Berfikir sebagai Kewajiban Pertama
Sebagian pandangan yang populer belakangan ini adalah anggapan bahwa agama hanyalah berbasis doktrin dan jauh dari kata “rasional”. Saya pernah membahas kekeliruan pandangan ini di antaranya melalui serial tulisan yang mengulas Buku matematikawan Katolik John Lennox “Can Science Explain Everything?”. Di tulisan ini, saya ingin membahas mengapa anggapan bahwa iman adalah doktrin belaka justru bertolak-belakang 180 derajat dengan konsep keimanan dalam Islam.
Bukti bahwa iman dalam Islam bukanlah doktrin bisa langsung kita lihat dari apa kewajiban pertama manusia menurut Islam. Contrary to arguably popular opinion, kewajiban pertama dalam Islam justru adalah berfikir atau nadzar. Imam Sanusi dalam Aqidah Kubro menjelaskan dengan apik:
أول ما يجب قبل كل شيء على من بلغ أن يُعمَل فكره فيما يوصله إلى العلم بمعبوده من البراهين القاطعة والأدلة الساطعة
“Hal pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah mencapai usia dewasa, sebelum melakukan apa pun, adalah menggunakan pikirannya untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhannya melalui bukti-bukti yang pasti dan argumen yang jelas.”
Pandangan Imam Sanusi di atas didasari oleh banyak sekali perintah dalam Al-Qur'an untuk berfikir dan meninggalkan taqlid buta, membebek pada pendapat orang lain, khususnya dalam perkara keimanan. Tapi, bukankah rukun Islam yang pertama adalah syahadat? Betul sekali. Justru, meyakini syahadat diawali dengan mengetahui kebenaran isinya. Ini diawali dengan mengetahui keberadaan Tuhan yang hanya bisa dilakukan lewat berfikir.
Kesimpulan bahwa keimanan diawali dengan berfikir juga bisa dilakukan melalui argumentasi. Imam Sanusi dalam Syarh Aqidah Sughra mengutip analisis epistemologis dari Ibn al-Arabi al-Maliki tentang bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan keberadaan Tuhan. Sebagian menganggap keberadaan Tuhan diketahui secara aksiomatis atau dharuri. Ini jelas keliru karena keberadaan Tuhan tidak langsung bisa didapat dari sumber-sumber pengetahuan aksiomatis secara langsung tanpa proses berfikir sebagaimana pengetahuan bahwa sebagian pasti lebih kecil daripada keseluruhan. Jika pengetahuan tentang Tuhan aksiomatis, maka mayoritas orang berakal akan langsung tahu keberadaan-Nya tanpa keliru sama sekali. Nyatanya, ada yang tak percaya Tuhan dan yang percaya pun beragam kepercayaannya. Jika yang dimaksud adalah keberadaan Tuhan bisa disimpulkan dari premis-premis aksiomatis/dharuri, maka ini benar karena esensinya argumentasi deduktif dimulai dari premis-premis yang bersifat aksiomatis. Tapi, ini tetap tidak bisa dilakukan tanpa proses berfikir.
Apakah keberadaan Tuhan didapat melalui ilham? Jika iya, mestinya setiap manusia yang hidup akan diberikan pengetahuan ini karena manusia diberi tanggung jawab untuk ber-syahadat, bukan? Tapi, nyatanya tidak begitu. Meski benar ada fitrah dalam diri yang arguably secara natural lebih mudah menerima keberadaan Pencipta, tetapi pengetahuan semacam ini juga rentan subjektivitas.
Apakah keberadaan Tuhan diketahui melalui taqlid, yaitu mengikuti pendapat orang lain? Jika iya, pertanyaannya menjadi: harus taqlid kepada siapa? Tanpa mempertimbangkan bukti-bukti yang lain, tidak ada alasan bahwa salah satu orang lebih layak diikuti dibandingkan orang lain. Ini justru bisa menjadi justifikasi seseorang untuk mengikuti pandangan apa pun.
Apakah keberadaan Tuhan didapat melalui khabar atau testimoni? Jika iya, pertanyaannya menjadi: dari mana sang pemberi testimoni mengetahui keberadaan Tuhan? Selain itu, bagaimana kita percaya testimoninya? Selama testimoninya tidak bisa dibuktikan mewakili testimoni Tuhan, maka testimoninya tidak bisa langsung dipercaya, bukan?
Karena keberadaan Tuhan mustahil diketahui melalui pengetahuan aksiomatis, ilham, taqlid, ataupun khabar, maka yang tersisa adalah berfikir. Tuhan diketahui dengan berfikir melalui premis-premis yang bisa diketahui secara aksiomatis/dharuri. Keberadaan alam yang bersifat mungkin bisa disimpulkan secara aksiomatis dari indra dan akal. Keberadaan sesuatu yang mungkin secara akal meniscayakan adanya Penyebab. Kemustahilan rantai sebab-akibat yang tak berujung juga disimpulkan dari akal. Semua premis ini berujung pada satu kesimpulan: adanya Tuhan yang Wajib Ada, Wajib al-Wujud. Dan proses berfikir ini lah yang menjadi kewajiban pertama manusia, bukan mengikuti dogma. Karena tanpanya, kita tak bisa mengafirmasi kebenaran kalimat syahadat yang menjadi pintu gerbang agama Islam dan fondasi kewajiban-kewajiban lainnya.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: