Kalau Tuhan Tak Butuh Ibadah, Mengapa Ia Menyuruh Manusia?
Salah satu pertanyaan yang sering mengemuka adalah relasi antara Tuhan dan hamba-Nya. Tuhan sebagai Dzat yang bebas dari keterbatasan tentu tak membutuhkan ibadah dan ketaatan hamba-hamba-Nya. Lantas, mengapa Ia menyuruh hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya? Mengapa Ia menghukum hamba-Nya yang tak mengikuti aturan-aturan-Nya? Bukankah Ia Maha Baik? Tidakkah Ia harus melakukan yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya?
Tuhan adalah Wajib al-Wujud, yang keberadaan-Nya bisa kita simpulkan dari fakta adanya alam semesta dan seisinya yang bersifat mungkin. Maka, konsekuensinya, Ia independen dari segala sesuatu selain-Nya, dan sebaliknya, segala sesuatu selain-Nya butuh kepada-Nya. Artinya, betul bahwa Tuhan tak butuh apa pun, termasuk ibadah-ibadah kita, dan kemuliaan-Nya tak berkurang sedikitpun akibat dosa-dosa kita.
Tapi, Tuhan bukan hanya Wajib al-Wujud, tetapi Ia juga Fa'il Mukhtar, Dzat Yang Berkehendak Bebas. Fakta ini bisa disimpulkan dari kebermulaan alam semesta dan juga dari keragamannya. Dua fakta ini menunjukkan adanya Kehendak untuk menjadikan alam semesta sebagaimana adanya saat ini. Ini juga berimplikasi bahwa segala sesuatu adalah ciptaan dan milik-Nya.
Karena itu, Tuhan bebas melakukan apa pun yang mungkin pada ciptaan-Nya. Tuhan bisa menciptakan manusia ataupun tidak, bisa mengirim Nabi ataupun tidak, bisa menurunkan syari'at ataupun tidak. Tuhan tidak terkekang oleh standar moral apa pun karena Ia lah yang menciptakan standar moral. Tuhan tidak terkekang oleh “motif” atau ghard yang harus dipenuhi sebagaimana manusia melakukan sesuatu untuk memenuhi alasan atau tujuan tertentu. Jika tidak, artinya Ia tidaklah independen dan bebas berkehendak karena bergantung pada terpenuhinya tujuan tertentu di luar Kehendak-Nya.
Dari fakta di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa memberikan perintah dan larangan adalah murni Wewenang Tuhan sebagai Pencipta dan Pemilik segala sesuatu. Tuhan bebas melakukan apa pun dan tidak harus melakukan apa yang dianggap terbaik oleh standar hamba-Nya. Tuhan bebas apakah akan memberi pahala atau menghukum manusia. Maka, jawaban yang paling tepat untuk merespon pertanyaan mengapa Tuhan menyuruh hamba-Nya adalah sebagaimana ayat Al-Qur'an:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Ia tidak ditanya atas apa yang Ia perbuat, tapi mereka yang akan ditanya.
Meski demikian, Perbuatan Tuhan juga penuh dengan Hikmah, bukan sebagai pengekang Kehendak Tuhan, tapi sebagai manifestasi Kebijaksanaan-Nya. Tuhan Maha Penyayang dan Ia memilih untuk memberikan pahala bagi hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya. Juga atas kasih sayang-Nya, Ia mengutus Nabi dari kalangan manusia dengan bukti mu’jizat yang tak terbantahkan sebagai teladan bagi yang lain dalam menjalankan perintah Tuhan. Ia pun Maha Adil dan memilih untuk memberikan hukuman bagi hamba-Nya yang melanggar larangan-Nya, yang sewenang-wenang menyalahgunakan anugerah yang diberikan Tuhan.
Bukan hanya itu, esensinya, semua perintah dan larangan-Nya mengandung hikmah yang kembali kepada hamba-hamba-Nya. Syari'at esensinya tidak hanya mendatangkan kebaikan tak terbatas di akhirat saja, tapi juga mendatangkan kebaikan di dunia. Ibadah-ibadah mahdhah mengingatkan kita untuk selalu menjaga hubungan dengan Tuhan. Ibadah lainnya mengingatkan kita untuk menjaga hubungan dengan hamba Tuhan. Bahkan, setiap perintah syari'at esensinya menjaga keteraturan kehidupan manusia: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Tapi, semua Ia lakukan bukan atas keharusan, melainkan atas Kehendak-Nya yang tak terkekang. Sebagaimana sya'ir Imam Laqqani dalam Jawharah at-Tawhid:
فإن يثبنا فبمحض الفضل وإن يعذب فبمحض العدل
"Apabila Ia memberi pahala kepada kita maka itu adalah murni dari anugrah-Nya, dan bila Ia menyiksa kita maka itu adalah murni keadilan-Nya."
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: