Salah satu perdebatan panjang dalam sejarah teologi Islam adalah terkait alam semesta: apakah ia memiliki permulaan ataukah ia selalu ada dalam waktu yang tak terhingga. Persoalan ini menjadi penting karena akan berimplikasi pada konsepsi Tuhan yang disimpulkan dari keberadaan alam semesta. Alam semesta yang tak memiliki permulaan dan muncul otomatis sebagai akibat dari keberadaan Tuhan pastilah tidak muncul akibat kehendak Tuhan. Artinya, Tuhan menjadi tidak punya pilihan dalam menciptakan alam semesta karena alam semesta semata-mata produk dari keberadaan Tuhan itu sendiri. Ini jelas berbeda dengan konsep Tuhan sebagaimana dideskripsikan oleh Al-Qur'an sebagai Dzat Yang Maha Berkehendak. Alam semesta yang memiliki permulaan, sebaliknya, akan langsung berimplikasi pada Tuhan yang memiliki kehendak dan pengetahuan untuk menjadikan alam semesta ada dari ketiadaan.
Pandangan di atas muncul karena memang bukti keberadaan Tuhan berdasarkan fakta bahwa alam semesta bersifat mungkin (dikenal sebagai dalil al-imkan atau contingency argument) hanya menunjukkan adanya Necessary Being atau Wajib al-Wujud saja. Bukti ini saja tidak memberi tahu kita apakah alam semesta yang bersifat mungkin tercipta dari ketiadaan atau selalu ada sebagai akibat langsung dari keberadaan Necessary Being. Bisa saja alam semesta bersifat mungkin tapi sekaligus selalu ada sebagai produk dari sesuatu yang wajib! Sifat alam semesta yang semacam ini disebut sebagai sesuatu yang in itself bersifat mungkin (mumkin li dzatihi) tapi sekaligus wajib karena sesuatu yang lain (wajib li ghayrihi). Artinya, butuh bukti tambahan di luar dalil al-imkan untuk menunjukkan bahwa alam semesta memiliki permulaan dan Tuhan yang menciptakan alam semesta tak lain adalah Entitas Yang Berkehendak.
Seperti apa argumennya? Ada banyak argumen yang digunakan para teolog Muslim untuk membuktikan bahwa alam semesta yang bersifat mungkin pasti juga memiliki permulaan. Secara historis, ini memang menjadi titik tengkar perdebatan panjang antara para teolog Muslim di satu sisi dengan para filsuf Muslim di sisi lain. Yang paling tersohor tentu saja terekam dalam Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali dari kalangan teolog yang direspon dalam Tahafut at-Tahafut karya Ibnu Rusyd dari kalangan filsuf. Salah satu varian argumen yang dikembangkan oleh para teolog fokus kepada fakta bahwa komponen penyusun alam semesta yang bisa muncul ataupun sirna mengindikasikan bahwa alam semesta memiliki permulaan. Imam Ibrahim al-Bajuri, dalam catatan kaki beliau atas Syarhul Aqaid An-Nasafiyah karya Sa’aduddin At-Taftazani, memaparkan sebagai berikut.
Let say, kita terima premis bahwa ada sesuatu yang mungkin tetapi tak bermula atau kekal. Maka, segala sesuatu yang kekal bisa jadi bersifat wajib atau bersifat mungkin. Kemudian, premis kuncinya: Segala sesuatu yang kekal tak mungkin lenyap. Mengapa? Jika ia kekal dan bersifat wajib, sudah pasti ia tak mungkin lenyap karena wajib berarti ketiadaannya jatuh pada kontradiksi. Jika ia kekal tapi bersifat mungkin, ia pasti lah akibat (ma’lul) dari Entitas Yang Wajib. Tapi, Entitas Yang Wajib ini pun tak mungkin lenyap, maka akibat atau ma’lul-nya pun tak mungkin lenyap karena akibat harus ada selama sebabnya ada. Faktanya, dunia penuh dengan fenomena mungkin yang lenyap: terang berganti gelap, gerak berganti diam, dan seterusnya. Maka, mengatakan bahwa dunia seisinya yang bersifat mungkin adalah akibat dari Entitas Yang Wajib sehingga harus selalu ada berkontradiksi dengan fakta adanya fenomena mungkin yang lenyap. Maka, kesimpulannya: alam semesta yang bersifat mungkin mustahil kekal. Dengan kata lain, alam semesta yang bersifat mungkin pasti memiliki permulaan. Kesimpulan ini di-nadzam-kan oleh Imam Ibrahim Al-Laqqani dalam Jawharah At-Tawhid:
وكل ما جاز عليه العدم
عليه قطعا يستحيل القدم
“Dan segala yang mungkin atasnya ketiadaan.
Pasti mustahil baginya kekekalan.”
Dari fakta di atas, kita bisa menyimpulkan lebih jauh bahwa segala sesuatu yang bersifat mungkin pasti memiliki permulaan. Esensinya, kemungkinan dan kebermulaan adalah dua sisi dari koin yang sama. Ini sekaligus mengindikasikan bahwa alam dan seisinya bukanlah akibat (ma'lul) dari Necessary Being, melainkan produk dari kehendak (ikhtiyar). Maka, Pencipta alam semesta dari ketiadaan pasti disifati dengan Kehendak. Artinya, Necessary Being yang telah dibuktikan melalui dalil al-imkan bukan sekedar penyebab mati, tapi Ia adalah Penyebab Yang Maha Hidup dan Berkehendak (al-fa’il al-mukhtar).
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: