Argumen-Argumen Kunci dalam Al-Qur'an
Bagaimana Al-Qur'an membimbing kita menuju iman secara rasional
Di salah satu tulisan, saya pernah menulis bagaimana Al-Qur'an membimbing kita secara rasional untuk sampai pada kesimpulan adanya Tuhan. Saya berargumen bahwa proses ini bukanlah circular reasoning karena kita tidak sedang berargumen bahwa Tuhan itu ada karena termaktub dalam kitab suci yang berasal dari Tuhan. Sebaliknya, Al-Qur'an mengajari kita untuk menggunakan akal kita dan berpikir hingga sampai pada kesimpulan rasional keberadaan Tuhan. Di tulisan ini, saya ingin memaparkan lebih jauh lagi: bagaimana Al-Qur'an menggunakan argumen rasional untuk sampai pada pokok-pokok keimanan yang lain.
Jika ditanya apa pesan-pesan utama yang ingin disampaikan Al-Qur'an kepada pembacanya? Jawabannya bisa bervariasi tergantung dari perspektif kita memandangnya. Dari perspektif teologis, umumnya para ulama’ menjawab bahwa Al-Qur'an mengandung 3 klaim utama:
Keberadaan dan keesaan Tuhan
Validnya kenabian
Mungkinnya hari kebangkitan
Yang menarik, Al-Qur'an bukan sekedar mengemukakan klaim di atas begitu saja. Al-Qur'an juga tidak sekedar meminta pembacanya untuk percaya begitu saja hanya karena Al-Qur'an mengklaim sebagai wahyu Tuhan. Yang terjadi, setiap klaim di atas ditopang oleh argumen yang murni rasional yang terkandung dalam teks Al-Qur'an sendiri. Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali dalam magnum opusnya, Ihya Ulumiddin, menyebutkan 3 ayat yang berisi argumen kunci untuk mendukung 3 klaim di atas.
Pertama, tentang keberadaan dan keesaan Tuhan, argumen kuncinya terkandung dalam Surat al-Anbiya’ ayat 22:
لَوْ كَانَ فِيهِمَآ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَا
“Jika di langit dan bumi ada Tuhan selain Allah, keduanya akan hancur.”
Artinya, keberadaan langit dan bumi yang bersifat mungkin menandakan adanya Dzat Yang Bersifat Wajib. Adanya keteraturan dalam ciptaan menandakan bahwa Dzat Yang mengatur langit dan bumi hanya ada satu.
Kedua, tentang validnya klaim kenabian, terkandung dalam Surat al-Baqarah ayat 23:
وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
“Dan jika engkau tetap dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan pada hamba Kami, buatlah satu surat saja yang semisal dengan-Nya dan ajaklah penolong-penolong-Mu selain Allah jika kamu benar.”
Artinya: adanya seseorang yang mengaku sebagai utusan Tuhan dan terjadi mu'jizat di tangannya, yaitu peristiwa di luar kebiasaan yang hanya bisa terjadi atas Kehendak Tuhan dan tak bisa direplikasi oleh penentangnya, menandakan bahwa Tuhan mengkonfirmasi klaim kenabiannya.
Ketiga, tentang argumen mungkinnya hari kebangkitan terangkum dalam Surat Yasin ayat 78-79 berikut:
قَالَ مَن يُحْىِ ٱلْعِظَٰمَ وَهِىَ رَمِيمٌ
قُلْ يُحْيِيهَا ٱلَّذِىٓ أَنشَأَهَآ أَوَّلَ مَرَّةٍ
“Ia berkata siapa yang akan menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur, katakanlah: Yang akan menghidupkannya adalah Yang Menciptakannya pertama kali.”
Artinya, menciptakan sesuatu dari ketiadaan ataupun mengembalikan sesuatu yang hancur ke wujudnya semula sama-sama peristiwa yang mungkin secara rasional. Mewujudkan keduanya tak ada bedanya bagi Dzat Yang Wajib dan Berkuasa atas segala yang mungkin.
Tentu saja argumen-argumen di atas bisa diperdalam lagi untuk merespon counter argument yang mungkin muncul. Bahkan, ilmu kalam esensinya hanyalah menuliskan kembali argumen-argumen di atas secara formal dengan pemaparan yang lebih detail dan mendalam. Tapi, saripati argumennya bisa kita dapatkan dari penjelasan sederhana dalam ayat-ayat tadi.
Intinya, Al-Qur'an bukanlah kitab yang sekedar meminta pembacanya percaya atas klaimnya begitu saja. Sebaliknya: Al-Qur'an memandu kita untuk berpikir untuk sampai pada kesimpulan yang diklaimnya menggunakan akal kita sendiri.