Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan #5: Kaidah Kunci untuk Mencari Solusi
Ini adalah tulisan ke-5 dari serial “Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan”. Di tulisan-tulisan sebelumnya, kita telah membahas tentang mengapa sains dan wahyu adalah sumber pengetahuan yang valid, ragam level keyakinan dari kedua produk pengetahuan tersebut, serta cakupan dan batasan keduanya. Setelah memahami poin-poin ini, di tulisan ini kita akan masuk ke dalam topik utama serial ini: apa kaidah-kaidah kunci yang digunakan para teolog Muslim sepanjang sejarah dalam memahami adanya “pertentangan” antara informasi dari wahyu dan produk pengetahuan lain seperti akal.
Sebelum memulai, sedikit catatan yang perlu saya tekankan di sini adalah bahwa prinsip-prinsip yang akan saya sampaikan di tulisan ini sebetulnya tidak spesifik berkaitan dengan “sains” sebagai produk metologi saintifik seperti yang kita kenal saat ini. Hal ini karena banyak prinsip-prinsip ini sudah ada beberapa abad lalu sebelum sains berkembang sematang sekarang. Yang dimaksud para teolog saat membahas “pertentangan” antara produk wahyu dan akal sebetulnya lebih banyak berkaitan dengan produk akal murni yang dengannya kita bisa mengidentifikasi mana sesuatu yang secara wajib, mungkin, dan mustahil secara rasional, bukan teori-teori sains yang dihasilkan dari proses induksi. Tetapi, prinsip-prinsip yang dikembangkan para teolog ini menurut saya bisa diperluas ke dalam produk pengetahuan akal lain termasuk sains.
Pertama, saat kita merasa menemukan “pertentangan” antara produk sains dan wahyu, yang perlu diperjelas terlebih dahulu adalah mengecek apakah terjadi pertentangan yang betul-betul kontradiktif. Suatu kontradiksi (ta’arud) diilustrasikan Mawlana Asyraf Ali dalam Al-Intibahat Al-Mufidah sebagai pertentangan antara dua premis di mana kebenaran salah satunya berimplikasi rasional pada kekeliruan premis yang lain. Sebagai contoh: pernyataan bahwa “Hari ini jam 12 saya duduk” dan pernyataan “Hari ini jam 12 saya berdiri” adalah dua premis yang mengalami kontradiksi. Ini karena kedua premis ini mustahil benar sekaligus secara rasional sehingga kebenaran salah satunya pasti berimplikasi kekeliruan premis yang lain. Tapi, premis “Hari ini jam 12 saya duduk” dan “Hari ini jam 12 saya ada di Jogja” bukanlah dua premis yang mengalami kontradiksi. Bisa jadi keduanya betul bahwa hari ini jam 12 saya duduk dan sedang berada di Jogja.
Bisa jadi “pertentangan” yang kita temui antara sains dan wahyu bukanlah kontradiksi (ta’arud) sehingga kita bahkan tidak perlu menolak salah satu produk pengetahuan tapi justru bisa menerima keduanya. Imam Al-Ghazali punya contoh menarik soal ini dalam muqaddimah Tahafut al-Falasifah. Bagi beliau, produk sains di era beliau yang bisa menjelaskan fenomena gerhana dengan sangat presisi bahkan sampai memprediksi kapan dan di mana gerhana akan terjadi tidaklah bertentangan dengan hadits Nabi yang menyebutkan bahwa matahari dan bulan adalah “dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah” dan “gerhana tidak terjadi disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang”. Itu karena kebenaran teori sains yang mendeskripsikan pergerakan benda langit tidak kontradiktif dengan premis wahyu bahwa gerhana adalah produk kekuasaan Tuhan. Ini mengapa di salah satu tulisan dalam serial ini saya menekankan pentingnya memahami cakupan dan batasan sains dan wahyu untuk memahami bahwa sains berfungsi mendeskripsikan bagaimana alam bekerja sedangkan wahyu berfungsi untuk membahas konsep-konsep seperti ketuhanan, kenabian, dan hari akhir.
Kedua, jika memang pertentangan yang dihasilkan adalah pertentangan yang kontradiktif, barulah kita perlu melihat lebih dalam level keyakinan masing-masing sumber pengetahuan: apakah ia bersifat pasti (qath’iy) ataupun bersifat tidak pasti (dzanniy). Khusus untuk bukti wahyu, kepastiannya juga perlu dinilai dari dua aspek, yaitu aspek transmisi (tsubut), yaitu seberapa yakin kita bahwa wahyu tersebut valid dinisbatkan pada Rasululllah shallahu ‘alayhi wa sallam, maupun aspek indikasi makna (dalalah), yaitu apakah ada kemungkinan banyak makna yang bisa disimpulkan dari teks wahyu tersebut. Secara logika, ada 4 kemungkinan yang bisa terjadi saat menilai level keyakinan produk akal dan wahyu. Sebagaimana dijelaskan Mawlana Asyraf Ali, keempat kasus ini adalah:
Bukti akal bersifat pasti dan bukti wahyu juga bersifat pasti, baik secara transmisi (tsubut) maupun indikasi makna (dalalah). Ini tidak pernah terjadi di kenyataan karena validnya akal maupun wahyu sebagai sumber pengetahuan dalam mendeskripsikan realita meniscayakan mustahilnya pertentangan hakiki antara kedua sumber ini jika buktinya sama-sama pasti.
Bukti akal bersifat tidak pasti dan bukti wahyu juga bersifat tidak pasti. Pada kasus ini, ketidakpastian bukti akal membuat wahyu tetap ada pada makna asalnya, yaitu makna literal. Sebagaimana kita lihat di tulisan sebelumnya, makna asal suatu teks adalah makna literal, bukan makna figuratif. Artinya, tanpa ada bukti pendukung yang kuat, teks tidak boleh dipalingkan maknanya (ta’wil) dari makna literalnya.
Bukti akal bersifat tidak pasti sedangkan bukti wahyu bersifat pasti, baik secara transmisi (tsubut) maupun indikasi makna (dalalah). Dengan argumen yang sama dengan poin 2, pada kasus ini tentu saja wahyu tetap harus ditafsirkan secara literal karena posisinya di kasus ini bahkan lebih pasti daripada bukti akal.
Bukti akal bersifat pasti sedangkan bukti wahyu bersifat tidak pasti, baik secara transmisi (tsubut) ataupun indikasi makna (dalalah). Di kasus ini, maka teks wahyu valid untuk dipalingkan maknanya (ta’wil) dari makna aslinya menjadi makna figuratif. Ini adalah satu-satunya kasus di mana proses menafsirkan teks menjadi figuratif valid untuk dilakukan.
Beberapa contoh yang disampaikan Mawlana Ashraf Ali untuk menjelaskan prinsip-prinsip di atas adalah soal gerakan matahari seperti dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 33 dan juga soal matahari yang terbenam ke kolam berlumpur dalam Surat Al-Kahfi ayat 86. Menurut beliau, Surat Al-Anbiya’ ayat 33 yang menyebutkan matahari dan bulan “masing-masing beredar di orbitnya” memiliki makna literal yang mengindikasikan bahwa matahari tidaklah statik tapi juga bergerak pada orbitnya. Tapi, secara indikasi makna, ayat ini bisa saja ditafsirkan tidak secara literal, yaitu bahwa matahari dan bulan memang terlihat bergerak semata-mata dari perspektif kita di Bumi. Mawlana Ashraf Ali menyebutkan bahwa sebagian saintis di era beliau percaya bahwa matahari sebagai pusat tata surya tidaklah bergerak. Tapi, bagi beliau, buktinya tidak definitif. Artinya, di sini bukti akal maupun wahyu sama-sama tidak definitif (dzanniy), mengacu pada poin 2 di atas. Maka, pada kasus ini, makna literal ayat tetap dipegang, yaitu matahari juga bergerak dan tidak diam. Contoh lain, dalam Surat Al-Kahfi, terdapat ayat yang makna literalnya menyebutkan matahari terbenam ke laut berlumpur. Tapi, bukti akal yang pasti membuktikan bahwa matahari tidak pernah bersentuhan dengan permukaan bumi sepanjang gerakannya. Bagi beliau, kasus ini mengacu pada poin 4 di atas, di mana bukti akalnya pasti sedangkan bukti wahyunya tidak pasti maknanya. Maka, pada kasus ini, makna literal ayat dipalingkan menjadi makna figuratif: yaitu matahari hanya terlihat seperti terbenam ke laut berlumpur dari perspektif pengamat di Bumi.
Ketiga, opsi yang seringkali sering terlupa, bisa jadi kita belum bisa menyimpulkan dengan pasti jalan keluar dari "pertentangan” yang muncul antara produk akal dan wahyu. Ini bisa terjadi misalnya karena masih kurangnya bukti untuk menentukan level keyakinan suatu produk pengetahuan. Di sini kita bisa mengambil opsi tawaqquf, yaitu suspense of judgement atau menunda pengambilan keputusan. Ini adalah posisi yang valid karena memang pengetahuan kita sebagai manusia yang terbatas dan juga ilmu yang terus berkembang. Tawaqquf pernah dilakukan oleh ulama’ hadits Imam Ibnu Hajar al-Asqolani dalam karya beliau Fathul Bari saat menjelaskan salah satu hadits shahih yang diriwiyatkan Imam Bukhari bahwa “tinggi nabi Adam 60 hasta” dan bahwa “keturunannya berkurang tingginya sampai sekarang”. Ibnu Hajar Al-Asqolani tidak bisa menemukan jalan keluar antara teks hadits ini yang sekilas menyiratkan bahwa manusia di era terdahulu tingginya jauh di atas kita saat ini dengan temuan arkeologi di era beliau yang mengindikasikan bahwa manusia di era sebelumnya tidaklah berbeda tingginya dengan kita sekarang. Di sinilah beliau memilih posisi tawaqquf.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin memberikan beberapa catatan. Pertama, contoh-contoh yang disebutkan ulama’-ulama’ yang saya kutip di atas tentu saja dijelaskan dalam konteks zaman di mana penulisnya hidup. Artinya, sangat mungkin kesimpulan-kesimpulan yang mereka ambil saat itu tidak lagi valid seiring perkembangan pengetahuan kita saat ini. Penting untuk memahami bahwa yang terpenting kita ambil dari contoh-contoh di atas adalah metodologinya, bukan semata-mata kesimpulan akhirnya. Kedua, terlepas dari universalitas prinsip-prinsip di atas, aplikasinya bisa jadi tidak lah sederhana. Menilai level keyakinan suatu produk pengetahuan, baik akal ataupun wahyu, adalah proses yang tidak mudah. Teori sains, misalnya, karena mayoritas dihasilkan melalui proses induksi ataupun inference to the best of explanation, bisa jadi memiliki level keyakinan yang sangat beragam. Bukti-bukti yang mendukung ataupun menolak suatu teori sains pun seringkali tidak tunggal, variatif, dan multi-displin. Karena itu, pada prakteknya, proses di atas tetap perlu dilakukan dengan kasuistik dan penuh kehati-hatian serta sedapat mungkin melibatkan pihak-pihak yang memang pakar di bidangnya, baik di sisi sains maupun terkait tafsir Al-Qur’an.
Di tulisan selanjutnya, sekaligus terakhir, insyaallah kita akan membahas beberapa contoh kasus penerapan prinsip-prinsip di atas di era sains modern saat ini.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: