Alam yang Bermula dan Tuhan yang Selalu Mencipta
Mengapa Kebermulaan Alam tetap Mengindikasikan Kebutuhannya pada Tuhan Setiap Saat
Di tulisan sebelumnya, kita telah melihat salah satu varian argumen yang dikenal sebagai argument from motion dan bagaimana argumen ini berpotensi berujung pada kepercayaan bahwa Tuhan sekedar penggerak pertama yang kemudian tak ikut mencampuri alam semesta lagi (deisme). Kita juga melihat bagaimana argumen kontingensi yang diajukan para teolog Muslim tidak bekerja seperti itu dan bisa membuktikan bahwa alam semesta butuh kepada Necessary Being setiap saat. Lalu, bagaimana dengan argumen kebermulaan atau populer sebagai Kalam cosmological argument? Tidakkah argumen ini jatuh pada masalah yang sama dengan argument from motion?
Argumen kebermulaan punya beberapa poin kemiripan dengan argument from motion. Argumen ini berawal dari fakta bahwa dunia mengalami perubahan. Perubahan yang terus-menerus terjadi dari masa lalu yang tak terhingga sampai ke detik ini adalah kontradiksi karena “tak terhingga” mustahil “berakhir” sedangkan masa lalu yang tak terhingga jelas berakhir di momen waktu ini. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa alam semesta, ruang-waktu dan seisinya, memiliki permulaan. Maka, alam semesta yang bermula ini butuh kepada sesuatu yang menjadikannya ada, yaitu Tuhan Yang Tak Bermula. Artinya, secara sekilas kita bisa melihat bahwa argumen kebermulaan juga berujung pada kesimpulan adanya Tuhan yang memulai penciptaan alam semesta seperti “penggerak pertama” versi argument from motion.
Tapi, argumen kebermulaan juga punya perbedaan tajam dengan argument from motion. Argumen kebermulaan tidak mengasumsikan momen satu disebabkan momen sebelumnya. Argumen ini hanya berkata bahwa suksesi peristiwa dari masa lalu yang tak terhingga hingga saat ini mustahil terjadi. Artinya, sama seperti argumen kontingensi, argumen ini tidak bertumpu pada adanya kausalitas natural antara event satu dengan event lain. Kita hanya melihat suksesi event saja, tidak lebih.
Pertanyaan pentingnuya: kalau alam butuh Tuhan karena bermula, tidakkah ini berujung pada deisme? Tidakkah setelah alam itu ada, ia tak lagi butuh pada Tuhan? Jika kita berhenti di sini, maka iya. Tapi, para teolog Muslim kemudian melanjutkan argumen mereka. Seperti apa argumennya? Kita akan membahas salah satu varian argumen ini sebagaimana diartikulasikan oleh Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil I'tiqod.
Inti dari argumennya seperti ini. Jika alam semesta dengan properti yang bisa berubah ini tetap wujud tanpa butuh kepada Tuhan, mestinya ia akan tetap ada (self-sustaining atau baqa’). Tapi, sebagaimana akan kita lihat, semua yang self-sustaining mustahil menjadi tidak ada. Sedangkan, alam penuh dengan properti yang hilang atau lenyap setelah kemunculannya, seperti terang berganti gelap, gerak berganti diam, dan seterusnya. Maka, alam semesta mustahil self-sustaining atau tetap ada tanpa penyebab apa pun.
Bisa kita lihat, argumen kuncinya adalah: semua yang self-sustaining mustahil menjadi tidak ada. Mengapa? Perubahan dari keberadaan menjadi ketiadaan ini pun butuh penyebab. Kemungkinannya ada tiga sebagai berikut:
Penyebab ketiadaan ini mustahil produk dari Kekuasaan dan Kehendak Entitas yang Hidup sebagaimana wujudnya alam semesta dari ketiadaan karena produk dari Kekuasaan adalah keberadaan, bukan ketiadaan.
Mustahil juga penyebab ketiadaannya adalah kemunculan sesuatu yang berlawanan dengannya karena properti yang self-sustaining mestinya tidak lenyap akibat kemunculan properti yang bermula karena self-sustaining mestinya lebih unggul daripada kebermulaan.
Mustahil juga penyebab ketiadaannya adalah lenyapnya penyebab yang sebelumnya menjadikannya ada. Mengapa? Penyebab ini, jika memiliki permulaan, mustahil menjadi penyebab sesuatu yang self-sustaining. Jika penyebabnya tidak bermula dan self-sustaining juga, maka lenyapnya sebab ini pun butuh pada sebab lain karena perubahan sesuatu yang self-sustaining dari ada menjadi tiada juga butuh sebab. Tapi, sebab lain ini juga butuh lenyapnya sebab lain juga, dan seterusnya hingga tak berhingga. Dan ketakberhinggaan sebab-akibat ini mustahil.
Artinya, mustahil sesuatu yang self-sustaining bisa menjadi lenyap. Maka, mustahil properti penyusun alam semesta bisa tetap ada dengan sendirinya, bahkan selama lebih dari satu sekuen waktu saja. Ini populer di kalangan teolog Muslim sebagai al-a’rad laa tabqa zamanyn. Artinya, yang terjadi adalah properti-properti ini muncul dari ketiadaan di setiap sekuen waktu. Basil Altaie, fisikawan sekaligus filsuf Muslim kontemporer, menyebut ini sebagai continuous recreation. Artinya, fakta bahwa properti ini mengalami permulaan terjadi setiap saat, bukan hanya di titik awal kemunculan alam semesta saja. Jika propertinya seperti ini, objek yang ditempati properti ini pun harus mengalami proses yang sama karena objek tidak bisa dipisahkan dari propertinya.
Kesimpulannya: alam dan seisinya, yang tersusun atas objek dan properti, setiap saat mengalami penciptaan ulang. Maka, ia selalu butuh kepada Dzat Yang Menciptakan setiap saat. Artinya, Tuhan yang memulai alam semesta tidak berhenti di sana, tapi Ia selalu mencipta dan tak pernah berhenti mengatur ciptaan-Nya. Ini sekaligus memperkuat tesis bahwa argumen dari kebermulaan dan argumen kontingensi sejatinya adalah dua sisi dari satu mata koin yang sama. Keduanya sama-sama membuktikan keberadaan Entitas yang selalu mengatur alam semesta, sebagaimana nama Tuhan dalam Ayat Kursi, Al-Hayyu Al-Qayyum, Yang Hidup, Yang terus-menerus Mengurus Makhluk-Nya.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: