Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan #4: Batas Pembahasan Sains dan Wahyu
Ini adalah tulisan ke-4 dari serial “Ketika Sains dan Wahyu Bertentangan”. Di tulisan sebelumnya, kita telah membahas bagaimana sains (ataupun produk akal yang lain) maupun wahyu sama-sama memiliki beragam level keyakinan. Ada yang levelnya mencapai keyakinan tertinggi (qath’iy) dan ada yang kurang dari itu (dzanniy). Gagal memahami konsep tersebut lah yang menjadi salah satu penyebab utama kebingungan kita saat sekilas melihat adanya pertentangan antara produk akal dan wahyu. Di tulisan ini, kita akan membahas penyebab lain yang kerap kali melatarbelakangi adanya anggapan bahwa produk akal bertentangan dengan wahyu, yaitu tentang cakupan sains dan wahyu serta batasan-batasannya.
Kita mulai dari sains terlebih dahulu. Sebagaimana pernah saya singgung di beberapa tulisan di blog ini, fungsi utama sains adalah mendeskripsikan bagaimana alam bekerja. Sains menjelaskan bagaimana satu fenomena alam berkaitan dengan fenomena alam yang lain. Itu mengapa sains bisa menjadi tools yang sangat powerful untuk memprediksi apa yang telah terjadi di alam di masa lalu dan apa yang akan terjadi di alam di masa depan.
Tapi, fakta di atas juga membuat kita memahami bahwa sains memiliki batasan. Sains dibangun dengan sebuah asumsi bahwa alam semesta terus-menerus beroperasi secara teratur. Artinya, sains tidak bisa menggaransi keteraturan selalu terjadi. Fakta bahwa suatu teori sains bekerja saat ini tidak secara rasional menggaransi bahwa ia akan bekerja seterusnya. Asumsi ini yang dikenal sebagai problem of induction. Artinya, sains tidak bisa membantah terjadinya sesuatu di luar regularitas. Keterbatasan lain yang juga bisa kita dapatkan adalah fakta bahwa sains tidak bisa membahas persoalan yang tidak bisa diindera atau diobservasi melalui instrumen.
Bagaimana dengan wahyu? Sebagaimana sains, wahyu dalam Islam juga memiliki fungsi tersendiri. Karena wahyu diturunkan oleh Dzat Yang Maha Tahu, maka Al-Qur’an tidak terbatas pada fenomena alam di dunia saja, tapi juga memuat peristiwa sejarah yang lampau ataupun deskripsi mengenai fase setelah kematian. Menurut mufasir Andalusia, Ibnu Juzay, dalam mukadimah tafsirnya, At-tashil li ulum at-tanzil, ada 7 tema yang dicakup oleh Al-Qur’an: ketuhanan, kenabian, tempat tujuan akhir (akhirat), hukum/aturan, janji pahala, ancaman hukuman, dan kisah-kisah terdahulu. Hadits Nabi, sebagai penjelasan atas Al-Qur’an, juga memuat tema-tema di atas.
Di sini, kita bisa melihat bagaimana peran utama wahyu bukanlah menjelaskan sains atau bagaimana alam bekerja. Sebagaimana idiom populer, the Qur’an is a book of signs, not a book of science. Artinya, keliru kalau kita melihat Al-Qur’an sebagai sumber penjelasan fenomena alam yang harus memuat sains modern, misalnya. Mawlana Ashraf ‘Ali dalam Al-Intibahat Al-Mufidah menyebut fenomena ini sebagai salah satu kesalahan fatal Muslim modernis dalam memandang Al-Qur’an. Tak heran kalau kekeliruan ini membuat banyak pihak mengira betul-betul ada pertentangan antara Al-Qur’an dan sains modern karena mindset yang digunakan saat membaca teks Al-Qur’an adalah seperti membaca buku teks saintifik!
Selain itu, poin penting lain yang membatasi penafsiran wahyu adalah fakta bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Artinya, memahami teks Al-Qur’an tidak bisa sebabas mungkin, tapi dibatasi oleh kaidah-kaidah bahasa Arab. Misalnya, dalam menafsirkan suatu kata dalam bahasa Arab, dikenal dua jenis makna, yaitu makna hakiki (literal) dan makna majazi (figuratif). Imam Al-Haramayn Al-Juwayni dalam kitab-nya Al-Waraqat menjelasakan bahwa makna hakiki adalah makna asli yang diberikan pada suatu kata sedangkan makna figuratif adalah makna lain yang berbeda dengan makna asli suatu kata. Artinya, makna asal suatu kata adalah makna hakiki atau literalnya. Suatu kata baru bisa dianggap bermakna figuratif ketika ada bukti yang mendukung bahwa ia bermakna figuratif. Maka, keliru jika sebuah kata serta-merta ditolak makna literalnya tanpa alasan yang jelas karena ini bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab di mana Al-Qur’an diturunkan.
Dari sini kita bisa melihat bahwa sains ataupun wahyu memiliki fungsi, cakupan, dan batasan-batasan yang berbeda. Memahami cakupan dan batasan-batasan di atas penting agar kita bisa menganalisa dengan konsisten saat menemui irisan pembahasan antara sains dan wahyu. Ini membantu kita agar tidak serampangan menolak produk sains yang sangat kuat karena adanya teks wahyu yang sebetulnya maknanya tidak definitif atau sebaliknya sembarangan menafsirkan teks wahyu yang maknanya definitif agar dipaksa mengikuti prediksi sains padahal sains sendiri ternyata tidak berimplikasi pada kesimpulan tersebut.
Setelah memahami fakta bahwa sains dan wahyu punya ragam level keyakinan dan punya cakupan dan batasan yang berbeda, di tulisan selanjutnya kita sudah bisa masuk ke pembahasan utama: bagaimana sikap kita saat menemui adanya “pertentangan” antara sains dan wahyu.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang sumber-sumber pengetahuan dan bukti rasjonal di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda:
Silahkan subscribe untuk mendapatkan tulisan-tulisan terkini langsung ke email anda: