Ada banyak pertanyaan menarik yang diajukan ke saya dalam berbagai forum diskusi buku “Logika Keimanan”. Salah satunya: Kalau ada bukti keberadaan Tuhan, maka tidakkah kepercayaan atas Tuhan lain pun terbukti? Tidakkah itu artinya keberadaan Zeus atau dewa-dewa lain dalam mitologi pun juga terbukti? Pertanyaan ini juga senada dengan penyataan sebagian kalangan: “Semua orang sebetulnya ateis terhadap semua Tuhan selain Tuhannya sendiri; lantas mengapa Tuhanmu berbeda?”
Pangkal dari kebingungan yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah asumsi bahwa semua sesembahan dari beragam kepercayaan di dunia ini adalah sesuatu yang setara atau bahkan persis sama. Padahal fakta sebetulnya menunjukkan bahwa ada begitu banyak perbedaan konsep ketuhanan di antara beragam kerpercayaan. Artinya, membuktikan validitas salah satu kepercayaan tentang Tuhan tidak otomatis membuktikan konsep Tuhan di kepercayaan lainnya.
Poin penting lain yang perlu digarisbawahi: fakta bahwa ada begitu banyak kepercayaan tentang Tuhan yang begitu beragam tidak lantas membuat semuanya sama-sama tak bisa dipercaya. Ini juga berlaku bukan di soal keimanan saja tapi juga kepercayaan apa pun, termasuk sains. Fakta bahwa ada begitu banyak teori sains di dunia ini yang berusaha menjelaskan fenomena yang sama tidak lantas menjadikan semuanya tak layak dipercaya, bukan?
Lalu, pertanyaannya: Tuhan yang mana yang layak dipercaya? Cara mencari jawabannya sebetulnya sama dengan cara kita sampai pada pengetahuan-pengetahuan lain termasuk sains. Sebagaimana satu teori sains dipercaya karena memiliki bukti paling kuat dibandingkan teori-teori yang lain, maka keberadaan Tuhan yang bisa dibuktikan dengan kuat lah yang layak dipercaya. Maka, Tuhan seperti apa yang benar-benar eksis bisa diketahui dari bukti rasional yang digunakan untuk membuktikan keberadaan-Nya. Seperti apa argumennya?
Ketika kita menyimpulkan keberadaan Tuhan dari fakta bahwa segala sesuatu di alam bersifat mungkin sehingga butuh kepada Sesuatu Yang Wajib, maka Tuhan yang dibuktikan di sini tak lain adalah Entitas yang bersifat Wajib, tak butuh apa pun. Ketika kita melihat alam semesta memiliki permulaan, maka Tuhan yang dibuktikan di sini adalah Sesuatu Yang Tak Bermula. Dari dua argumen ini, kita bisa menyimpulkan lebih lanjut bahwa Tuhan pasti berbeda dengan semua ciptaan-Nya yang bersifat mungkin dan memiliki permulaan. Artinya, Tuhan pasti bukanlah Zeus ataupun dewa-dewa dalam mitologi karena entitas-entitas ini semuanya memiliki sifat-sifat yang mengindikasikan kemungkinan dan kebermulaan, seperti berubah, bergerak, dan sifat-sifat lain yang mungkin. Imam Abu Ja'far ath-Thahawi menjelaskan dengan indah dalam aqidah beliau:
وَتَعَالَىٰ عَنِ الحُدُودِ وَالغَايَاتِ، وَالأَرْكَانِ وَالأَعْضَاءِ وَالأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ المُبْتَدَعَاتِ.
Maha suci Ia dari batas-batas, ujung, bagian-bagian, anggota badan/organ, instrumen. Arah yang enam tidak mengelilingi-Nya sebagaimana semua yang bermula.
Dengan kata lain, Tuhan pasti bukan sesuatu di alam semesta karena Ia sudah ada sebelum semesta ada dan Ia tetap seperti sebelumnya. Maka, sesembahan apa pun yang ada di alam ini pasti bukan Tuhan Yang Sejati, melainkan makhluq ciptaan Tuhan.
Poin ini juga sekaligus menjawab pertanyaan lain yang juga berkaitan: tidakkah kita harus membuktikan dulu tidak validnya semua kepercayaan lain tentang Tuhan sebelum meyakini keyakinan kita sendiri? Jawabannya tidak. Membuktikan Tuhan dengan sifat-sifat di atas melalui argumentasi rasional yang valid otomatis menegasikan semua entitas yang tak memenuhi kriteria di atas sebagai Tuhan, bahkan tanpa kita harus tahu semua kepercayaan yang ada di dunia ini. Karena mengenali kebenaran yang hakiki cukup untuk mengetahui semua kekeliruan.
Wallahu ta'ala a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: