Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan #3: Ragam Level Keyakinan Sains dan Wahyu
Ini adalah tulisan ke-3 serial “Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan”. Di tulisan sebelumnya, kita telah sama-sama melihat bagaimana sains dan wahyu sama-sama sumber pengetahuan yang valid yang bisa mendeskripsikan realita. Kita juga telah melihat bagaimana objek yang menjadi pembahasan sains dan wahyu bisa beririsan sehingga memang ada potensi pertentangan di antara keduanya. Tetapi, karena realita itu tunggal, mestinya tidak akan terjadi pertentangan yang hakiki antara keduanya. Pertanyaannya: lantas mengapa ada kasus-kasus yang sekilas memuat “pertentangan” antara sains dan wahyu? Di tulisan ini, kita akan membahas sumber utama yang menyebabkan mungkinnya terlihat pertentangan di antara sains dan wahyu.
Dalam al-Intibahat al-Mufidah, Mawlana Ashraf ‘Ali menjelaskan bahwa yang menjadi kunci untuk memahami mengapa ada “pertentangan” antara sains (ataupun produk akal yang lain) dan wahyu adalah fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan keduanya sebetulnya memiliki level epistemis yang beragam. Ada produk pengetahuan yang betul-betul menghasilkan level keyakinan 100% (qath'iy) dan ada juga yang kurang dari itu (dzanniy). Mari kita tengok satu-per satu.
Dalam sains, ada teori-teori sains yang sangat tinggi level keyakinannya karena didukung bukti-bukti yang sangat kuat dan beragam dan ada juga yang masih berupa hipotesis, eksplorasi, dan bahkan belum didukung bukti empiris apa pun. Hukum-hukum fisika seperti relativitas umum ataupun mekanika kuantum, misalnya, didukung oleh beragam bukti-bukti observasi, baik langsung maupun tidak langsung, yang begitu kuat mendukung validitas kedua teori tersebut. Sebaliknya, teori Fisika seperti string theory, misalnya, meskipun secara matematika elegan dan punya potensi menghubungkan relativitas dan mekanika kuantum, masih berupa spekulasi yang sulit diverifikasi oleh eksperimen. Maka, menyamakan level keyakinan relativitas umum dan string theory hanya karena keduanya adalah teori sains tentu saja tidak tepat.
Sebagai catatan, kuatnya bukti-bukti pendukung suatu teori sains belum tentu menggaransi bahwa teori tersebut pasti benar. Lagi-lagi, sains dihasilkan oleh proses induksi yang tetap memiliki kemungkinan untuk difalsifikasi oleh observasi baru. Tapi, kuatnya bukti-bukti membuat sebuah teori sains menjadi model terbaik di suatu era untuk menjelaskan bagaimana alam semesta bekerja. Sebagai contoh, teori Big Bang merupakan teori sains terbaik saat ini untuk menjelaskan permulaan alam semesta. Tapi, detail mengenai seperti apa kondisi alam semesta saat bermula masih menjadi perdebatan hangat di dunia kosmologi sampai saat ini.
Bagaimana dengan wahyu? Contrary to (perhaps) popular opinion, wahyu pun juga memiliki level keyakinan yang beragam. Ada yang menghasilkan pengetahuan yang pasti (qath'iy) dan ada juga yang tidak pasti (dzanniy). Level keyakinan suatu wahyu bisa dilihat dari perspektif transmisinya (tsubut), yaitu seberapa yakin bahwa suatu teks betul-betul valid dinisbatkan sebagai wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, atau dari indikasinya (dalalah), yaitu seberapa yakin bahwa makna yang terkandung dalam wahyu betul-betul hanya satu kemungkinan makna.
Untuk mempermudah memahami klasifikasi di atas, kita bisa menengok definisi dan contoh berikut:
Qath'iyu tsubut mengacu pada wahyu yang penisbatannya pada Rasulullah mencapai level yakin. Contohnya adalah teks Al-Qur'an atau hadits mutawatir. Kedua jenis wahyu ini ditransmisikan secara massal oleh sedemikian banyak orang di setiap generasi sedemikian rupa sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Artinya, kita yakin 100% bahwa setiap ayat Al-Qur'an ataupun hadits mutawatir betul-betul teks wahyu yang persis sama dengan wahyu di era Rasulullah.
Dzanniyu tsubut, mengacu pada teks wahyu yang ditransmisikan tidak secara massal. Artinya, kita tidak bisa menjamin 100% bahwa teks semacam ini betul-betul wahyu yang valid dinisbatkan pada Rasulullah. Contohnya adalah teks hadits ahad, yaitu hadits-hadits yang tidak memenuhi syarat sebagai hadits mutawatir, yang jumlahnya mayoritas dalam disiplin ilmu hadits.
Qath'iyu dalalah, mengacu pada teks wahyu yang secara bahasa hanya mungkin memiliki makna tunggal yang sangat jelas sedemikian rupa sehingga makna-makna lain tidak valid. Contohnya adalah ayat dalam surat Al-Ikhlas, “Qul huwa Allahu ahad”. Tiada makna lain yang mungkin dari ayat ini selain makna bahwa Tuhan itu Esa.
Dzanniyu dalalah, mengacu pada wahyu yang secara bahasa memungkinkan adanya lebih dari satu makna yang valid. Contohnya adalah ayat dalam surat Al-Kahfi yang mengisahkan Dzul Qarnain melihat matahari “terbenam di dalam laut yang berlumpur (fi ‘aynin hamiah)”. Maknanya secara bahasa bisa jadi literal, bahwa matahari betul-betul terbenam masuk ke dalam laut, atau bisa jadi ini dilihat dari perspektif pengamat yang melihat matahari terbenam di pantai barat sehingga terlihat seperti masuk ke dalam laut.
Dari pemaparan di atas, ada total 4 kemungkinan terkait wahyu:
Wahyu yang bersifat qath'iyu tsubut sekaligus qath'iyu dalalah.
Wahyu yang bersifat qath'iyu tsubut dan dzanniyu dalalah.
Wahyu yang bersifat dzanniyu tsubut dan qath'iyu dalalah.
wahyu yang bersifat dzanniyu tsubut dan dzanniyu dalalah.
Dari sini kita bisa melihat bahwa produk pengetahuan, baik dari akal/sains maupun wahyu, tidak semuanya mutlak pasti. Ada ragam level keyakinan dari setiap produk pengetahuan yang dihasilkan keduanya. Di tulisan-tulisan selanjutnya, kita akan melihat bagaimana kekeliruan memahami ragam level keyakinan ini yang banyak menjerumuskan kita pada kekeliruan. Yang tepat adalah menempatkan masing-masing sesuai level keyakinannya sebelum mencari jalan keluar dari pertentangan.
Wallahu ta'ala a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang sumber-sumber pengetahuan dan bukti rasjonal di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda:
Silahkan subscribe untuk mendapatkan tulisan-tulisan terkini langsung ke email anda: