Dua argumen yang sering kita bahas untuk membuktikan keberadaan Tuhan adalah argumen kebermulaan (dikenal sebagai dalil al-huduts atau Kalam cosmological argument) dan argumen kemungkinan (dikenal sebagai dalil al-imkan atau contingency argument). Kedua argumen ini sama-sama termasuk ke dalam kategori cosmological argument, yaitu argumen yang membuktikan keberadaan Tuhan berbekal premis terkait alam semesta dan propertinya. Pertanyaannya, apa perbedaan di antara keduanya? Mana yang lebih kuat? Apa kelebihan dan kekurangan masing-masing? Kita akan secara ringkas membahasnya di tulisan ini.
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengupas singkat kedua argumen di atas. Ringkasnya, argumen kebermulaan berangkat dari fakta bahwa alam semesta dan seisinya senantiasa mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi terus-menerus hingga masa lalu yang tak terhingga atau tak berawal itu mustahil karena akan jatuh pada kontradiksi: waktu yang tak terhingga dari masa lalu mestinya tak pernah berakhir, padahal waktu dari masa lalu jelas berakhir di saat ini. Artinya, perubahan pada alam semesta harus memiliki permulaan. Maka, alam semesta yang bermula ini membutuhkan adanya Entitas Yang Tak Bermula untuk menjadikannya ada. Argumen kontingensi berangkat dari fakta bahwa alam semesta dan seisinya bersifat mungkin, bisa memiliki properti lain alih-alih properti yang ada saat ini. Maka, sifat alam semesta yang mungkin ini meniscayakan adanya Entitas Yang Wajib untuk memilih wujudnya properti yang ada saat ini alih-alih properti yang lain. Detail argumennya dan respons terhadap keberatan-keberatan atas kedua argumen ini bisa disimak di Buku “Logika Keimanan”.
Selain membuktikan keberadaan Entitas Wajib Yang Tak Bermula, kita juga telah melihat di beberapa tulisan di blog ini bagaimana implikasi rasional dari kedua argumen di atas berhasil membuktikan keberadaan Tuhan sebagaimana dideskripsikan dalam Al-Qur’an, seperti sifat transenden-Nya yang begitu berbeda dengan ciptaan-Nya atau adanya Kehendak dan Kemampuan untuk selalu mengatur alam semesta tanpa henti. Ini tak dimiliki oleh argumen-argumen lain yang pernah kita singgung, seperti argumen fine-tuning, argumen desain semesta dan argument from motion. Ini mengapa kedua argumen di atas lah yang digunakan para teolog Muslim sebagai pintu gerbang untuk membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional.
Meski begitu, kedua argumen ini tidaklah persis sama. Meski keduanya sama-sama valid dan tak terbantahkan, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Argumen kemungkinan bagi saya jauh lebih mudah dipahami dan dibuktikan. Premis-premis penyusunnya, yaitu “alam semesta bersifat mungkin” dan “segala yang mungkin butuh sebab” adalah premis-premis aksiomatis atau dharuri yang dengan mudah bisa diterima hampir semua orang tanpa bukti tambahan. Tak heran, argumen ini dipegang oleh hampir semua kalangan Muslim, mulai dari para teolog Sunni atau mutakallimun hingga para filsuf Muslim, terlepas dari perdebatan sengit di antara keduanya. Argumen ini juga dipegang oleh begitu banyak teolog teis dari kalangan non-Muslim. Selain itu, argumen ini juga dengan mudah membuktikan fakta bahwa Tuhan selalu mengatur alam semesta setiap saat. Adanya alam semesta yang mungkin setiap saat tentu saja mengindikasikan bahwa alam senantiasa butuh kepada Tuhan.
Argumen kebermulaan, sebaliknya, punya “kekurangan” di dua aspek di atas. Pertama, argumen kebermulaan lebih sulit dibuktikan. Salah satu premisnya, fakta bahwa alam semesta memiliki permulaan, bukanlah sesuatu yang aksiomatis. Butuh argumen lain untuk membuktikan hal ini. Meskipun argumen yang digunakan untuk membuktikan kebermulaan alam ini valid, secara historis ada banyak kemungkinan counter argument yang mungkin digunakan untuk mencoba membantahnya. Selain itu, argumen ini tidak langsung memberi tahu kita bahwa Tuhan pencipta alam di permulaan juga tetap mengatur alam setelahnya. Perlu bukti tambahan bahwa penyebab alam semesta tercipta juga penyebab keberadaannya setiap saat.
Tapi, bagi saya argumen kemungkinan pun juga punya “kekurangan” yang bisa dilengkapi oleh argumen kebermulaan. Di era sains modern ini, argumen kemungkinan bisa disalahpahami. Sesuatu yang menyebabkan wujudnya kemungkinan alam di satu momen bisa dianggap sebagai fenomena alam lain sebelum momen tersebut. Artinya, bisa saja orang mengira bahwa suatu fenomena yang bersifat mungkin tidak disebabkan oleh Necessary Being tapi justru disebabkan oleh fenomena sebelumnya yang juga disebabkan fenomena sebelumnya, dan seterusnya. Everything is simply a natural chain of causation. Memahami argumen kemungkinan dengan valid memerlukan bukti tambahan yang membuktikan invaliditas kausalitas natural ini.
Sebaliknya, argumen kebermulaan tidak jatuh pada masalah serupa. Mengapa? Karena “sebelum” alam semesta bermula, tidak ada lagi alam semesta. Tidak ada lagi “nature”, “matter”, dan penyebab natural. Artinya, argumen ini langsung membantah naturalisme dan materialisme yang kerap digunakan untuk menegasikan butuhnya alam semesta kepada Tuhan. Terlebih lagi, premis bahwa alam semesta memiliki permulaan memiliki bukti pendukung yang sangat kuat dari fisika modern saat ini melalui Teori Big Bang, sebagaimana saya paparkan dalam buku “Logika Keimanan”.
Terlepas dari poin-poin di atas, kedua jenis argumen di atas sama-sama argumen yang kokoh untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Bahkan, sejatinya, kemungkinan (imkan) dan kebermulaan (huduts) adalah dua sisi koin yang sama. Fakta bahwa sesuatu yang bermula butuh sebab pun esensinya kembali kepada argumen kemungkinan karena wujudnya sesuatu alih-alih ketiadaannya pun adalah sebuah kemungkinan. Itu mengapa, para teolog Muslim menyebut bahwa esensinya bukti keberadaan Tuhan adalah argumen kemungkinan dengan kebermulaan sebagai syaratnya (dalil al-imkan bi syarthil huduts). Ini untuk menegaskan bahwa butuhnya alam semesta kepada Tuhan adalah fakta bahwa alam semesta bersifat mungkin, dengan catatan penting bahwa alam yang bersifat mungkin ini juga memiliki permulaan, alih-alih selalu ada sebagai produk dari Penyebab tanpa adanya kehendak.
Wallahu a’lam.
Ingin membaca lebih detail tentang bukti rasional di balik pokok-pokok keimanan Islam? Silahkan baca buku “Logika Keimanan”.
Jika ingin mentraktir kopi penulisnya, silahkan klik di sini.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke rekan-rekan anda: