Can Science Explain Every Thing #4 - Tuhan atau Sains, Haruskah Kita Memilih?
Di tulisan sebelumnya pada serial tulisan ini, kita telah melihat bagaimana Prof. Lennox memaparkan perbedaan antara pernyataan saintifik dan pernyataan saintis. Kita melihat bagaimana demarkasi semacam ini telah jauh-jauh hari dipaparkan oleh teolog Muslim seperti Al-Ghazali. Kita juga melihat kekeliruan pandangan yang memutlakkan sains sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Di tulisan ini, kita akan masuk lebih dalam lagi dengan mencoba menjawab pertanyaan apakah kita harus memilih antara Tuhan dan sains.
Prof. Lennox memulai tulisannya dengan membandingkan perbedaan pandangan filosofis antara 2 fisikawan yaitu Isaac Newton dan Stephen Hawking. Bagaimana bisa 2 orang fisikawan yang sama-sama mempelajari dan meneliti gravitasi secara mendalam bisa sampai pada 2 pandangan yang begitu berseberangan tentang Tuhan? Mana yang lebih tepat, antara Newton yang percaya adanya Tuhan dan Hawking yang berpandangan alam semesta tak butuh intervensi supernatural? Apakah hanya karena hidup di era modern, otomatis pandangan Hawking lebih valid daripada Newton?
Bagi Prof. Lennox jawabannya: tidak. Perbedaan pandangan antara kedua fisikawan di atas tidak berkaitan dengan perkembangan sains terkait gravitasi. Menurut beliau, ada 2 alasan utama mengapa ilmuwan seperti Hawking sampai pada kesimpulan yang keliru: kekeliruan memahami apa itu Tuhan dan kekeliruan memahami apa itu penjelasan saintifik.
Hawking dan banyak ilmuwan lain mengira bahwa Tuhan tidak lebih dari penjelasan atas fenomena-fenomena luar biasa yang terjadi di alam. Misalnya: dulu manusia belum memahami apa itu petir. Akhirnya, muncul anggapan adanya Dewa Petir yang menjadi penyebab munculnya petir. Maka, ketika kini sains modern memberi kita penjelasan tentang fenomena-fenomena alam di sekeliling kita, keberadaan Tuhan tak lagi dibutuhkan. Ini yang dikenal sebagai god-of-the-gaps argument: we don't know why this happens, so it must be God who did it. To be fair, argumen semacam ini memang dianut sebagian orang beriman, seperti sebagian penganut Intelligent Design di Amerika yang sempat saya bahas di Buku “Logika Keimanan”.
Tapi, bukan seperti ini konsep Tuhan yang kita imani. Tuhan bagi penganut agama samawi adalah satu-satunya Penyebab dari segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik yang kita pahami ataupun yang belum kita pahami. Kita tidak menempatkan Tuhan sebagai penjelasan sesuatu yang tidak kita pahami, sebaliknya, seluruh alam semesta adalah tanda keberadaan Tuhan. Itu mengapa Isaac Newton tidak menegasikan keberadaan Tuhan ketika menjelaskan gravitasi karena ia paham betul gravitasi tidak sedang menggantikan peran Tuhan. It's not God-of-the-gaps. It's the God of the whole show.
Kekeliruan kedua berkaitan dengan apa itu penjelasan saintifik. Sebagaimana sempat saya singgung, sains mendeskripsikan relasi antara besaran-besaran natural di alam semesta. Artinya, sains tidak sedang memberikan penjelasan paripurna mengapa suatu fenomena alam terjadi. Sebagai contoh, ketika sains bicara tentang hukum gravitasi, sains sebetulnya tidak sedang bicara apa itu gravitasi atau mengapa gravitasi ada alih-alih tiada. Sains bicara bagaimana gravitasi bekerja melalui persamaan-persamaan matematika seperti Hukum Gravitasi Newton atau Relativitas Umum Einstein.
Artinya, penjelasan saintifik tentang bagaimana alam bekerja dan penjelasan filosofis bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan tidaklah bertentangan. Sebaliknya, keduanya saling mengisi dan melengkapi. Mengutip kembali contoh Bibi Matilda sang pembuat kue, penjelasan santifik tentang proses pembuatan kue tidak menegasikan keberadaan Bibi Matilda sebagai penjelasan terciptanya kue tersebut.
Tapi, bukankah Hawking berpendapat bahwa bermulanya alam semesta tak butuh adanya Tuhan karena hukum alam seperti gravitasi saja cukup untuk membuat alam semesta dari ketiadaan? “Because there is a law like gravity, the universe can and will create itself from nothing,” begitu kata Hawking. Pandangan Hawking ini sebetulnya bukanlah pandangan saintifik, melainkan pandangan filosofisnya. Ada beberapa alasan mengapa pandangan ini bahkan cacat secara logika:
Mengatakan bahwa “alam semesta bisa muncul dari ketiadaan mutlak karena ada hukum gravitasi” sebetulnya jatuh kepada kontradiksi. Kita harus memilih apakah alam semesta betul-betul muncul dari ketiadaan atau sudah ada hukum gravitasi sebelum alam semesta muncul. Mengatakan ada hukum gravitasi berarti alam semesta tidak muncul dari ketiadaan. Mengatakan alam semesta muncul dari ketiadaan berarti tidak ada hukum gravitasi.
Hukum gravitasi ataupun hukum sains yang lain adalah deskripsi bagaimana alam bekerja. Kalau alam yang dideskripsikan oleh hukum alam saja tidak ada, bagaimana bisa ada hukum alam? Hukum alam tidak bisa menciptakan apa pun. Ia hanya menjelaskan relasi antar besaran di alam.
Sesuatu yang tidak ada tidak bisa menciptakan dirinya sendiri karena ini pun kontradiksi. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa alam semesta ada dan tidak ada sekaligus.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan menyinggung pertanyaan yang sering diajukan kepada orang-orang beriman: “kalau Tuhan ada, siapa yang menciptakan Tuhan?”. Pertanyaan yang sama justru bisa diajukan kepada mereka yang percaya alam semesta dengan penyebab natural lah yang menciptakan kita semua: “Kalau alam semesta yang menciptakan kita, siapa yang menciptakan alam semesta?”