Salah satu keberatan terhadap fenomena mu’jizat dalam teologi agama samawi adalah pandangan yang menganggap bahwa kausalitas natural yang terjadi di alam sebagai sesuatu yang absolut. Hukum alam dianggap sebagai sesuatu yang mutlak dan selalu terjadi. Fenomena alam yang menjadi sebab (ilal) dianggap pasti menghasilkan akibat (ma’lul) berupa fenomena alam yang lain. Maka, terjadinya peristiwa di luar kebiasaan atau regularitas natural seperti mu’jizat dianggap mustahil.
Pandangan semacam ini adalah salah satu yang banyak dikritisi para teolog Muslim. Dalam teologi Islam, segala peristiwa natural adalah sesuatu yang mungkin. Maka, esensinya, segala sesuatu yang mungkin butuh kepada sesuatu yang lain sebagai penyebab. Tapi, jika penyebabnya adalah sesuatu yang juga mungkin, ini bisa berujung kepada rantai sebab-akibat yang tidak berujung (tasalsul) ataupun sirkular (daur). Rantai sebab-akibat yang tak berujung mustahil secara rasional karena esensinya ia tidaklah mampu menjelaskan wujudnya suatu fenomena yang mungkin di antara kemungkinan-kemungkinan yang lain. Rantai sebab-akibat yang sirkular juga mustahil secara rasional karena berimplikasi bahwa suatu fenomena disebabkan oleh dirinya sendiri. Maka, satu-satunya solusi yang tersisa adalah adanya Sesuatu Yang Wajib (Necessary Being/Wajib al-Wujud) yang menjadi penyebab seluruh fenomena yang mungkin.
Lantas, mengapa kita “selalu” mengamati bahwa sebab natural diikuti oleh akibat natural? Tidakkah ini mengindikasikan bahwa kausalitas natural betul-betul terjadi? Bukankah penolakan terhadap hal ini akan meruntuhkan konsep kausalitas yang menjadi fondasi dari keteraturan alam dan sains modern saat ini?
Para teolog menjelaskan bahwa adanya fenomena natural yang diikuti fenomena natural lain tidak berimplikasi relasi kausal antara keduanya. Saat melihat regularitas di alam, kita sebenarnya tidak bisa membuktikan secara rasional adanya kausalitas natural pada fenomena-fenomena ini. Yang kita bisa simpulkan hanyalah adanya korelasi yang terjadi antara fenomena yang menjadi “sebab” dengan fenomena yang menjadi “akibat”. Maka, pandangan yang menganggap adanya kausalitas natural pada fenomena-fenomena alam esensinya telah keliru semata-mata karena melihat korelasi yang terjadi berulang. Istilah yang populer terkait ini: correlation does not imply causation.
Di era modern, sebuah eksperimen menarik yang bisa digunakan untuk mengilustrasikan kekeliruan mengaitkan regularitas alam dengan kausalitas dilakukan oleh psikolog Ivan Pavlov. Pavlov melakukan percobaan dengan memberi makan anjing sambil membunyikan lonceng. Awalnya, anjing tidak merespon apa pun terhadap bunyi lonceng. Tapi, seiring berjalannya waktu, anjing dalam eksperimen Pavlov mulai mengasosiasikan bunyi lonceng dengan keberadaan makanan sedemikian rupa sehingga anjing pun mulai mengeluarkan liur hanya dengan mendengarkan bunyi lonceng bahkan tanpa adanya makanan. Anjing-anjing dalam eksperimen ini keliru memahami bahwa bunyi lonceng somehow memiliki relasi kausalitas dengan keberadaan makanan karena terus-menerus terjadi korelasi antara keduanya.
Meski fokus utama eksperimen Pavlov adalah soal bagaimana conditioning mempengaruhi perilaku atau respons makhluk hidup, kita bisa menarik analogi yang lebih mendasar dari eksperimen ini: bagaimana kita bisa dengan mudah keliru menganggap regularitas sebagai kausalitas yang akan terus-menerus terjadi meskipun esensinya tak didukung bukti rasional apa pun. Sesuatu yang terus-menerus terjadi di masa lalu tidak menggaransi bahwa ia akan selalu terjadi. Sebaliknya, ketika akal membawa kita pada kesimpulan bahwa segala sesuatu yang mungkin adalah produk perbuatan Dzat Yang Wajib, maka tentu saja peristiwa di luar regularitas itu mungkin terjadi.
Tentu saja pandangan ini tidak lantas berimplikasi bahwa tidak ada regularitas sama sekali di alam. Faktanya, kita melihat regularitas ini dan bisa mendapatkan pengetahuan yang valid darinya (dikenal sebagai mujarrobat). Maka, sains sebagai produk dari pengetahuan berbasis empiris pun merupakan produk pengetahuan yang valid. Tetapi, pada saat yang sama, kita juga memahami bahwa adanya regularitas tidak berimplikasi pada kausalitas mutlak yang pasti terjadi. Sesuatu di luar regularitas memang sesuatu yang “hampir mustahil” terjadi (mustahil ‘adatan), tapi ia secara rasional mungkin terjadi (mumkin ‘aqlan) karena esensinya Tuhan lah penyebab yang sesungguhnya dan Ia bebas melakukan apa pun yang mungkin.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: