Ragam Pengetahuan Yang Menghasilkan Keyakinan
Adakah sumber pengetahuan yang memberi kita ilmu yang meyakinkan?
Dalam teologi Islam, logika memegang peranan yang sangat penting untuk mendapatkan kesimpulan tentang pokok-pokok keimanan. Keberadaan Tuhan, keesaan Tuhan, dan validitas kenabian, misalnya, dibuktikan para teolog secara rasional melalui argumen rasional yang mengikuti kaidah-kaidah logika. Salah satu bentuk argumen yang banyak digunakan para teolog adalah silogisme yang dibangun secara deduktif. Proses silogisme ini menggunakan dua buah premis untuk sampai pada suatu kesimpulan baru yang valid. Tapi, kesimpulan ini berlaku jika premis-premis yang digunakan untuk menyusun argumennya adalah pernyataan yang benar, yakni yang sesuai dengan realita. Ketidaksetujuan pada kebenaran premis-premis ini lah yang seringkali menjadi perdebatan antara dua pihak yang bertentangan dalam perdebatan.
Untuk membuktikan pokok-pokok keimanan Islam, para teolog biasa menggunakan silogisme khusus yang mereka sebut sebagai burhan. Di sini, mereka membangun argumen menggunakan premis-premis yang kebenarannya mencapai level keyakinan tertinggi agar mendapatkan kesimpulan yang juga mencapai level keyakinan tertinggi. “Keyakinan” di sini didefinisikan oleh Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari sebagai pengetahuan bahwa suatu subyek itu dipredikati sesuatu diiringi oleh pengetahuan bahwa subyek tersebut tidak mungkin dipredikati oleh selainnya. Selain itu, pengetahuan tersebut juga sesuai dengan realita dan tidak mungkin berubah. Pertanyaannya, bagaimana mendapatkan premis-premis dasar yang bisa menghasilkan keyakinan sehingga bisa digunakan untuk mendapatkan kesimpulan yang pasti?
Dalam karyanya, Ishaghuji fil Mantiq, Imam Atsiruddin al-Abhari memaparkan enam macam proses pengetahuan yang menghasilkan keyakinan (al-yaqiniyyat), yaitu: aksioma (awwaliyyat), observasi (musyahadat), pengetahuan empiris (mujarrobat), intuisi (hadsiyyat), testimoni massal (mutawatirot), dan premis yang mengandung silogisme secara tersirat (fithriyyat). Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari dalam karya beliau Al-Matla’ menjelaskan keenam ragam pengetahuan di atas sebagai berikut:
Aksioma (awwaliyat) adalah premis yang kebenarannya bisa didapatkan oleh akal hanya dengan memahami komponen-komponen penyusunnya. Contoh: Sebagian lebih kecil daripada keseluruhan. Memahami definisi dari “sebagian”, “lebih kecil”, dan “keseluruhan”, kebenaran statement di atas langsung diafirmasi oleh akal.
Observasi (musyahadat) adalah premis yang hanya bisa diketahui kebenarannya melalui bantuan panca indra. Contoh: Api membakar atau matahari bersinar.
Pengetahuan empiris (mujarrobat) adalah premis yang bisa diketahui kenenarannya melalui pengamatan yang berulang-kali terjadi. Contoh: Dua benda yang dijatuhkan dari ketinggian yang sama memiliki durasi waktu jatuh yang sama tanpa bergantung pada beratnya.
Intuisi (hadsiyyat), yang di era modern paling dekat dengan istilah abduksi atau inference to the best of explanation, adalah premis yang kebenarannya diketahui berdasarkan intuisi dari fakta-fakta yang ada menuju kesimpulan yang paling mungkin. Contoh: Cahaya bulan adalah pantulan dari cahaya matahari, yang bisa disimpulkan dari berbagai fakta dan pengamatan benda langit.
Testimoni massal (mutawatirot) adalah premis yang kebenarannya diketahui karena ditransmisikan oleh sebegitu banyak saksi independen sehingga mustahil mereka bersepakat dalam kebohongan. Contoh: Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam betul-betul eksis dan beliau mengaku sebagai Nabi.
Premis dengan silogisme tersirat (fithriyyat), adalah premis yang kebenarannya diketahui melalui proses silogisme tanpa eksplisit menyebutkan premis penghubungnya karena premis penghubungnya cukup jelas. Contoh: Empat adalah bilangan genap. Esensinya, premis ini tersusun atas dua premis penyusun, yaitu “Empat bisa habis dibagi dua” dan “Setiap yang habis dibagi dua adalah bilangan genap”.
Keenam ragam pengetahuan di atas lah yang digunakan para teolog untuk membangun argumen rasional menuju kesimpulan yang pasti, yang dikenal sebagai burhan. Argumen-argumen semacam ini (disebut barohin, plural dari burhan) yang digunakan untuk membuktikan pokok-pokok keimanan Islam, seperti yang dipaparkan Imam Sanusi dalam Ummul Barohin dan saya jelaskan dalam buku “Logika Keimanan”.
Wallahu a'lam.