Desain Semesta, Kecerdasan, dan Keberadaan Tuhan
Apa yang bisa disimpulkan tentang Tuhan dari Fenomena Desain Semesta?
Salah satu topik bahasan yang sangat ramai perdebatan dalam teologi di era modern ini adalah perdebatan mengenai adanya “desain” di alam semesta. Sebagian kalangan menganggap bahwa adanya desain adalah bukti terkuat adanya Tuhan yang Menciptakan alam semesta. Kalangan lain mengkritik bahwa argumen semacam ini adalah cacat fikir yang disebut sebagai God-of-the-gaps: adanya desain yang dianggap tidak bisa dijelaskan oleh sains menghasilkan “gap” yang kemudian “diisi” oleh Tuhan. Kalangan lain bahkan menolak desain sama sekali, khususnya desain biologis. Bagi mereka, adanya mutasi acak yang terjadi dalam proses evolusi biologis menunjukkan bahwa keberagaman makhluk hidup yang muncul di dunia ini tidak lain adalah hasil dari proses acak yang tidak terpandu oleh apa pun.
Bagaimana Muslim memposisikan diri di tengah perdebatan ini? Tulisan ini, dan insyaallah tulisan selanjutnya, hendak memaparkan bagaimana teolog Muslim klasik memandang persoalan desain dan bagaimana kita sebagai Muslim di era modern mengkontekstualisasikan argumen mereka. Sebagian konten tulisan ini beririsan dengan penjelasan panjang yang saya tulis di buku “Logika Keimanan”. Tapi, ada juga beberapa poin tambahan yang tak saya sebutkan di sana.
Sebelum masuk lebih jauh ke dalam perdebatan ini, kita harus terlebih dahulu memahami apa itu “desain”. Sesuatu disebut sebagai memiliki “desain” ketika ia memiliki fitur-fitur yang presisi dan akurat (ihkam atau itqon) atau komponen yang memiliki tujuan tertentu. Sebuah dinding batu yang kosong, misalnya, tidak disebut memiliki desain, tetapi dinding batu yang terpahat di atasnya gambar-gambar atau pola tertentu disebut memiliki desain karena bentuknya presisi dan merefleksikan tujuan tertentu.
Perdebatan dimulai ketika kita menengok berbagai fenomena alam, khususnya makhluk biologis yang dilengkapi organ-organ dengan fungsi spesifik. Apakah makhluk biologis semacam ini memenuhi kriteria sebagai objek yang “didesain”? Sebagian kalangan menganggapnya begitu. Adanya beragam spesies dengan beragam organ yang masing-masing bekerja dengan tujuan tertentu dianggap menunjukkan desain layaknya mesin yang sedang bekerja. Di titik ini lah perdebatannya masuk ke ranah teologi. Desain adalah hasil dari sesuatu yang dikehendaki. Kalau begitu, siapa yang mendesain makhluk-makhluk biologis dengan segala organnya? Bahkan, organ-organ ini dipercaya sebagai sesuatu yang bersifat irreducably complex, di mana kompleksitasnya tidak memungkinkannya berfungsi jika satu bagian saja dihilangkan. Mereka menganggap bahwa mustahil proses natural yang “buta” menjadi penyebab adanya kompleksitas desain semacam ini. Bagi mereka, kandidat terbaik untuk menjelaskan adanya desain biologis adalah keberadaan Tuhan yang Maha Berpengetahuan.
Argumen semacam ini lah yang banyak dikritik sebagai argumen God-of-the-gaps. Fakta bahwa penjelasan natural tidak bisa menjelaskan adanya desain kemudian memunculkan “gap” yang diisi oleh Tuhan. Menyanggah argumen semacam ini mudah saja: belum adanya penjelasan natural tidak menggaransi ketiadaannya. Di samping itu, mempostulatkan keberadaan Tuhan sebagai jawaban untuk mengisi “gap” ini adalah langkah yang terburu-buru. Argumen di atas in itself hanya membuktikan adanya sesuatu yang berpengetahuan, tapi tidak memberi tahu kita siapa desainernya. The designer could be an alien!
Argumen keberadaan Tuhan dalam teologi Islam tidak bekerja seperti ini. Fakta bahwa alam semesta memiliki properti yang mungkin di antara kemungkinan-kemungkinan lain berimplikasi adanya Dzat Yang Wajib. Alam semesta yang mengalami perubahan, sehingga memiliki permulaan (karena perubahan ke masa lalu yang tak berhingga mustahil dalam realita) berimplikasi adanya Dzat Yang Tak Bermula. Inilah Tuhan. Argumen ini juga memberi tahu kita bahwa segala sesuatu yang terjadi setiap saat, karena sifatnya yang mungkin, sepenuhnya bergantung pada Kehendak Tuhan. Kita tidak butuh adanya gap apa pun untuk sampai ke kesimpulan ini. Seperti kata Prof. John Lennox yang bukunya pernah kita ulas di blogi ini, “He is not the God of the gaps; He is the God of the whole show!”
Setelah membuktikan adanya Tuhan dan membuktikan bahwa Tuhan lah penyebab segala sesuatu setiap saat, baru lah kita beranjak ke pertanyaan apakah Tuhan disifati dengan Pengetahuan atau tidak. Tapi, bahkan di titik ini pun kita sebetulnya tidak butuh desain untuk membuktikan bahwa Tuhan memiliki Pengetahuan. Bermulanya alam semesta yang diciptakan Tuhan dari ketiadaan menunjukkan adanya Kehendak pada-Nya. Adanya Kehendak mengharuskan adanya Pengetahuan karena ketiadaan pengetahuan bersamaan dengan wujudnya kehendak mustahil secara rasional. Ini yang dimaksud Imam Sanusi dalam Ummul Barohin ketika beliau menjelaskan bahwa tanpa adanya Pengetahuan, alam semesta tidak akan bermula:
وأما برهان وجوب اتصافه تعالى بالقدرة والإرادة والعلم والحياة فلأنه لو انتفى شىء منها لما وُجد شىء من الحوادث.
“Dan bukti wajibnya sifat Qudrah (Kekuasaan), Iradah (Kehendak), Ilmu (Pengetahuan), dan Hayah (Hidup) bagi Tuhan adalah jika Ia tidak disifati dengan salah satu di antara sifat-sifat ini, tidak ada satu pun bagian dari alam yang bermula yang akan muncul.”
Lalu, apa fungsi desain? Adanya presisi dan akurasi dalam setiap ciptaan Tuhan juga mendemonstrasikan pengetahuan bagi Desainernya. Kita bisa melihat ini sebagai argumentasi tambahan bahwa Tuhan disifati dengan Pengetahuan. Bahkan, fakta ini lebih jelas daripada argumen sebelumnya yang menunjukkan adanya pengetahuan dari fakta kebermulaan alam semesta. Argumen sebelumnya adalah contoh pengetahuan nazari yang berbasiskan deduksi (nazar) sedangkan argumen ini bersifat dharuri atau aksiomatis tanpa proses deduksi. Tapi, fakta bahwa desain menunjukkan pengetahuan tidak disimpulkan hanya dari makhluk biologis saja, tapi juga dari seluruh ciptaan Tuhan karena semuanya sama-sama presisi dan akurat. Artinya, untuk membuktikan adanya pengetahuan tidak butuh adanya fenomena desain yang sedemikian kompleks (irreducible complexity) sebagaimana klaim sebagian kalangan. Setiap makhluk biologis, setiap organ, setiap atom, setiap planet, bahkan setiap hukum alam mendomenstrasikan akurasi dan presisi yang berimplikasi bahwa Pencipta-nya adalah Dzat yang Berpengetahuan. Inilah yang dimaksud Imam Sanusi dalam karyanya, Syarh Aqidah Kubro:
فخرج من هذا أنه يصح الاستدلال على كونه جل وعلا عالماً بوجهين: الإحكام والاختيار، وأن الأول أوضح من الثاني
"Maka dari sini dapat disimpulkan validnya berargumen bahwa Dia, Maha Agung dan Maha Tinggi, adalah Maha Mengetahui dengan dua cara: melalui keteraturan (الإحكام) dan melalui adanya kehendak (الاختيار), dan yang pertama (الإحكام) lebih jelas dibandingkan yang kedua (الاختيار)."
Kesimpulannya, fakta adanya desain alam semesta bisa memberi kita informasi tentang Tuhan. Alam semesta dan seisinya yang presisi dan akurat jelas menunjukkan adanya desain. Fakta ini valid bahkan tanpa harus bergantung pada argumen adanya kompleksitas pada makhluk biologis, karena adanya presisi dan akurasi ini bisa disaksikan dari seluruh ciptaan Tuhan. Tetapi, kita tidak membuktikan keberadaan Tuhan lewat desain. Keberadaan Tuhan dan fakta bahwa Ia penyebab segala sesuatu bisa dibuktikan lewat argumen kontingensi atau kebermulaan alam semesta. Adanya desain kemudian digunakan untuk membuktikan bahwa sang Pencipta yang telah terbukti keberadaannya disifati dengan pengetahuan.
Di tulisan selanjutnya, kita akan membahas apakah benar adanya teori sains yang menjelaskan kompleksitas alam seperti evolusi menegasikan adanya desain.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: