Seeing is believing. Demikian adagium yang kerap terdengar. Hanya saja, belakangan adagium tersebut bergeser menjadi Seeing is the only means for believing, termasuk soal ketuhanan. Pandangan ini bertanya: jika Tuhan betul-betul ada dan ingin agar hamba-Nya menyembah-Nya, mengapa Ia tak menunjukkan diri-Nya pada semua orang? Bagi mereka yang memegang pandangan ini, kepercayaan pada Tuhan hanya bisa dijustifikasi jika mereka melihat langsung Tuhan. Orang sudah pergi ke luar angkasa dan tak menemukan Tuhan. Kalaupun tidak, setidaknya mereka butuh bukti yang luar biasa, semisal bintang-bintang yang membentuk tulisan “Aku ada”, dan sejenisnya. Tidakkah sesuatu yang luar biasa butuh bukti yang luar biasa?
Keberatan di atas populer dengan istilah Divine Hiddenness. Meski terkesan ramai di era sains modern, keberatan semacam ini bukan hal baru. Ribuan tahun lalu, Bani Isra'il pernah berkata kepada Nabi Musa alayhissalam, yang diabadikan dalam Al-Qur'an,
يَا مُوسَىٰ لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً
“Hai Musa. Kami tidak akan percaya kepadamu sampai kami melihat Allah langsung.”
Ironisnya, kejadian di atas terjadi justru setelah Bani Isra'il diselamatkan dari Fir'aun dan melihat dengan mata-kepala sendiri mu'jizat seperti laut terbelah. Dari sini kita belajar bahwa terkadang bukti yang bisa diindra langsung sekalipun tak cukup memuaskan mereka yang memang menolak percaya. Kisah senada juga terjadi di Mesir kala itu ketika Fir'aun meminta Haman, patihnya, untuk membuat menara yang tinggi agar ia bisa “melihat Tuhan Musa”.
Respon atas pandangan di atas bisa dilakukan melalui beberapa poin. Poin pertama, semisal kita terima premis bahwa keberadaan segala sesuatu termasuk Tuhan hanya bisa dibuktikan oleh indra, ketiadaan suatu bukti tidak sama dengan bukti dari ketiadaan. Maksimal yang bisa kita simpulkan dari tiadanya bukti bahwa Tuhan terobservasi panca indra adalah sikap agnostik dengan mengatakan tidak tahu apakah Tuhan ada, bukan klaim positif atas ketiadaan Tuhan.
Poin kedua, membatasi diri pada bukti indrawi adalah sebuah kekeliruan epistemologis. Betul bahwa pengamatan indra (musyahadat) adalah salah satu sumber pengetahuan yang mendatangkan keyakinan, tapi ada banyak hal yang kita ketahui tanpa bukti indrawi secara langsung. Keberadaan tempat yang belum pernah kita kunjungi atau seseorang di masa lalu yang lampau atau fakta bahwa sebagian kurang dari seluruhnya adalah beberapa fakta yang kita tahu tanpa pengamatan indrawi. Bahkan, mayoritas teori sains sekalipun kita percaya tidak melalui bukti indrawi karena kita tak melakukan eksperimen langsung tapi melalui testimoni dari para saintis.
Poin ketiga, keberadaan Tuhan justru bisa dibuktikan melalui akal dan indra. Keberadaan penyusun alam semesta yang beragam menunjukkan sifatnya yang mungkin dan ini mengindikasikan adanya Sesuatu Yang Wajib dan tak punya permulaan, yaitu Tuhan. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa Tuhan pasti berbeda dengan alam semesta dan bukan bagian dari alam semesta itu sendiri karena Ia sudah ada sebelum alam semesta ada. Maka, Tuhan bukanlah objek material layaknya komponen alam semesta yang pasti disifati dengan kemungkinan dan kebermulaan. Saya menulis panjang soal ini di Logika Keimanan bahwa Tuhan bukan objek sains yang bisa diobservasi dan diuji di laboratorium. Maka, mencari Tuhan dengan cara pergi ke luar angkasa atau membangun menara tinggi adalah kekeliruan yang bersumber pada kesalahpahaman tentang Tuhan. Tuhan Yang Bersifat Wajib artinya Ia Maha Independen dari segala keterbatasan sehingga mustahil penglihatan kita yang terbatas bisa mencakup kesempurnaan-Nya, sebagaimana firman-Nya:
لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ
“Penglihatan tidak dapat mencakup-Nya. Sedangkan Ia mencakup seluruh penglihatan.”
Poin keempat, sebetulnya keberadaan alam semesta yang mungkin dan bermula cukup untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Tapi, bahkan jika kita “meminta” keajaiban sekalipun, apa yang lebih ajaib dari alam semesta dan seisinya? Alam semesta yang begitu beragam bisa berawal dari ketiadaan, tersusun atas benda-benda langit besar hingga atom yang kecil, terdiri atas makhluk hidup sesederhana bakteri hingga sekompleks manusia, memiliki elemen-elemen “mati” yang sekaligus menjadi penyusun kehidupan, bahkan memuat informasi yang sedemikian kompleks dalam DNA. Terlebih lagi, semuanya bekerja secara konsisten mengikuti hukum alam yang teratur. Maka, keajaiban seperti apa lagi yang kita cari?
Betul bahwa Tuhan memilih untuk mengirimkan wahyu pada Utusan-Utusan-Nya yang terpilih. Tapi, siapa kita harus menuntut Tuhan menampakkan Diri-Nya sedangkan Ia bebas berkehendak dan tidak ditanya atas perbuatan-Nya? Meski begitu, Ia Maha Adil dan memilih mencitakan alam semesta yang luar biasa sebagai tanda bagi kita. Ia pun mengutus Rasul yang datang membawa bukti-bukti rasional yang tak terbantahkan untuk mengabarkan keberadaan-Nya kepada kita. Ia pun Maha Penyayang dan karenanya memilih untuk memberikan anugerah berupa “ru'yah” atau penglihatan yang tak menyerupai penglihatan makhluk bagi hamba-hamba-Nya yang terpilih, yaitu mereka yang memilih mengikuti tanda-tanda-Nya selama hidup hingga akhir hayat. Sebagaimana firman-Nya:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.”
Semoga kita menjadi hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya untuk mendapat kesempatan melihat-Nya kelak.
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: