Salah satu pandangan yang cukup populer saat kita bicara tentang keimanan adalah sebuah “argumen” yang dikemukakan oleh ilmuwan dan matematikawan asal Perancis, Blaise Pascal, yang disebut sebagai “Pascal's Wager” atau “Taruhan Pascal”. Seperti apa argumennya dan bagaimana kita memandang argumen ini dari kacamata teologi Islam?
Dalam argumennya, Pascal mengajak kita membayangkan situasi yang terjadi jika kita beriman atau tidak beriman dan jika Tuhan ada atau tidak ada. Ada empat skenario yang mungkin:
Jika Tuhan dan surga-neraka itu ada, menjadi orang beriman mendatangkan keuntungan tak terhingga karena orang beriman akan ditempatkan di surga selamanya.
Tapi, jika Tuhan tidak ada, menjadi orang beriman pun tak rugi-rugi amat. Ia hanya kehilangan sedikit kebebasan di dunia tanpa ada balasan yang didapat setelah mati.
Jika Tuhan tidak ada, menjadi orang tak beriman juga akan mendatangkan keuntungan yang relatif tak signifikan.
Sebaliknya, jika Tuhan ada, menjadi orang tak beriman akan berujung pada kerugian tak terhingga karena ia akan ditempatkan di neraka selamanya.
Menurut Pascal, empat kondisi di atas mestinya mendorong kita untuk memilih menjadi orang beriman. Mengapa? Karena menjadi beriman punya potensi keuntungan yang sangat besar sedangkan potensi kerugiannya kecil saja. Sebaliknya, menjadi tak beriman punya potensi kerugian yang sangat besar sedangkan potensi keuntungannya tidak signifikan.
Sekilas, pandangan Pascal di atas serasa masuk akal jika dilihat dari perspektif untung-rugi. Tetapi, ada beberapa kritikan valid atas pandangan ini. Pertama, pandangan ini mengasumsikan seolah-olah hanya ada 2 pilihan: beriman pada Tuhan atau tidak. Pertanyaannya: beriman kepada Tuhan yang mana? Kenyataannya, ada banyak sistem kepercayaan dengan konsep ketuhanan masing-masing yang satu-sama lain saling bertentangan. Rata-rata pun mengklaim sebagai satu-satunya jalan menuju surga yang abadi. Artinya, ketika Tuhan ada, memilih menjadi beriman tidak lantas menggaransi keuntungan yang besar jika yang diimani adalah Tuhan yang keliru. Bahkan, jika kita mempertimbangkan semua kemungkinan agama di dunia ini, maka peluang memgimani Tuhan yang benar justru sangat kecil. Kedua, argumen di atas hanya mempertimbangkan aspek untung-rugi semata tanpa betul-betul membuktikan kebenaran premis keberadaan Tuhan itu sendiri. Mengimani sesuatu hanya karena peluang untungnya besar tidak sama dengan membuktikan kebeneran premis yang ktia percayai tersebut.
Bagaimana Islam memandang ini? Dalam Islam, keimanan bukan soal pertaruhan. Keimanan adalah soal mempercayai sesuatu sebagai kebenaran berbasis pembuktian yang meyakinkan. Al-Qur’an tidak meminta kita untuk bertaruh soal keimanan. Bahkan, Al-Qur’an pun mencela mereka yang membebek buta pada kepercayaan orang lain tanpa berfikir. Al-Qur’an justru mengajarkan kita untuk menggunakan indra dan akal kita untuk sampai pada kebenaran yang kita yakini: tentang keberadaan dan keesaan Tuhan, tentang kebenaran klaim kenabian, tentang mungkinnya hari akhir, dan pokok-pokok keimanan yang lain.
Maka, keliru jika kita semata-mata mempercayai sesuatu hanya karena sekilas terlihat menguntungkan kita. Sebaliknya: temukanlah kebenaran, pegang erat-erat dengan penuh keyakinan, dan ikutilah konsekuensinya meski penuh kesulitan.