Di beberapa tulisan lain, saya menulis bahwa keberadaan Tuhan bisa kita simpulkan dari fakta bermulanya alam semesta atau fakta mungkinnya alam semesta untuk ada. Alam semesta yang bermula dari ketiadaan membutuhkan Sesuatu untuk membuatnya ada. Begitu juga terwujudnya alam semesta dengan properti-propertinya yang bersifat mungkin alih-alih properti-properti lain yang sama-sama mungkin membutuhkan adanya Sesuatu yang menjadikannya seperti saat ini. Kedua argumen ini menunjukkan adanya Dzat Yang Tak Bermula dan bersifat Wajib Ada, yang kita sebut sebagai Tuhan.
Pertanyaan yang mungkin muncul ketika mendengar argumen rasional semacam ini adalah: dari mana argumen-argumen ini berasal? Jangan-jangan semuanya hanya akal-akalan filsuf Yunani saja? Bukankah argumen-argumen ini tidak kita temukan dalam Al-Qur’an?
Argumentasi rasional berbentuk silogisme yang menghubungkan premis-premis menjadi kesimpulan memang tidak ditemukan as it is di dalam teks Al-Qur’an karena Al-Qur’an bukanlah kitab yang ditujukan semata-mata untuk para logikawan. Tetapi, saripati argumen rasional bahwa alam semesta menujukkan keberadaan Tuhan jelas bertebaran di begitu banyak tempat dalam Al-Qur’an. Bahkan, ayat pertama yang membuka surat pertama dalam Al-Qur’an (setelah bacaan Basmalah) pun mengandung kedua argumen rasional yang dipaparkan di awal tulisan ini! Kok bisa bacaan hamdalah mengandung argumen rasional? Mari kita bahas dari perspektif Imam Sanusi!
Kita bisa memulai dengan memahami makna kata per kata yang menyusun kalimat hamdalah, yaitu: Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Dalam banyak teks terjemah Al-Qur’an, ayat ini diterjemahkan menjadi “Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.” Tapi, yang menarik adalah pilihan kata yang digunakan untuk mendeskripsikan “Tuhan” dan “semesta alam”. Kata yang dipilih di sini, “Rabb”, mengindikasikan sesuatu yang menuntun atau membimbing sesuatu yang lain dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Itu mengapa proses pendidikan anak disebut “tarbiyah” sedangkan pembimbingnya disebut “murabbi”.
Kata kedua juga tak kalah menarik karena “al-’alamin” adalah kata jamak dari “‘alam” yang secara bahasa berarti segala jenis atau golongan yang di dalamnya terdapat tanda yang membedakannya dengan jenis atau golongan yang lain. Misalnya: “‘alamul insan” berarti “alam manusia” yang terdiri atas anggota-anggota manusia dengan ciri-ciri khusus yang membedekannya dengan segala yang bukan manusia. Penggunaan kata jamak dalam “al-’alamin” mengindikasikan adanya beraneka-ragam jenis yang menyusun keseluruhan alam semesta ini.
Lalu, apa hubungan “al-’alamin” dan “Rabb”? Pensejajaran kedua kata ini menunjukkan hubungan rasional antara keduanya. Sesuai maknanya secara bahasa, “al-’alamin” mengandung tanda atau ciri yang membedakannya dengan yang selainnya. Tapi, apa yang ada selain “al-’alamin”? Jawabannya: Rabb atau Tuhan. Maka, di sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa keberadaan alam adalah tanda keberadaan Dzat yang sangat berbeda dengan alam dan seisinya.
Tapi, apa tepatnya tanda yang membuat alam semesta menunjukkan keberadaan Tuhan? Jawaban yang pertama adalah sifatnya yang bermula. Pemilihan kata “Rabb” sebagai penuntun atau pembimbing alam semesta menunjukkan bahwa alam semesta senantiasa mengalami perubahan. Sesuatu yang berubah hingga saat ini secara rasional tak mungkin mengalami perubahan yang tak terhingga lamanya karena masa lalu yang tak berhingga sekaligus berujung pada saat ini adalah kontradiksi. Karena masa lalu alam semesta tak mungkin tak berujung, artinya ia memiliki permulaan. Maka, ia membutuhkan kepada Sesuatu Yang Tak Bermula untuk menyebabkannya ada dari ketiadaan.
Jawaban kedua yang membuat alam semesta menjadi tanda keberadaan Tuhan adalah sifatnya yang mungkin. Pemilihan kata “al-’alamin” menujukkan keberagaman penyusun alam semesta. Alam semesta yang beragam menujukkan sifatnya yang mungkin secara rasional: ia bisa berupa manusia, hewan, tumbuhan, dan lain sebagainya. Sesuatu yang mungkin membutuhkan Sesuatu Yang Wajib untuk terwujudnya satu kemungkinan di antara beragam kemungkinan yang lain.
Kesimpulannya: kalimat “Rabbul ‘alamin” menunjukkan adanya Dzat Yang Tak Bermula dan Wajib. Ia lah satu-satunya yang berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya dan satu-satu-Nya yang senantiasa mengatur alam semesta. Dan itu lah mengapa segala puji (“al-hamd”) hanya layak disematkan kepada-Nya (“lillah”), sehingga melengkapi seluruh kalimat hamdalah: Alhamdu lillahi robbil ‘alamin.
Gambar: Sisa-sisa ledakan supernova tangkapan NASA.