Melawan Sofisme Modern: Relevansi Prolog Aqidah An-Nasafi
Hakikat sesuatu itu ada dan pengetahuan atasnya valid dan terpercaya
“Hakikat sesuatu itu ada dan pengetahuan atasnya valid dan terpercaya.”
Ini adalah kalimat yang dipilih oleh Imam Najmuddin Umar bin Muhammad An-Nasafi untuk membuka karya beliau, Aqidah An-Nasafiyyah. Saat saya pertama kali belajar karya ini dulu, pertanyaan langsung muncul: mengapa beliau menempatkan kalimat pembuka tentang hakikat sesuatu dan ilmu tentangnya di awal teks bertema teologi?
Sa'aduddin At-Taftazani, dalam karya beliau yang menjelaskan teks Aqidah An-Nasafi memaparkan bahwa kalimat pembuka ini adalah bentuk kritik atas tiga varian “sofisme” yang berkembang di era An-Nasafi yang meragukan objektivitas pengetahuan.
Yang pertama adalah mereka yang meragukan mungkinnya pengetahuan. Di era sekarang, pandangan ini dikenal dengan agnostisisme. Yang kedua adalah mereka yang menganggap kebenaran bergantung pada pendapat masing-masing orang, kini dikenal sebagai relativisme. Yang ketiga adalah yang menolak sama sekali kemungkinan pengetahuan, kini dikenal sebagai skeptisisme.
An-Nasafi memilih untuk membuka karya beliau dengan membantah pandangan sofisme karena meneguhkan validnya realita dan pengetahuan adalah fondasi terpenting sebelum masuk ke pembahasan teologis tentang keberadaan Tuhan. Ini karena segala bukti rasional di balik klaim teologis berbasis pada asumsi eksisnya realita di sekeliling kita dan mungkinnya pengetahuan atasnya.
Tapi, apakah sofisme yang dikritik An-Nasafi masih eksis saat ini sehingga kritik beliau masih relevan?
Bagi saya jawabannya iya, pandangan yang dikritik An-Nasafi masih eksis meskipun tidak dalam bentuk yang sama persis.
Sebagai contoh, pandangan relativisme moral yang menyatakan bahwa baik dan buruk bersifat relatif banyak kita temui. Begitu juga skepstisisme atas sumber pengetahuan non-saintifik yang dalam bentuk ekstremnya menganggap sains adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang valid. Memahami bagaimana An-Nasafi merespon pandangan sofisme di eranya akan membantu kita menjawab pandangan semacam ini.
Sebagai contoh, pandangan relativisme yang menganggap kebenaran bersifat relatif bisa direspon dengan mengaplikasikan prinsip yang mereka yakini ini untuk membantah pandangan mereka sendiri. Kalau segala sesuatu bersifat relatif, klaim bahwa “segala sesuatu bersifat relatif” pun relatif dan tak bisa divalidasi kebenarannya. Jika moralitas kembali ke individu masing-masing, maka pembunuh pun bisa mengklaim tindakannya sesuai moral untuk memenuhi dorongan pribadinya.
Begitu juga dengan skeptisisme. Dalam bentuk ekstrimnya: jika pengetahuan akan sesuatu itu tidak mungkin dicapai, dari mana statement ini berasal? Bukankah statement “pengetahuan tidak mungkin dicapai” ini juga bentuk pengetahuan? Dalam konteks skeptisisme modern, klaim bahwa “kebenaran hanya bisa dibuktikan oleh sains” pun tidak bisa dibuktikan oleh sains!
Tentu banyak lagi contoh sejenis. Tulisan ini tidak hendak masuk secara mendalam, melainkan sebatas memberi contoh bagaimana kalimat pembuka An-Nasafi dalam teks aqidahnya di atas tetap menemukan relevansinya di era ini.
Wallahu subhanahu wa ta'ala a'lam. Wa huwa hasbuna wa ni'mal wakil.