Tuhan Yang Menyembuhkan, Mengapa Tetap Berobat?
Salah satu kesalahpahaman yang muncul di sebagian kalangan beriman adalah sangkaan bahwa kepercayaan pada Tuhan berimplikasi pada fatalisme, yaitu kepercayaan bahwa manusia layaknya daun yang jatuh berguguran tanpa punya kehendak sama sekali. Pandangan ini menihilkan usaha manusia secara mutlak. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada gunanya berobat ketika sakit, misalnya. Pandangan semacam ini sempat mengemuka di kala pandemi ketika sebagian kalangan mengabaikan tindakan-tindakan pencegahan agar tak tertular penyakit. Bagi mereka, semuanya bergantung pada Kehendak Tuhan, maka sakit ataupun sembuh bisa terjadi dengan ataupun tanpa usaha kita. Pandangan semacam ini bukan pandangan yang baru. Dalam sejarah, yang punya pandangan seperti ini dikenal sebagai kelompok Jabariyah. Bagaimana pandangan yang tepat terkait persoalan ini? Kita akan bahas satu per satu.
Pembahasan persoalan ini kembali kepada argumen mendasar tentang keberadaan Tuhan. Di banyak tulisan di blog ini, saya telah menulis bahwa Tuhan adalah Wajib al-Wujud atau Necessary Being yang Maha Independen terhadap segala sesuatu selain-Nya dan segala sesuatu mutlak bergantung kepada-Nya. Keberadaan Tuhan bisa dibuktikan dari fakta bahwa komponen penyusun alam semesta bersifat mungkin, bisa memiliki satu properti tertentu alih-alih yang lain. Adanya sesuatu yang mungkin meniscayakan adanya Sesuatu Yang Wajib yang memilih wujudnya satu kemungkinan tersebut.
Dari sini kita mengetahui bahwa Tuhan lah penyebab segala sesuatu setiap saat. Ia bebas melakukan segala sesuatu yang mungkin. Adanya fenomena alam yang diikuti fenomena alam lainnya tidak berimplikasi bahwa fenomena pertama adalah penyebab fenomena kedua. Sebaliknya, karena kedua fenomena sama-sama sesuatu yang mungkin, kedunya mutlak bergantung pada Kehendak dan Kekuasaan Tuhan semata. Sebagai contoh: bakteri/virus tidaklah menyebabkan sakit dan obat tidak menyebabkan kesembuhan. Tetapi, Tuhan lah pencipta bakteri/virus, pencipta sakit, pencipta obat, dan pencipta kesembuhan. Kesimpulan rasional ini juga didukung oleh banyak sekali ayat dan hadits Nabi, seperti ayat-ayat teramat indah dalam Surat Asy-Syu’ara’ yang mengisahkan dialog Nabi Ibrahim ‘alayhissalam dengan kaumnya:
الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ
وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ
“(Tuhan) yang telah menciptakan aku; maka Dia-lah yang memberi petunjuk kepadaku. Dan Tuhan yang Dia memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. Dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali).”
Lalu, kalau Tuhan yang menyembuhkan, untuk apa ada usaha? Apakah usaha manusia menjadi tak ada artinya? Poin penting yang tak boleh dilupakan selain fakta bahwa Tuhan penyebab segala sesuatu adalah: Kebebasan Tuhan dalam berkehendak bukan berarti Tuhan menciptakan segalanya tanpa keteraturan. Sebaliknya, adanya keteraturan dalam ciptaan Tuhan adalah sesuatu yang kita bisa langsung simpulkan dari observasi terjadinya peristiwa yang sama beruang-kali. Para teolog menyebut ini sebagai tajribah atau mujarrobat dan memasukkannya ke dalam salah satu sumber pengetahuan yang mendatangkan keyakinan. Para saintis menyebut fenomena keteraturan alam sebagai empirisme dan menggunakannya untuk menghasilkan teori-teori sains.
Karena itu lah menjadi rasional bahwa kita yang hidup di dunia ini bertindak sesuai keteraturan alam ciptaan Tuhan karena memang keteraturan ini adalah manifestasi Kehendak Tuhan. Betul, keteraturan yang ada tidaklah mutlak. Secara rasional, Tuhan bisa saja menciptakan anomali. Itu mengapa bisa terjadi fenomena mu'jizat di luar keteraturan. Tapi, observasi dan induksi memberi tahu kita bahwa keteraturan alam adalah kondisi default. Justru adanya keteraturan adalah bentuk kasih sayang Tuhan agar manusia bisa menjalani hidup dengan mudah. Bayangkan jika semuanya terjadi tanpa keteraturan!
Itu mengapa mempercayai bahwa Tuhan pencipta segala sesuatu tetap harus dibarengi dengan usaha berbasis asumsi adanya keteraturan di alam semesta ciptaan Tuhan. Essentially, tetap Tuhan yang berkehendak dan menciptakan. Itu mengapa tawakkul atau berserah diri tetap hanya kepada Tuhan, bukan kepada asbab duniawi. Tapi, usaha lahiriah juga perlu dilakukan karena mengikuti regularitas Tuhan dalam menciptakan, sebagaimana sebuah hadits yang masyhur:
قال رجُلٌ لِلنَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : أُرسِلُ ناقتي وأتوكَّلُ ؟ قال : ( اعقِلْها وتوكَّلْ )
“Seorang lelaki bertanya kepada Nabi shallahu alaihi wasallam: “Apakah aku harus membiarkan untaku tanpa diikat dan bertawakkal kepada Allah?” Nabi bersabda, “Ikatlah terlebih dahulu, lalu bertawakkallah kepada Allah.””
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: