Di tulisan sebelumnya, kita telah melihat adanya potensi pertentangan antara teks hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain dengan pengetahuan arkeologi, fisika, dan biologi mengenai dua poin: tinggi Nabi Adam alayhissalam yang disebutkan sebagai “60 hasta” atau sekitar 30 meter serta tinggi manusia keturunannya yang disebutkan berkurang hingga saat ini. Bagaimana menafsirkan fakta-fakta di atas dengan tepat? Untuk menjawab pertanyaan di atas, Mufti Muntasir Zaman dalam bukunya The Height of Prophet Adam memaparkan tiga opsi yang ada sesuai framework yang digunakan para teolog Muslim seperti Al-Ghazali, Ar-Razi, hingga Ibnu Taymiyyah saat menemukan potensi pertentangan antara teks wahyu dan produk pengetahuan rasional.
Opsi pertama adalah jam’ atau harmonisasi. Pandangan ini berargumen bahwa teks hadits yang dimaksud bukanlah teks yang bersifat qath'iy atau pasti secara indikasi makna (dalalah). Teks hadist di atas bisa difahami sedang mengisahkan proses penciptaan Nabi Adam di surga, bukan saat turun ke dunia. Makna ini bisa disimpulkan dari pemilihan kata khalaqa yang berarti menciptakan sedangkan teks Al-Qur'an secara gamblang menyebutkan penciptaan dan penempatan Nabi Adam di surga. Maka, fakta tinggi beliau 60 hasta tidaklah menjadi masalah karena situasi dan kondisi di surga tidak serta-merta sama dengan di Bumi. Fakta ini tidak lantas berarti tinggi beliau juga 60 hasta saat diturunkan ke Bumi. Muntasir Zaman mencatat sebagian tokoh yang menganut pandangan ini, seperti Mufti Taqi Utsmani dari Pakistan.
Meski demikian, pandangan di atas memiliki tantangan pada poin kedua terkait tinggi keturunan Nabi Adam yang memendek hingga kini. Sebagian tokoh menafsirkan bahwa maksud frase “memendek” di sini adalah relatif terhadap tinggi Nabi Adam. Tapi, poin ini bisa dikritik balik karena penggunaan frase “lam yazal” (tidak berhenti) diikuti “yanqush” (berkurang) makna asalnya adalah proses yang kontinyu, bukan perbandingan semata.
Opsi kedua adalah tarjih, memprioritaskan salah satu bukti yang lebih kuat. Di sini lah pentingnya melakukan analisa terhadap level keyakinan masing-masing sumber pengetahuan yang memunculkan perbedaan. Pandangan pertama menilai bahwa wahyu yang memuat informasi terkait tinggi Nabi Adam dan keturunannya di sini adalah hadits yang memenuhi kriteria shahih: tersambung sanad atau rantai periwayatannya hingga Rasulullah shallahu alayhi wasallam melalui jalur yang terpercaya. Di sisi lain, ketiadaan bukti arkeologis dianggap tidak kuat karena hanya berupa bukti negatif, bukan positif. Sebagaimana adagium yang populer: the absence of evidence is not the evidence of absent, ketiadaan bukti tidak berarti bukti dari ketiadaan. Pandangan ini menguatkan penafsiran literal teks hadits bahwa tinggi manusia memang terus berkurang.
Tapi, pandangan tersebut juga bisa dikritik. Pertama, fakta bahwa suatu hadits berstatus shahih, bukan berarti sifatnya qath'iy atau pasti secara transmisi selama levelnya belum mencapai mutawatir (ditransmisikan secara massal). Artinya, fakta bahwa hadits tersebut besar kemungkinan memang valid dari Rasulullah shallahu alayhi wasallam, tidak mutlak menutup kemungkinan sebaliknya. Terlebih, hadits ini ternyata diriwayatkan melalui beberapa jalur di mana mayoritas riwayat dengan jalur periwayatan yang lebih kredibel tidak memuat bagian akhir hadits mengenai tinggi manusia yang terus menerus memendek. Sebagian ulama’ hadits bahkan menilai bagian akhir hadits adalah penambahan dari periwayat, bukan spesifik dari Nabi. Terlebih, bukti saintifik yang ada bukan sekedar bukti negatif ketiadaan fosil tapi juga bukti positif mustahilnya makhluk beranatomi manusia survive jika berukuran besar dengan hukum-hukum fisika yang kita ketahui saat ini karena penambahan volume-nya tidak diimbangi penambahan luas penampang badan dengan proporsi yang sama. Pandangan ini menguatkan bahwa Nabi Adam diciptakan 60 hasta di surga, tapi keturunannya sudah dalam postur seperti manusia saat ini.
Opsi ketiga adalah tawaqquf, penundaan pengambilan kesimpulan. Pandangan ini merasa bahwa di satu sisi belum cukup ada alasan untuk menafsirkan 60 hasta hanya sebagai tinggi Nabi Adam di surga maupun menolak bagian hadits terkait tinggi manusia yang terus berkurang, tapi di satu sisi juga menganggap bukti saintifik yang menjadi lawannya juga cukup kuat, setidaknya sampai di era ulama’ pendukung pandangan ini hidup. Karena itu, mereka memilih untuk tidak mengambil kesimpulan apa pun hingga ada informasi tambahan yang akan menguatkan salah satu bukti. Beberapa ulama’ yang tercatat condong ke pandangan ini adalah tokoh terkemuka generasi salaf Imam Hasan al-Bashri serta ulama' hadits terkemuka Imam Ibnu Hajar al-Asqolani. Tentu saja argumen ini juga bisa dikritik bahwa kedua tokoh di atas tidak memiliki akses kepada pengetahuan modern saat ini yang boleh jadi cukup kuat bagi mereka untuk keluar dari posisi tawaqquf.
Pertanyaan
Terlepas dari diversitas pandangan di atas, boleh jadi ada pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka seperti di bawah ini:
Berimplikasi menolak hadits shahih?
Pertanyaan yang bisa jadi paling populer setelah membaca pandangan-pandangan di atas: Bukankah hadits tentang Nabi Adam statusnya shahih? Bahkan, hadits ini tercatat di Shahih Bukhari dan Muslim, dua kitab hadits paling shahih menurut kesepakatan umat Islam. Tidakkah menolak hadits ini membuat kita harus menolak semua hadits di Shahihain?
Respon terpenting di sini: saat kita menafsirkan tinggi Nabi Adam 60 hasta di surga atau tidak menerima bagian akhir teks hadits tentang tinggi keturunan beliau, kita tidak sedang menolak hadits tersebut ataupun status keshahihannya secara mutlak. Pada poin pertama tentang tinggi Nabi Adam, yang dilakukan adalah menafsirkan makna teks yang dzanniy (probabilistik) menjadi makna yang selaras dengan bukti lain yang juga kuat, bukan menolak teks tersebut. Pada poin kedua, yang diragukan status validitasnya hanya sebatas frase akhir hadits yang tidak ditemukan di berbagai jalur periwayatan lain yang lebih kuat. Fakta bahwa suatu hadits diriwayatkan dalam Shahihain tidak mengindikasikan bahwa setiap frase dalam hadits tersebut memiliki level epistemis yang sama bahkan menurut standar penulisnya, yaitu Imam Bukhari dan Muslim. Banyak ulama'-ulama’ hadits yang kemudian juga secara akademik mengomentari bahwa sebagian frase dari suatu hadits dalam Shahihain tidak sekuat bagian hadits yang lain, misalnya. Artinya, mungkin saja bagian tersebut marjuh karena ada bukti lain yang lebih rojih. Ini juga tidak berimplikasi bahwa kita bebas menolak bagian dari hadits shahih yang tidak sekuat bagian yang lain jika tidak ada alasan untuk melakukannya, apalagi jika seluruh teksnya sama-sama kuat level keshahihannya.
Hanya tafsiran baru yang bias modernitas dan saintisme?
Tentu saja tidak. Beberapa tokoh yang disebutkan di atas, seperti Hasan al-Bashri, Ibnu Hajar al-Asqolani, juga tokoh kaliber seperti Ibnu Khaldun, hidup di era pra-modern, jauh sebelum era sains modern. Itu tak mencegah mereka dari mengkritisi dan menganalisa secara adil situasi di atas. Artinya: proses kritis atas makna ataupun jalur periwayatan teks hadits berdasarkan bukti lain seperti arkeologi bukanlah sesuatu yang melanggar metodologi para ulama’ Sunni. Kita tidak sedang menggunakan saintisme atau modernisme untuk melawan hadits, tapi sedang mencari penafsiran terbaik menimbang seluruh bukti yang ada, baik wahyu maupun sains.
Bukankah bisa saja ini mu'jizat?
Betul, boleh jadi tinggi Nabi Adam alayhissalam di bumi 60 hasta adalah sesuatu di luar regularitas atau kharqul ‘adah yang terjadi pada beliau. Tapi, percaya bahwa keturunan beliau pun mengalami hal yang sama dari generasi ke generasi adalah klaim yang sangat kuat. Bukan hanya soal tubuhnya saja, tapi fakta bahwa mereka bisa survive mengindikasikan kharqul ‘adah pada lingkungan sekeliling (makanan, hewan yang juga besar) atau pada hukum alam yang bekerja dalam waktu yang lama. Betul bahwa semua ini sesuatu yang mungkin karena esensinya semua adalah Perbuatan Tuhan. Tapi, butuh bukti yang kuat untuk menerima poin ini sebagai kharqul ‘adah karena pelanggaran regularitas tidak biasa terjadi terus-menerus; kalau iya, namanya bukan lagi iregularitas!
Bukankah sains bisa berubah?
Fakta bahwa sains bisa berubah ataupun ada kemungkinan bukti-bukti baru bukan lantas membuat kita semudah itu menolak pertimbangan saintifik yang mainstream saat ini, terlebih jika ini berkaitan dengan teori-teori sains yang sangat kuat secara epistemis. Kemungkinan ada perubahan di masa depan bukan lantas mengharamkan kita mengambil posisi berbasis bukti terkuat saat ini. Kalau tidak, semuanya akan jadi tawaqquf, bukan?
Penutup
Sebagai catatan akhir, tulisan ini tidak hendak memaksa pembaca menerima satu posisi, tetapi lebih ke memaparkan tawaran-tawaran alternatif yang masih konsisten dengan metodologi ulama' Sunni. Saya juga hendak menekankan bahwa ada nuance dan detail dalam pemaparan Muntasir Zaman yang pastinya tidak tercover dalam 2 tulisan ini. Feel free untuk mencarinya lebih dalam langsung dari karya beliau.
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: