Hafalan, Critical Thinking, dan Keilmuan Islam
Betulkah penekanan hafalan dalam keilmuan Islam berujung pada dogmatisme dan ketiadaan critical thinking?
Ketika kita mendengar istilah “ilmu agama”, yang barangkali terbersit di benak kita adalah ilmu fiqih, Al-Qur'an, dan hadits. Maka, tidak heran jika kita menganggap bahwa tradisi keilmuan Islam sangat bertumpu pada proses menghafal: hafalan Al-Qur'an, kitab-kitab hadits seperti kutubus-sittah, ataupun matan-matan (textbook) fiqih. Penekanan pada hafalan ini kerap dianggap sebagian pihak menjadi salah satu penyebab kurangnya critical thinking dalam tradisi keilmuan Islam. Akibatnya, tradisi keilmuan pun dianggap menghasilkan umat yang dogmatis dan gagal mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Tidak bisa dipungkiri, proses hafalan memang memegang peranan krusial dalam tradisi keilmuan Islam. Bagaimanapun, proses ini lah yang menjaga terpeliharanya kitab suci Al-Qur'an maupun hadits Nabawi selama 14 abad hingga saat ini. Di era di mana teknologi percetakan belum ada, keseriusan generasi awal Muslim dalam mempertahankan otentisitas wahyu dalam Islam merupakan keberhasilan ilmiah yang saya kira tidak ada tandingannya dalam tradisi keilmuan lain. Kita yang hidup di zaman ini bisa dengan yakin mengatakan bahwa suatu ayat betul-betul turun pada Rasulullah atau suatu pernyataan betul-betul valid dinisbatkan kepada Rasulullah karena adanya keseriusan dalam mentransmisikan wahyu ini. Prosesnya pun sangat tidak mudah karena melibatkan proses-proses keilmuan seperti kritik terhadap ketersambungan transmisi (sanad) suatu hadits, kritik terhadap kualitas hafalan maupun keterpercayaan orang yang mentransmisikan hadits (jarh wat ta'dil), sampai proses menemukan cacat-cacat tersembunyi dalam hadits (‘ilal). Tapi, proses hafalan untuk mentransmisikan wahyu bukanlah satu-satunya fokus keilmuan Islam.
Taskhupri Zada, sejarawan Ottoman, memaparkan bahwa kurikulum madrasah di era Ottoman membagi ilmu menjadi beberapa jenis:
Ulum alah (ilmu-ilmu alat) yang mencakup:
Ilmu bahasa seperti nahwu (grammar), sharraf (morfologi), dan balaghah (retorika),
Ilmu critical thinking, meliputi mantiq (logika) dan adab al-bahts wal munadzarah (ilmu debat).
Ulum hikmiyyah (filsafat) yang mencakup:
Ulum nazhariyyah (teori) yang mencakup:
Al-ilm Al-ilahi (metafisika)
Al-ilm ar-riyadhiyyat (matematika)
Al-ilm ath-thabi'i (sains alam/natural science)
Ulum ‘amaliyyah (praktis) yang meliputi etika (ilm al-akhlaq), rumah tangga (ilm tadbir al-manzil), dan politik (ilm as-siyasah).
Ulum syar'iyyah (berkaitan dengan wahyu) yang mencakup:
Transmisi seperti ilm qiro'at (periwayatan bacaan Al-Qur'an) dan ilm riwayat al-hadits (transmisi hadits)
Tafsir, seperti Tafsir Al-Qur'an dan ilm dirayat al-hadits (pemahaman hadits)
Reasoning, seperti kalam (teologi) dan ushul fiqih (filsafat hukum Islam)
Aplikasi, seperti ilmu fiqih.
Bisa kita lihat bagaimana kayanya ilmu-ilmu yang dipelajari dalam kurikulum madrasah di era Ottoman. Bukan hanya luas cakupannya, tapi juga mendalam. Maka, menyempitkan keilmuan Islam sebagai sekedar proses “hafalan” (yang itu sendiri pun tidak mudah) bagi saya sangat tidak menghormati tradisi keilmuan Islam. Seorang ulama’ di era itu bukan hanya diharuskan menghafal Al-Qur'an, tapi juga memahami critical thinking, khususnya melalui mantiq (logika) dan adab al-bahts wal munadzarah. Mereka tidak diajarkan pengetahuan agama berbasis dogma, tapi justru berbasis proses berfikir, khususnya melalui kalam (teologi) dan ushul fiqih (filsafat hukum Islam).
Tradisi keilmuan semacam di atas juga bukan sekedar teori saja. Dalam sejarah keilmuan Islam, kita bisa menemukan sosok seperti Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i. Beliau bukan sekedar hafal Al-Qur'an dan kitab hadist Al-Muwatta’ Imam Malik, tapi juga menulis Ar-Risalah, karya pertama bertema filsafat hukum Islam (ushul fiqih). Kita bisa menemukan sosok seperti Abu Hamid Al-Ghazali dan Fakhruddin Ar-Razi yang berani masuk sangat dalam menggeluti filsafat di era mereka dan mengintegrasikannya dengan keilmuan Islam. Tengok bagiamana dalam Tafsir Mafatih al-ghayb, betapa Ar-Razi sangat kental menggunakan logika dan rasionalitas dalam menafsirkan Al-Qur'an.
Tradisi ini tidak berhenti di Ghazali sebagaimana pandangan sebagian orang. Syarhul Aqaid An-Nasafiyyah karya Taftazani di bidang teologi, misalnya, dikomentari oleh begitu banyak teolog setelahnya (sebagian mencatat hingga 82 hasyiyah/catatan pinggir), menunjukkan hidupnya tradisi critical thinking dalam Islam. Tanpa tradisi critical thinking yang baik, tidak mungkin Imam Sanusi menulis serial teologis yang merangkum argumen-argumen rasional penopang keimanan Islam dalam 5 jilid dengan level kedalaman yang berbeda.
Bagaimana dengan sains? Kontribusi sangat besar bisa ditemukan para ulama’ cum ilmuwan di bidang astronomi. Tokoh-tokoh seperti Ibn Al-Shatir, Al-Urdi, Ash-Shirazi, At-Tusi, ramai-ramai mengkritisi teori geosentris Ptolomeus. Kontribusi mereka ini yang ikut membuka revolusi sains di Eropa melalui Copernicus. Bahkan, salah satu pionir yang memberi penekanan pada pentingnya eksperimentasi untuk mendukung hipotesis saintifik tak lain adalah Ibn Al-Haytham yang juga tumbuh dalam tradisi keilmuan Sunni.
Contoh di atas, dan banyak lagi contoh-contoh lain, tidak saya gunakan untuk mengglorifikasi era keemasan keilmuan Islam masa lalu. Saya juga tidak menampik adanya kemunduran dalam banyak cabang keilmuan Islam di sekitar abad ke-15 dan seterusnya, bahkan hingga saat ini. Di sini saya hanya ingin menunjukkan betapa tidak adilnya kita jika memandang tradisi keilmuan Islam sebatas “hafalan” yang dogmatik dan tak mengindahkan critical thinking sama sekali.
Catatan Akhir
Pembaca yang tertarik mengetahui lebih dalam tentang tradisi keilmuan Islam bisa menengok monograf berjudul “Madrasa Curriculum in Context” terbitan Kalam Research and Media karya Syaikh Hamza Karamali. Untuk membaca lebih lanjut tentang sejarah keilmuan Islam, khususnya di bidang astronomi, pembaca bisa menengok buku George Saliba, “Islamic Science and the Making of the European Renaissance” terbitan MIT Press.