Tuhan yang Tidak di Dunia berarti Tidak Ada?
Di banyak tulisan di blog ini, saya menulis bagaimana fakta Tuhan sebagai Wajib al-Wujud atau Necessary Being berimplikasi bahwa Tuhan begitu berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya. Semua ciptaan-Nya bermula dan bersifat mungkin, sedangkan Tuhan tak berawal dan bersifat wajib. Ini berimplikasi bahwa Tuhan sangat berbeda dengan mahkluk-Nya; Tuhan bukanlah objek yang bisa diamati di bawah mikroskop atau teleskop layaknya objek-objek di alam semesta. Ini lah penyebab mengapa kita tidak “melihat” Tuhan di dunia.
Salah satu keberatan yang muncul adalah pandangan yang mengklaim bahwa segala yang ada haruslah bagian dari dunia. Segala yang ada haruslah objek fisikal yang menempati ruang-waktu dan bisa dideskripsikan oleh hukum-hukum alam. Yang tidak memenuhi ini pasti tidak ada. Tuhan yang bukan bagian dari alam semesta tidak bisa dibayangkan. Maka, percaya pada Tuhan yang tidak memenuhi kriteria ini dianggap sama dengan percaya bahwa Tuhan itu tidak ada. Tepatkah pandangan semacam ini?
Pandangan bahwa segala sesuatu yang ada haruslah objek fisikal yang menempati ruang-waktu dan dideskripsikan oleh hukum alam bersumber dari argumentasi induktif. Argumennya semacam ini: semua yang eksis yang kita ketahui selama ini haruslah objek fisikal yang memenuhi hukum alam. Maka, semua yang eksis harus juga objek fisikal yang memenuhi hukum alam. Kesimpulan: yang bukan objek fisikal dan memenuhi hukum alam tidaklah eksis di kenyataan. Argumentasi induktif semacam ini, sebagaimana pernah kita singgung, akan jatuh pada problem of induction: fakta bahwa sesuatu benar pada sebagian kasus tidak berimplikasi rasional pada kebenarannya pada seluruh kasus. Artinya, fakta bahwa kita hanya melihat objek fisikal yang eksis tidak berimplikasi bahwa seluruh yang eksis harus berbentuk objek fisikal. Membuktikan klaim di atas perlu argumentasi khusus.
Tapi, argumentasi rasional justru membuktikan sebaliknya: ada sesuatu yang bukan objek fisikal. Bukti rasional keberadaan Tuhan dari fakta bahwa alam semesta bersifat mungkin dan bermula justru berimplikasi pada adanya Dzat yang wajib dan tidak bermula. Fakta ini berimplikasi bahwa Tuhan berbeda dengan seluruh objek penyusun alam semesta karena seluruh penyusun alam semesta memiliki sifat yang mengindikasikan kemungkinan dan kebermulaan, seperti mengalami perubahan, tersusun atas komponen penyusun, memiliki ukuran tertentu, dan sebagainya. Tuhan yang Wajib dan Tak Bermula mustahil memiliki sifat-sifat ini. Alam semesta yang bermula juga mengharuskan keberadaan Tuhan yang bukan bagian dari alam semesta karena Tuhan selalu ada sebelum alam semesta ada. Maka, mustahil Tuhan dideskripsikan oleh ruang-waktu dan hukum-hukum alam karena semua ini memiliki permulaan.
Fakta di atas, bahwa Tuhan sudah ada sebelum segala sesuatu dan tidak terkungkung oleh ruang-waktu, selain didukung argumentasi rasional juga diperkuat oleh bukti-bukti wahyu, seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Imam Bukhori:
كان الله ولم يكن شيء غيره
“Allah sudah ada dan tak ada sesuatu pun selain-Nya.”
Atau hadits yang memuat doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
أنت الأول فليس قبلك شيء، وأنت الآخر فليس بعدك شيء، وأنت الظاهر فليس فوقك شيء، وأنت الباطن فليس دونك شيء
“Engkaulah Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu; Engkaulah Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu pun setelah-Mu; Engkaulah Yang Maha Nyata, maka tidak ada sesuatu pun di atas-Mu; dan Engkaulah Yang Maha Tersembunyi, maka tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu.”
Ini juga dipertegas oleh pernyataan Muslim generasi awal, yang paling masyhur di antaranya adalah pernyataan Imam Ath-Thahawi:
وَتَعَالَىٰ عَنِ الحُدُودِ وَالغَايَاتِ، وَالأَرْكَانِ وَالأَعْضَاءِ وَالأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ المُبْتَدَعَاتِ
“Maha tinggi diri-Nya dari batas-batas, ujung-ujung, anggota tubuh, organ, dan perangkat-perangkat. Dia tidak dikelilingi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya.”
Tapi, bukankah mempercayai sesuatu yang bukan bagian alam semesta, tidak di ruang-waktu, tidak mengikuti hukum alam semesta adalah hal yang sulit dibayangkan? Betul sekali! Ini karena kita yang menjadi bagian alam semesta terbiasa melihat komponen penyusun alam semesta saja. Tapi, fakta bahwa sesuatu sulit dibayangkan bukan berarti ia irasional. Kesulitan kita membayangkan ruang-waktu dimensi 4 ala relativitas Einstein, misalnya, tidak lantas menjadikan teori tersebut invalid. Sepanjang tidak jatuh pada kontradiksi, anything is not impossible! Filsuf Rob Koons punya ilustrasi menarik soal keberadaan Tuhan yang transenden ruang-waktu ini: mengatakan bahwa Tolkien tidak berada di mana pun dan di era apa pun di Middle Earth tidaklah irasional, bukan?
Sebaliknya, menurut Imam Sanusi dalam Syarh sughra sughra, justru percaya pada Tuhan yang berbentuk objek fisikal akan berimplikasi pada ketiadaan Tuhan. Memaksakan Tuhan harus bisa dideskripsikan oleh hukum alam layaknya makhluk justru akan berujung pada konsep Tuhan yang juga memiliki permulaan layaknya alam semesta. Ini akan berimplikasi pada kepercayaan bahwa alam semesta bisa bermula tanpa sebab apa pun, yang tentu saja irasional dan bertentangan dengan agama Islam.
Kesimpulannya: Tuhan yang berbeda dengan segala sesuatu di alam dan bukan merupakan bagian dari alam adalah implikasi rasional dari sifat Tuhan yang Wajib dan Tak Bermula. Sebagaimana syair Imam Ad-Dardir dalam Kharidah Bahiyyah:
لــو لــم يـكـن متصـفـا بـهـا لــزمْ, حـدوثـه وهــو مـحــال فاسـتـقـم
“Dan jika Ia tak disifati dengan sifat-sifat ini, akan berimplikasi
Pada kebermulaan-Nya dan ini mustahil, maka teguhlah.”
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: