Apakah untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang Tuhan, seseorang harus menguasai ilmu logika dan filsafat secara sangat mendalam? Kalau iya, bukankah ini artinya teologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang Tuhan tidaklah bisa diakses oleh semua kalangan? Kalau begitu, bagaimana mungkin setiap orang dibebani kewajiban untuk mengenal Tuhan sedangkan perangkat untuk mengenal Tuhan tidak bsia diakses semua orang?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas sempat terpikirkan di benak kita. Di satu sisi, kita melihat bagaimana perdebatan soal iman dan teologi terasa sangat rumit. Di sisi lain, kita tahu bahwa agama mewajibkan setiap orang untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang Tuhan. Bagaimana sebetulnya perspektif Al-Qur’an terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas?
Pertanyaan-pertanyaan di atas ternyata tidak sulit untuk dijawab karena jawaban dari pertanyaan pertama adalah “tidak”. Seseorang tidak butuh menguasai ilmu logika dan filsafat yang barangkali terasa begitu rumit untuk sampai kepada kesimpulan yang benar tentang Tuhan. Yang dibutuhkan ternyata adalah akal yang sehat dan indra yang bekerja dengan baik. Ini mengapa Al-Qur’an berkali-kali bertanya: Tidakkah kamu berpikir? Tidakkah kamu melihat? Kedua bekal ini secara umum dimiliki hampir semua orang normal yang rasional. Artinya, menurut Al-Qur’an, hampir semua orang memiliki perangkat untuk mengenal Tuhan dan karenanya mereka dibebani tanggung jawab untuk mengenal Tuhan. Karena jawaban dari pertanyaan pertama adalah negatif, maka pertanyaan-pertanyaan selanjutnya pun menjadi tidak relevan.
Tapi, bagaimana menggunakan akal dan indra untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang Tuhan? Rupanya, Al-Qur’an tidak sekedar mengklaim bahwa akal dan indra saja cukup sebagai bekal, tetapi juga menunjukkan kepada kita bagaimana menggunakan keduanya untuk sampai pada kesimpulan yang benar. Dan, uniknya, Al-Qur’an secara luar biasa menyampaikan argumen rasional tentang berbagai klaim teologis yang bisa menjangkau berbagai level audiens: baik orang awam yang sudah terpuaskan dengan penjelasan sederhana maupun orang-orang tertentu yang butuh diyakinkan melalui argumen yang lebih mendalam.
Sebagai contoh, jika kita bertanya apa bukti keberadaan Tuhan menurut Al-Qur’an, maka jawaban sederhananya: bukti keberadaan Tuhan adalah adanya alam semesta. Sebagai contoh, dalam Surat Al-Ghasiyah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” Berbekal indra, kita melihat wujudnya alam semesta. Berbekal akal, kita sampai pada kesimpulan adanya pencipta bagi alam semesta. Ini mengapa saat seorang badui ditanya bagaimana ia mengetahui keberadaan Tuhan, ia berargumen dengan keberadaan langit dan bumi seperti layaknya keberadaan jejak pasir menunjukkan adanya pejalan kaki. Argumennya mungkin terasa sederhana, tapi argumen seperti ini rasional dan cukup untuk memuaskan kebanyakan manusia. Simple, yet so powerful.
Tapi, sebagian yang lain mungkin merasa belum puas dengan penjelasan di atas. Ada yang bertanya: apa sih yang membuat alam semesta menunjukkan keberadaan Tuhan? Mengapa tidak mungkin alam ini ada tanpa sebab apa pun? Dan Al-Qur’an pun menyediakan jawaban yang lebih mendalam: bermulanya langit dan bumi dan pergantian siang dan malam adalah tanda bagi orang-orang yang berakal. Artinya, fakta bahwa alam semesta memiliki permulaan (“bermulanya langit dan bumi”) dan fakta bahwa alam semesta bersifat mungkin (“pergantian siang dan malam”) mengindikasikan keberadaan Dzat Yang Tak Bermula dan Bersifat Wajib. Argumen lengkapnya lebih rumit dan panjang, tapi alur berpikirnya tetap rasional dan juga kokoh sebagaimana jawaban versi sederhana di atas.
Artinya, mendapatkan kesimpulan yang tepat tentang Tuhan bukanlah monopoli kalangan tertentu saja. Siapa pun yang memiliki akal dan indra yang baik bisa mengenal Tuhan, dan karenanya ia wajib mengenal Tuhan. Ini mengapa para teolog Muslim sepanjang sejarah menulis karya teologis untuk berbagai kalangan. Ada yang khusus ditulis untuk khalayak umum, ada juga yang ditulis khusus untuk kalangan pemikir dan intelektual. Imam Al-Ghazali punya Qawaidul ‘Aqaid yang lebih ringkas hingga Al-Iqtishod fil I’tiqod yang cukup rinci dan mendalam. Imam Sanusi bahkan punya lima karya teologis, mulai dari yang sederhana hingga rumit.
Kesimpulannya: teologi sangat relevan untuk semua kalangan. Semua orang punya modal yang cukup untuk mengenal Tuhan.