Kalau Agama Rasional, Mengapa Tak Semua Orang Beriman?
Ada banyak keberatan terhadap klaim bahwa keimanan harus berdasarkan bukti rasional. Salah satunya adalah pandangan berikut: kalau agama rasional, mestinya semua orang beriman. Tapi, nyatanya tidak semua orang beriman atau mengimani hal yang sama. Ini jelas terlihat dari begitu banyaknya ragam agama di dunia ini. Bahkan yang seagama pun terpecah-pecah menjadi beragam paham yang seringkali memiliki perbedaan konsep keimanan yang tajam. Maka, agama pasti tidak rasional. Rasionalisasi yang dilakukan oleh para teolog dianggap tidak valid dan tak bisa diandalkan, tidak lebih dari usaha cocokologi demi memaksakan kesimpulan yang sesuai dengan agama masing-masing.
Faktanya, ada begitu banyak alasan mengapa seseorang tak menerima konsep keimanan suatu agama. Yang paling sederhana: mereka tak tahu argumen rasional di balik keimanan. Mereka menganggap keimanan sebagai sesuatu yang murni subjektif dan personal, tak berkaitan dengan kebenaran apa pun. Karenanya, bagi mereka, iman tak perlu dibuktikan tapi cukup diyakini. Tentu saja pandangan semacam ini tidak bisa digunakan untuk menolak validitas argumentasi rasional di balik keimanan. Menghukumi sesuatu baru bisa dilakukan setelah memahaminya, bukan?
Tapi, fakta bahwa seseorang mengetahui argumen di balik keimanan juga belum tentu menggaransi penerimaan terhadapnya. Bisa jadi ia tahu dan meyakini premis-premis dalam argumen keimanan, tapi gagal memahami implikasinya. Misal: seseorang yang percaya bahwa “alam semesta bersifat mungkin”, “segala yang mungkin butuh penyebab”, dan “mustahil ada rantai penyebab tak berujung” bisa jadi tak sadar bahwa penerimaannya terhadap semua premis ini berimplikasi pada kesimpulan “adanya Sesuatu Yang Wajib”.
Atau bisa saja seseorang memang tidak menerima premis-premis penyusun argumen keimanan. Bisa jadi ini disebabkan karena gagal memahami atau kurang familiar dengan definisi dari istilah-istilah penyusun premis tersebut. Dalam contoh di atas, bisa saja seseorang tidak menerima premis “alam semesta bersifat mungkin” karena keliru menganggap hukum-hukum alam bersifat pasti, bukan mungkin. Ini bisa terjadi ketika seseorang keliru memaknai “kepastian” dan “kemungkinan”, bahwa sesuatu yang selama ini terus-menerus terjadi tidak berimplikasi pada “kepastian”.
Tapi, sebagaimana disampaikan Sa'aduddin At-Taftazani dalam karyanya Syarhul Aqaid An-Nasafiyah, kekeliruan-kekeliruan dalam menyusun suatu argumen atau memahami premis-premisnya tidak kemudian menjadikan keseluruhan argumennya menjadi invalid. Sama halnya dengan penyakit atau cacat pada indra seseorang yang menyebabkannya gagal berfungsi optimal tidak berimplikasi pada invalidnya indra semua orang.
Kalau argumentasi rasional dianggap tidak bisa diandalkan karena bisa menghasilkan beragam kesimpulan yang berbeda, metodologi saintifik pun juga begitu. Banyaknya orang yang percaya Bumi datar atau teori kreasonisme sebagai produk sains yang valid tidak lantas membuat metodologi saintifik kehilangan validitasnya, bukan? Metodologi yang tepat untuk mengkritik argumen rasional di balik keimanan bukan mengacu pada seberapa banyak orang yang menerima atau tak menerimanya, tapi dengan mengkritik premis-premisnya.
Ini mengapa dalam Qistash al-Mustaqim, Abu Hamid Al-Ghazalil mengibaratkan argumentasi rasional sebagai timbangan. Kita mengetahui timbangan bekerja berbasis pengamatan (musyahadat) bahwa dua sisi timbangan sejajar dan empirisme (mujarrobat) bahwa benda yang lebih berat selalu memiliki torsi lebih besar yang menyebabkan ketidaksejajaran sisi timbangan. Begitu juga dalam argumentasi rasional yang digunakan para teolog: sama-sama tersusun atas dua premis yang bersifat pasti sedemikian rupa sehingga akan menghasilkan kesimpulan yang pasti pula. Maka, esensinya, tidak ada jalan untuk menolak argumentasi semacam ini bagi orang yang rasional.
Tapi, terlepas dari itu semua, tetap saja kita melihat adanya pihak yang tidak mau menerima kesimpulan yang dihasilkan dari argumen-argumen keimanan meskipun mereka menerima premis-premisnya. Ini karena penerimaan terhadap suatu kepercayaan tidak semata-mata disebabkan faktor-faktor rasional tapi juga faktor-faktor emosional. Beberapa contohnya adalah keengganan untuk tunduk pada aturan-aturan agama atau trauma akibat kejadian tragis di masa lalu yang membuatnya tidak bisa menerima konsep Tuhan. Itu mengapa beriman (percaya) saja tidak cukup dalam agama Islam, tapi harus diikuti dengan berislam (penyerahan diri) karena percaya pada keberadaan Tuhan Yang Maha Berkehendak mesti berimplikasi penundukan mutlak pada segala perintah-Nya.
Semoga Tuhan membimbing kita semua.
Wallahu a'lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: