Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan #2: Sains, Wahyu, dan Kebenaran
Ini adalah tulisan kedua dari serial “Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan”. Di tulisan sebelumnya, saya menulis singkat konteks serial tulisan ini dan apa saja yang akan dibahas, insyaallah. Sebelum bicara soal bagaimana bersikap saat ada pertentangan antara produk akal seperti sains dan wahyu, di tulisan kedua ini kita akan membahas validitas sains dan wahyu sebagai sumber pengetahuan dan apa irisan antara keduanya.
Kita akan mulai dari sains terlebih dahulu. Basis utama dari munculnya sebuah teori sains bertumpu pada dua hal, yaitu pengamatan dan perulangan. Sains berusaha mendeskripsikan dan memberikan penjelasan di balik fenomena alam yang bisa diamati yang terjadi berulang-ulang. Saintis mengajukan hipotesis dan membandingkannya dengan data eksperimen untuk kemudian ditolak atau diterima. Hasil proses ini lah yang kemudian mengkristalisasi menjadi teori-teori sains. Teori sains yang baik bisa menjelaskan data-data pengamatan atau eksperimen yang ada serta bisa diekstrapolasi untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan atau telah terjadi di masa lalu. Perhatikan bagaimana 2 sumber pengetahuan yang menjadi basis teori sains adalah pengamatan (musyahadat) dan perulangan (mujarrobat) yang merupakan beberapa sumber pengetahuan yang menghasilkan keyakinan.
Secara umum, proses perumusan teori sains di atas disebut sebagai proses penalaran induktif: dari data-data spesifik, dilakukan proses generalisasi untuk menghasilkan teori sains yang diasumsikan berlaku general. Itu mengapa teori sains bisa difalsifikasi dan digantikan oleh teori yang lebih baik. Bahkan, tidak jarang terjadi apa yang disebut filsuf Thomas Kuhn sebagai paradigme shift di mana framework yang dipegang saintis untuk melakukan kerja-kerja saintifik berubah secara drastis. Ada juga teori-teori sains yang dihasilkan melalui proses abduksi atau inference to the best of explanation. Teori evolusi Darwin, misalnya, merupakan teori biologi yang menjelaskan munculnya keberagaman spesies berdasarkan kombinasi bukti-bukti dari berbagai sumber (seperti genetika, palaentologi, anatomi, dan lain-lain) sedemikian rupa sehingga mekanisme evolusi lah yang dianggap sebagai penjelasan terbaik.
Selanjutnya, kita beralih ke wahyu. Bagaimana justifikasi wahyu sebagai sumber pengetahuan? Wahyu adalah produk pengetahuan berbasis testimoni. Maka, validitasnya tergantung sumber testimoninya. Di sini lah kita perlu membuktikan terlebih dulu kebenaran beberapa premis, yaitu bukti keberadaaan Tuhan dan bukti segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan. Singkatnya, fenomena alam yang memiliki suatu properti alih-alih properti lain mengindikasikan sifatnya yang mungkin secara rasional, maka sesuatu yang mungkin butuh kepada Sesuatu Yang Wajib, yaitu Tuhan. Artinya, setiap peristiwa alam yang terjadi adalah produk langsung dari Kehendak Tuhan.
Dari sini, kita tahu bahwa Tuhan bisa melakukan apa pun yang mungkin tanpa terkekang, termasuk menciptakan anomali di luar regularitas fenomena alam. Maka, ketika ada seseorang mengaku sebagai utusan Tuhan yang dibuktikan melalui terjadinya mu'jizat atau peristiwa di luar kebiasaan yang tak bisa direplikasi, maka ia betul-betul Utusan Tuhan. Konsekuensinya, apa yang disampaikannya tak lain adalah pesan Tuhan yang pasti kebenarannya.
Dari penjelasan singkat di atas, kita bisa melihat bagaimana sains dan wahyu adalah sumber pengetahuan yang valid. Artinya, keduanya bisa menghasilkan pengetahuan yang benar, yaitu yang sesuai dengan realita atau kenyataan. Penjelasan lebih detail tentang sumber-sumber pengetahuan, termasuk sains dan wahyu, bisa dibaca di Buku “Logika Keimanan”.
Setelah mengetahui bahwa sains dan wahyu sama-sama sumber pengetahuan, pertanyaan selanjutnya: apakah ada irisan pada objek yang menjadi pembahasan sains dan wahyu? Jika jawabannya tidak, maka tentu saja tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya. Pandangan ini, yang populer dengan sebutan non-overlapping magisteria (NOMA), berpendapat bahwa objek sains dan agama/wahyu berbeda dan tak memiliki irisan. Sains membahas fenomena alam sedangkan wahyu membahas nilai-nilai moral.
Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru. Wahyu dalam Islam memang memuat pandangan hidup dan nilai-nilai moral tentang bagaimana menjadi hamba Tuhan yang baik. Di sisi lain, Al-Qur'an jelas tidak diturunkan untuk mengajari kita tentang sains. Maka, berusaha mencari-cari teori sains dalam ayat-ayat Al-Qur'an, meski didasari niat yang baik, sebetulnya adalah langkah yang tidak sepenuhnya sesuai dengan tujuan Al-Qur'an diturunkan. Mawlana Ashraf Ali Thahanawi dalam Al-Intibahat Al-Mufidah menyebutkan kekeliruan ini sebagai salah satu kesalahan Muslim modern dalam memahami Al-Qur'an. Tapi, menyebut bahwa sama sekali tidak ada irisan dalam objek yang menjadi pembahasan sains dan wahyu juga tidaklah tepat.
Sains membahas bagaimana alam bekerja. Sebagian konten wahyu juga membahas peristiwa historis yang terjadi di alam. Misalnya, Al-Qur'an secara eksplisit menyebut bahwa alam semesta tercipta dari ketiadaan. Permulaan alam semesta tentu saja juga menjadi objek kajian sains, khususnya ilmu kosmologi. Wahyu juga menyebutkan banyak kejadian yang diklaim betul-betul terjadi di alam, seperti laut terbelah, bulan terbelah, penciptaan Nabi Adam tanpa orang tua, kelahiran Nabi Isa tanpa ayah, dan lain-lain. Semua ini adalah contoh peristiwa yang terjadi di alam. Tentu saja ini masuk ke dalam domain sains.
Kesimpulannya: ada irisan antara topik yang dibahas sains dan wahyu, maka, in principle, bisa saja terjadi “konflik” antara keduanya. Tapi, kita telah sama-sama melihat bahwa sains dan wahyu sama-sama sumber pengetahuan yang valid. Keduanya bisa mendatangkan pengetahuan yang sesuai dengan realita. Realita pastilah tunggal. Maka, premis dari sains dan premis dari wahyu pada objek bahasan yang sama mestinya tidak bertentangan karena keduanya sumber pengetahuan yang valid menghasilkan premis yang sesuai dengan kenyataan. Tidak mungkin ada pertentangan yang hakiki antara sains dan wahyu. Prinsip ini lah yang akan kita pegang untuk menyelami topik-topik berikutnya dalam serial tulisan ini.
Wallahu subhanahu wa ta'ala a'lam. Wa huwa hasbuna wa ni'mal wakil.