Bencana: Sebatas Fenomena Alam atau Azab Tuhan?
Salah satu pertanyaan yang kerap mengemuka saat terjadi bencana adalah apa makna di balik bencana tersebut: apakah bencana adalah bentuk azab atau ujian dari Tuhan? Bukankah sains modern memberi tahu kita bahwa bencana tak lebih dari fenomena alam? Jika bencana adalah azab yang disebabkan dosa manusia, mengapa tak semua orang berdosa mendapatkan bencana? Tulisan ini akan merangkum singkat bagaimana teologi Islam memandang bencana.
Poin terpenting dari diskusi seputar bencana adalah memahami bahwa bencana, sebagaimana segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, adalah produk perbuatan Tuhan. Mengapa demikian? Bencana adalah sesuatu yang bersifat mungkin. Artinya, keberadaannya maupun ketiadaannya adalah sesuatu yang sama-sama rasional, tidak jatuh pada kontradiksi. Maka, sebagaimana kita singgung dalam berbagai tulisan di blog ini, keberadaan sesuatu yang mungkin butuh kepada penyebab yang menentukan wujudnya kemungkinan tersebut. Penyebab ini haruslah Sesuatu Yang Tak Butuh pada penyebab lainnya dan inilah yang dimaksud sebagai Tuhan. Maka, penyebab sesungguhnya di balik fenomena apa pun termasuk bencana adalah Tuhan.
Tapi, bukankah bencana sebagai fenomena alam disebabkan oleh fenomena alam yang lain? Jawabannya: tidak! Apa yang kita amati sebagai regularitas di alam sejatinya adalah sekuens peristiwa dari fenomena satu diikuti fenomena yang lain. Kita tidak sedang melihat hubungan kausal di sini. Bahkan, esensinya, sekuen peristiwa alam ini pun masing-masingnya adalah sesuatu yang mungkin yang selalu butuh kepada Tuhan. Artinya, yang terjadi adalah Tuhan menciptakan semuanya setiap saat dengan teratur sedemikian rupa sehingga kita melihatnya sebagai rangkaian sebab-akibat.
Tapi, jika demikian, mengapa fenomena-fenomena alam ini selalu teratur? Jika bencana adalah perbuatan langsung Tuhan, tidak perlu ada penyebab natural sebelumnya, bukan? Memang betul, Tuhan tidak perlu menciptakan fenomena lain sebelum terjadi bencana karena bencana sebagai sesuatu yang mungkin hanya butuh kepada Tuhan. Tetapi, at the same time, Tuhan adalah Entitas yang bebas berkehendak. Ia bebas memilih menciptakan sesuatu yang mungkin tanpa adanya keteraturan ataupun dengan keteraturan. Fakta bahwa kita melihat keteraturan sekaligus fakta bahwa segala fenomena butuh Tuhan membawa kita pada kesimpulan bahwa Tuhan memilih untuk menciptakan keteraturan di alam semesta. Ini lah yang kemudian kita sebut sebagai hukum alam. Artinya, adanya keteraturan tidak menegasikan peranan penuh Tuhan setiap saatnya. Maka, mengatakan apakah bencana sebatas fenomena alam atau perbuatan Tuhan adalah false dichotomy. Yang tepat: bencana adalah fenomena alam yang merupakan produk dari perbuatan dan Kehendak Tuhan.
Lalu, mengapa Tuhan menciptakan bencana? Bukankah Tuhan Maha Penyayang pada ciptaan-Nya? Lagi-lagi, logika membawa kita pada kesimpulan adanya Tuhan yang tak butuh apa pun dan bebas berkehendak. Implikasinya, perbuatan Tuhan tidak terkekang oleh suatu tujuan apa pun karena Ia Maha Independen. Maka, Tuhan bebas menciptakan dan melakukan apa pun pada ciptaan-Nya. Sebagaimana pernah kita singgung, kejahatan (dzulm) tidak berlaku untuk Tuhan karena esensinya semua adalah milik Tuhan. Meski demikian, perbuatan Tuhan selalu penuh dengan hikmah yang manfaatnya kembali kepada para hamba-Nya. Maka, keberadaan bencana boleh jadi adalah bentuk ujian bagi hamba-hamba Tuhan.
Lalu, kalau Tuhan yang menyebabkan bencana, bukankah berarti tidak perlu usaha untuk menghindari bencana itu karena kehendak Tuhan akan selalu terwujud? Jawabannya: tetap perlu! Dari pengamatan kita pada fenomena alam, kita bisa menyimpulkan bahwa Tuhan sebagai penyebab segala sesuatu memilih menciptakan segala sesuatu secara teratur. Artinya: Tuhan umumnya memilih menciptakan bencana setelah Ia menciptakan fenomena-fenomena yang kita sebut sebagai “penyebab” bencana tersebut. Maka, kita sebagai makhluk berakal sudah semestinya mengambil pelajaran dari keteraturan perbuatan Tuhan ini dengan berusaha semaksimal mungkin mengurangi potensi terjadinya bencana. Sebagaimana hamba-Nya tetap diwajibkan berobat saat sakit meskipun Tuhan yang memberikan kesembuhan, begitu juga dengan bencana: tetap dilakukan ikhtiar demi mencegah potensi kejadiannya.
Tapi, kalau bencana diakibatkan kemaksiatan, mengapa tidak semua orang maksiat mendapat azab? Lagi-lagi, Tuhan bebas berkehendak. Bisa jadi Tuhan menciptakan bencana sebagai hukuman sebagaimana Ia bisa menjadikan bencana menjadi ujian. Bisa jadi satu bencana yang sama adalah hukuman bagi sebagian penerimanya sekaligus ujian bagi sebagian yang lain. Bisa jadi Tuhan tidak menghukum hamba-Nya yang bermaksiat di dunia, tapi menghukumnya di akhirat. Bisa jadi Tuhan menghukum hamba-Nya yang bermaksiat lewat hukuman lain selain bencana. Intinya, Tuhan Maha Berkuasa melakukan itu semua. Tuhan tidak harus menghukum setiap orang yang bermaksiat dengan bencana sebagaimana tidak harus memberi hadiah bagi orang baik dalam bentuk keselamatan. Tuhan bukanlah mesin yang otomatis menciptakan sesuatu sebagai akibat sesuatu yang lain, tapi Entitas Yang Maha Hidup dan Berkehendak, sebagaimana nadzam Imam Al-Laqqani dalam Jawharah at-Tawhid:
وجائز في حقه ما أمكنا ... إيجادا اعداما كرزقه الغني
“Boleh bagi Tuhan melakukan segala sesuatu yang mungkin, seperti menciptakan atau meniadakan atau memberi rizki pada yang kaya.”
Tapi, bukankah itu tidak saintifik? Kalau begitu, orang bisa saja mengklaim bahwa satu bencana adalah azab sesuka hatinya, bukan? Jawabannya: sains memang tidak bisa mengetahui apakah suatu fenomena alam adalah azab atau cobaan. Sains hanya memberi tahu kita bagaimana keteraturan perbuatan Tuhan dalam menciptakan. Tapi, sains juga bukan satu-satunya sumber pengetahuan. Wahyu yang dibawa oleh seseorang yang mengaku sebagai Utusan Tuhan dan didukung oleh mu’jizat yang tak bisa direplikasi juga adalah sumber pengetahuan yang valid karena berasal dari Tuhan Yang Maha Tahu. Artinya, Tuhan bisa memberi tahu kita lewat wahyu-Nya apakah suatu fenomena adalah azab atau ujian. Sebagai contoh, Tuhan dengan jelas mengisahkan adanya azab di masa lalu pada umat-umat terdahulu seperti kaum Nabi Nuh atau kaum Nabi Luth. Hikmah Tuhan dalam perbuatan-Nya adalah sesuatu yang hanya bisa diketahui secara pasti melalui wahyu saja. Tanpa wahyu, kita tak bisa memastikannya.
Meskipun begitu, manusia tetap bisa mengambil ibroh atau pelajaran dari fenomena bencana yang terjadi. Bencana yang menimpa suatu golongan yang telah jelas kedzalimannya, misalnya, boleh jadi adalah azab. Sebaliknya, bencana yang menimpa suatu golongan yang telah jelas keshalihannya dan kesabarannya boleh jadi adalah cobaan. Maka, yang lebih baik saat ini terjadi adalah selalu berusaha meminta ampunan dan rahmat Tuhan. Semoga Tuhan menganugerahkan kita keselamatan di dunia dan di akhirat.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: