Al-Qur'an penuh dengan perintah untuk berfikir. Al-Qur’an juga penuh dengan kritikan untuk mereka yang hanya membebek, taqlid buta pada kepercayaan orang lain. Dalam aspek keimanan paling mendasar, yaitu kepercayaan pada Tuhan, Al-Qur’an juga meminta pembacanya untuk mengetahui dengan sebenar-benarnya (“Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”). Al-Qur’an juga berulang-kali mengkisahkan bagaimana para Nabi membawa argumen-argumen rasional kepada kaumnya untuk mendemonstrasikan klaim keberadaan Tuhan. Kisah Nabi Ibrahim alayhissalam, misalnya, yang menunjukkan kepada kaumnya bahwa bintang, bulan, dan matahari bukanlah Tuhan karena mengalami perubahan, disebut sebagai “hujjatuna”, “bukti tak terbantahkan kami”. Artinya: Tuhan melalui Al-Qur’an ingin mendemonstrasikan kepada kita bahwa setiap manusia yang berakal punya modal yang cukup untuk sampai pada keimanan yang benar. Pertanyaannya: modal apa yang kita butuhkan untuk sampai pada keimanan ini?
Satu di antara sekian banyak ayat yang dengan gamblang menunjukkan bagaimana kita sampai pada keimanan yang benar adalah ayat ke-179 surat Al-A'rof di mana Allah subhanahu wata’ala berfirman saat menjelaskan tentang karakter orang-orang yang akan dihukum di neraka:
لَهُمۡ قُلُوبࣱ لَّا یَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡیُنࣱ لَّا یُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانࣱ لَّا یَسۡمَعُونَ بِهَاۤۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ كَٱلۡأَنۡعَـٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡغَـٰفِلُونَ
“Mereka memiliki hati (akal) yang tidak mereka gunakan untuk berfikir, memiliki mata yang tidak mereka gunakan untuk melihat, serta memiliki telinga yang tidak mereka gunakan untuk mendengarkan. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Dalam tafsirnya, Imam Al-Baydhawi memaparkan bagaimana orang-orang yang mengingkari Tuhan ini memiliki akal yang tidak mengantarkan pemiliknya kepada kebenaran karena tidak digunakan untuk memikirkan bukti-bukti rasional secara mendalam. Mereka memiliki penglihatan yang tidak digunakan untuk memandang ciptaan-ciptaan Tuhan dengan penuh pertimbangan. Mereka memiliki pendengaran yang tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Tuhan dengan disertai perenungan dan pemikiran.
Artinya, kita sebetulnya diberi modal-modal yang cukup untuk sampai pada kebenaran: akal, penglihatan, dan pendengaran. Penglihatan membantu kita melihat betapa alam semesta dan seisinya adalah sesuatu yang beragam dan bersifat mungkin. Akal membantu kita berfikir betapa alam semesta yang mungkin menunjukkan keberadaan Pencipta Yang Wajib (Wajib al-Wujud/Necessary Being). Pendengaran membantu kita mendengar langsung ayat-ayat Tuhan yang berisi argumen-argumen rasional untuk mengantarkan kita menuju keimanan pada Tuhan dan Utusan-Nya. Tapi, kegagalan menggunakan modal-modal ini membuat kita seperti hewan ternak: hanya melihat dan mendengar saja tanpa memikirkan makna di balik apa yang kita lihat dan dengar. Kegagalan menggunakan modal-modal ini adalah kelalaian yang hakiki, karena gagal mengantarkan kita pada esensi terpenting hidup ini.
Semoga kita dianugerahi petunjuk untuk menggunakan akal dan indra kita menuju kebenaran dan keimanan yang sejati.
Rekan-rekan yang ingin membaca lebih jauh tentang sumber-sumber pengetahuan yang mengantarkan kita pada pokok-pokok keimanan Islam, bisa membaca buku “Logika Keimanan”.