekal indra dan akal semata. Dari indra kita tahu bahwa alam semesta yang beraneka ragam ini ada dan dari akal kita menyimpulkan bahwa keberadaan alam semesta dengan propertinya yang beraneka ragam ini bergantung pada keberadaan Dzat Yang Tidak Membutuhkan Sebab. Dzat ini adalah Tuhan. Berangkat dari kesimpulan tentang adanya Tuhan ini lah kita kemudian beralih ke tahap selanjutnya, yaitu membuktikan apakah wahyu yang disampaikan seseorang yang mengaku sebagai Utusan Tuhan adalah benar-benar pesan dari Tuhan. Maka, dari sini kita melihat bahwa membuktikan keberadaan Tuhan bukanlah circular reasoning karena independen terhadap premis apakah suatu teks wahyu benar-benar dari Tuhan.
Tapi, apakah ini berarti mengambil kesimpulan apa pun dari teks Al-Qur'an tentang keberadaan Tuhan akan selalu jatuh pada circular reasoning? Jawabannya: belum tentu! Kok bisa?
Circular reasoning hanya terjadi jika kita mengambil informasi dari teks Al-Qur’an tentang keberadaan Tuhan sebagai premis yang pasti benar karena berasal dari Tuhan. Tetapi, Al-Qur’an bukan hanya berisi informasi tentang Tuhan saja, ia juga memberi tahu kita cara berpikir yang benar untuk sampai pada kesimpulan adanya Tuhan. Dengan kata lain, Al-Qur’an memberikan kita premis-premis yang akan berimplikasi secara rasional pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Ini bukanlah circular reasoning.
Kasus ini mirip seperti orang yang sedang membaca sebuah buku tentang logika. Informasi di buku tersebut menjelaskan bagaimana dua premis yang disusun mengikuti struktur tertentu akan secara rasional berujung pada sebuah kesimpulan tertentu. Jika si pembaca menerima kebenaran premis-premis dalam buku tersebut, maka ia pun harus menerima kesimpulan yang dihasilkan secara rasional bahkan jika ia tak pernah membaca buku itu sekalipun. Proses ini valid secara logika dan bukan merupakan circular reasoning meskipun dalam proses berpikirnya ia dipandu oleh premis-premis yang ada di buku tersebut.
Sebagai contoh, Al-Qur’an menjelaskan bahwa pergantian siang dan malam, bertiupnya angin, berlayarnya kapal adalah bukti keberadaan Tuhan (Al-Baqarah: 164). Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa tidak mungkin alam semesta yang bersifat mungkin dihasilkan dari ketiadaan tanpa penyebab atau dihasilkan oleh dirinya sendiri atau dihasilkan oleh sesuatu yang juga bersifat mungkin (At-Tur: 35-36). Lalu, Al-Qur’an menjelaskan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan yang disifati dengan Ash-Shomad atau Maha Independen (Al-Ikhlas: 2). Secara tersirat, Al-Qur’an ingin memaparkan premis-premis berikut kepada kita:
Seluruh penyusun alam semesta bersifat mungkin.
Tidak mungkin sesuatu yang mungkin muncul dari ketiadaan karena ketiadaan tidak bisa menghasilkan apa pun.
Artinya, sesuatu yang mungkin butuh kepada penyebab.
Penyebabnya bisa jadi dirinya sendiri atau sesuatu yang lain.
Tidak mungkin penyebabnya adalah diri sendiri karena berimplikasi pada relasi kausalitas sirkular.
Penyebab lain bisa jadi bersifat mungkin ataupun bersifat wajib.
Tidak mungkin penyebabnya bersifat mungkin karena akan butuh kepada penyebab lain juga (yang juga bersifat mungkin) sehingga jatuh pada relasi kausalitas yang tak berujung.
Apa kesimpulan dari premis-premis di atas? Penyebab alam semesta haruslah sesuatu yang bersifat wajib dan karenanya tidak butuh kepada sebab yang lain. Dan ini adalah makna dari nama Tuhan Ash-Shomad.
Maka, mengikuti bagaimana Al-Qur’an mengajari kita berpikir untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang keberadaan Tuhan bukanlah circular reasoning karena kita tidak sedang mempercayai apa yang dipaparkan Al-Qur’an sebagai kebanaran dengan alasan ia wahyu Tuhan. Sebaliknya, kita justru digiring untuk sampai pada kesimpulan yang benar melalui premis-premis dasar yang kebenarannya tidak bisa kita tolak secara rasional. Lebih dari itu, Al-Qur’an sekaligus memberikan kesimpulan akhirnya kepada kita. Itu mengapa Al-Ghazali mengilustrasikan akal sebagai penglihatan dan wahyu sebagai cahaya. Akal saja bisa membawa kita kepada kesimpulan yang benar. Tapi, petunjuk wahyu memudahkan kita untuk sampai pada kebenaran tersebut.