Theory of Everything dan Keesaan Tuhan
Relevansi Argumen Keesaan Tuhan ala Al-Ghazali di Era Sains Modern
“Mengapa tidak mungkin langit diatur oleh satu Tuhan sedangkan bumi diatur oleh Tuhan lain?”
Ini adalah salah satu pertanyaan yang coba dijawab Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali dalam karya teologisnya, Al-Iqtishod fil I'tiqod, Moderasi dalam Keimanan. Mengajukan pertanyaan semacam ini di era Al-Ghazali di mana sains ala Aristoteles masih berakar kuat menjadi masuk akal menurut saya. Aristoteles membedakan antara “langit/celestial” dan “bumi/terrestrial”. Baginya, “langit” adalah lambang kesempurnaan yang abadi. Itu mengapa segala sesuatu di langit memiliki tendensi untuk bergerak melingkar karena sifat lingkaran yang dianggap sempurna secara geometris. “Bumi”, di sisi lain, penuh perubahan dan objek-objek yang muncul dan lenyap. Benda-benda yang ada di “bumi” memiliki gerakan natural yang lurus, baik naik ataupun turun. Lalu, seperti apa jawaban Al-Ghazali atas pertanyaan di atas dan bagaimana relevansi jawaban beliau di tengah perkembangan sains modern yang begitu berbeda dengan sains ala Aristoteles?
Sebelum membahas lebih dalam terkait keesaan Tuhan, mari kita menengok kembali argumen rasional yang menunjukkan keberadaan Tuhan. Tanda keberadaan Tuhan adalah adanya alam semesta. Alam dan seisinya yang bersifat mungkin keberadaannya membutuhkan sesuatu untuk membuatnya ada. Alam layaknya domino yang tak bisa berdiri sendiri, yang membutuhkan sesuatu untuk membuatnya tetap berdiri. Sesuatu ini adalah Necessary Being yang mesti bersifat wajib karena tidak butuh kepada sebab apa pun.
Tapi, bukankah bisa saja ada banyak Necessary Being? Bisa jadi sebagian peristiwa yang terjadi di alam bergantung pada satu Necessary Being sedangkan sebagian peristiwa yang lain bergantung pada Necessary Being lainnya. Bisa saja, gerakan benda-benda langit yang melingkar bergantung pada satu Tuhan sedangkan gerakan benda-benda di bumi bergantung pada Tuhan yang lain. Apa yang membuat kemungkinan ini mustahil?
Menjawab pertanyaan ini mengharuskan kita untuk bertanya terlebih dahulu: apa sebetulnya yang membuat alam semesta menunjukkan keberadaan Tuhan? Yang membuat suatu peristiwa yang terjadi di alam semesta mengindikasikan keberadaan Necessary Being adalah sifatnya yang mungkin. Artinya, satu peristiwa bersifat mungkin harus berujung pada satu Necessary Being yang menguasai peristiwa yang mungkin ini. Tapi, jika memang yang menunjukkan keberadaan Necessary Being adalah sifat dunia yang mungkin, maka tidak ada beda antara fenomena mungkin yang satu dengan fenomena mungkin yang lain. Esensinya sama: mereka sama-sama mungkin. Ini mengindikasikan bahwa jika ada satu Necessary Being berkuasa atas sebagian peristiwa yang mungkin, maka sang Necessary Being pun berkuasa pada yang semisal, yaitu peristiwa-peristiwa lain yang sama-sama mungkin.
Sebagai contoh, jika seluruh peristiwa di langit diatur oleh satu Necessary Being karena kemungkinan peristiwa-peristiwa ini, maka Necessary Being yang sama pun memiliki kekuasaan untuk mengatur peristiwa-peristiwa di Bumi karena sifat peristiwa-peristiwa ini yang juga mungkin. Fakta ini mengindikasikan kemustahilan adanya Necessary Being yang lain karena keberadaan Necessary Being lain yang mengatur peristiwa mungkin yang sama akan berujung pada dua kemungkinan:
pertentangan antara ketetapan dua Necessary Being yang akan berimplikasi pada kontradiksi sehingga mustahil, atau
kesesuaian antara ketetapan dua Necessary Being yang akan berimplikasi pada redundancy (kesia-sia-an) pada salah satu Necessary Being.
Maka, kesimpulannya: hanya ada satu Necessary Being.
Tapi, di era saat ini di mana pembedaan antara “langit” dan “bumi” ala Aristoteles sudah ditinggalkan, masihkah jawaban Al-Ghazali ini valid? Jawabannya: perkembangan sains modern justru semakin menguatkan argumen Al-Ghazali ini.
Kita saat ini tidak langi mengenal adanya 2 “dunia” yang berbeda seperti Aristoteles. Diawali oleh Hukum Dinamika dan Gravitasi Newton, sains telah menunjukkan bahwa “langit” dan “bumi” mengikuti satu hukum yang sama. Penyebab gerak melingkar objek langit dan gerak jatuh apel di Bumi adalah sama, yaitu gravitasi. Bahkan, saat ini (hampir) seluruh fenomena di alam semesta bisa dijelaskan melalui Hukum Relativitas Umum Einstein atau Hukum Mekanika Kuantum. Hukum Relativitas Umum Einstein mampu menjelaskan gravitasi beserta fenomena-fenomena alam yang berukuran atau bermassa sangat besar. Di sisi lain, Mekanika Kuantum melalui Standard Model mampu menjelaskan tiga gaya lainnya (nuklir lemah, nuklir kuat, dan elektromagnetik) serta fenomena-fenomena alam yang berukuran sangat kecil. Betul, bahwa menggabungkan Relativitas Umum dan Mekanika Kuantum menjadi sebuah “theory of everything” masih menjadi mimpi besar para ilmuwan, tetapi seluruh saintis sepakat bahwa alam semesta mestinya bisa dijelaskan melalui satu hukum yang sama.
Apa konsekuensinya? Fakta ini semakin memperjelas kemustahilan adanya sebagian dunia yang diatur oleh satu Necessary Being sedangkan sebagian yang lain diatur oleh Necessary Being yang lain. Adanya satu framework yang mendeskripsikan kinerja seluruh peristiwa di dunia mengindikasikan keberadaan satu Necessary Being yang mengatur seluruh alam semesta: Tuhan Yang Maha Esa.
الحمد لله الواحد الأحد، الفرد الصمد، الذي لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفواً أحد
Segala puji bagi Allah, Yang Satu dan Esa, Yang Unik dan Independen, Yang Tak Beranak dan Tak Diperanakkan, dan Tak Ada yang Setara dengan-Nya.
Foto: Supernova oleh NASA, diambil dari Space.com.
permisi pak izin bertanya, "Alam semesta yang bersifat mungkin" ini tu berangkat dari mana? apakah semacam postulat yang harus diamini sejak awal, atau ada penjelasannya? terima kasih